Oleh : Idham Malik*
Pada masa tumbuh Saya, persentuhan dengan lingkungan hanyalah menjadi latar. Belum muncul perhatian khusus pada lingkungan, tapi pada soal-soal pengembangan diri dan hubungan sosial. Pada masa-masa ini, ditandai dengan bergabungnya Saya di Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM) pada saat kelas 2 Sekolah Menengah Pertama (SMP), yaitu pada tahun 1999. Waktu itu, saya peserta termuda di Training Centre Taruna Melati 1 (TCTM 1) IRM Maros Kota.
Saat itu, kami training bertepatan dengan Ramadhan, sehingga, jika dipikir-pikir sangat berat. Bayangkan kami masuk ruangan belajar pada pukul 07.00 wita, istirahat pas tengah hari untuk mengikuti shalat duhur, terus lanjut sampai magrib untuk buka puasa. Buka puasa dengan gizi seadanya, terus lanjut materi hingga jam 12 malam, kadang-kadang lewat. Setelah tidur singkat hingga jam dua dini hayati, mengikuti prosesi shalat malam, setelah itu kembali ke ruangan untuk sahur, lalu ke masjid untuk sholat subuh, baru setelah itu tidur hanya 1 – 2 jam. Sehingga, dalam sehari waktu tidur hanya empat jam, dimana pelatihan berlangsung satu minggu. Setelah pelatihan, saya pulang ke rumah bersama saudara yang juga ikut pelatihan, kami tidur dari jam tujuh pagi hingga jam lima sore.
Dalam seminggu itu, Saya belajar untuk mengatur pertemuan/sidang dan inti-inti organisasi, mengenal Muhammadiyah, perjalanan Muhammad, kepemudaan, hingga bacaan-bacaan sholat yang benar. Di saat itu pula saya merasakan ketegangan malam terakhir, sudah mirip-mirip malam penghakiman. Saya merinding dan betul-betul ketakutan. Kami disuruh keluar satu persatu dalam forum, setelah itu sepanjang jalan, dicibir oleh senior, hingga diajak ke tempat tertutup, sebuah Gudang bekas yang gelap. Di situlah duduk senior yang lain, suasana begitu hening, yang ada hanya suara sang senior, yang saat itu dikategorikan senior bijak. Inilah yang mungkin disebut pengisian. Setelah dibongkar habis-habisan. Pada masa itu, hal-hal seperti ini masih berlaku, dan sepertinya cukup efektif untuk dosis-dosis tertentu.
Pada masa ini, yang tumbuh dari diri Saya, adalah kesenangan jiwa atau dorongan spiritual untuk beribadah. Saya pun tidak paham alasan di balik itu. Saya ikut ke masjid, hampir di lima waktu shalat. Tapi, mungkin karena perkaderan di IRM juga. Sebab, setelah training, jadi selalu ingin ke masjid, mempraktekkan pakem-pakem ibadah yang diperoleh saat training. Di Mesjid ini, khususnya di Mesjid Ta’mirul Masajid, Saya mendapat tugas-tugas baru, seperti ikut membersihkan masjid secara berkala, membawa celengan jumat ataupun Ramadhan, hingga menjadi panitia lebaran.
Pada saat itu juga, terdapat perubahan dalam pola pikir saya, semua yang berbau tradisional mulai tertolak. Kami mulai melarang orang tua kami untuk menyelenggarakan baca-baca. Segala jenis pamali (atau larangan-larangan) mulai kami rasionalisasi. Sedikit-sedikit, Saya terpengaruh doktrin penyerangan terhadap TBC (Tahayyul Bidáh, Kurafat), yang dianggap telah menjauhkan masyarakat dari Tuhan.
Saya mengingat, tubuh kecil Saya berada di antara generasi yang lebih tua. Rata-rata teman gaul saat itu adalah remaja SMA dan mahasiswa. Sehingga, Saya pun terhipnotis oleh semangat gerakan dan pembaharuan. Untungnya, doktrin awal yang saya terima adalah doktrin liberal dan lebih mementingkan aspek kemanusiaan, makanya terjangan-terjangan ideologi yang datang berturut-turut kemudian, tidak begitu menghanyutkan saya.
Di masa-masa ini, Saya menikmati proses menjadi panitia pelatihan, mengambil tugas-tugas lapangan, seperti pencarian anggaran, dengan mendatangi satu persatu rumah warga, membawa daftar dan proposal. Kami mengumpulkan dana dari Rp. 5000 hingga Rp. 100.000. biasanya, sekali kegiatan, kami dapat mengumpulkan anggaran dari Rp. 500.000 hingga Rp. 1.000.000. Dana ini digunakan untuk konsumsi peserta sehari-hari, Saya selalu membantu ahwat-ahwat yang lagi memasak, seperti angkat air dan belanja bahan lauk pauk. Kadang-kadang, Saya turut membantu peserta untuk bersih-bersih dan cuci piring. Pada masa-masa itu, saya tidak begitu terampil memfasilitasi ataupun mengisi forum, makanya, dari pelatihan ke pelatihan, tugasku hanya sebagai panitia lapangan, serta bagian logistik.
Di organisasi inilah Saya mengenal pemuda-pemuda terbaik asal Maros, yang saat ini telah memegang banyak tampuk kepemimpinan di pemerintahan Maros, maupun di tempat lain. Sejak TCTM I, saya terbiasa mendengar perbincangan-perbincangan alot, debat kusir, rapat-rapat panjang yang membuat kita begadang hingga subuh. Setiap orang menawarkan logikanya sendiri, dan para pemimpin rapat harus betul-betul bijak dalam pengambilan keputusan. Walaupun, secara pribadi, Saya jarang komentar, karena terbilang muda, sehingga lebih banyak mendengar.
Pada masa itu pula, ketika kelas 2 dan 3 SMP, Saya pun ikut terpancing membaca buku-buku di luar pelajaran sekolah, sayangnya, masih sangat kurang buku popular di perpustakaan sekolah, sehingga hanya beberapa buku saja yang sempat saya pinjam dari perpustakaan, seingatku buku tentang Islam karya Ustad Toto, yang di dalamnya terdapat tulisan persamaan Kritik dan Kripik, di samping itu, buku 100 Tokoh Yang Paling Berpengaruh di Dunia, dimana saya mengenal tokoh-tokoh sains, agama dan politik, serta buku 100 tokoh muslim yang berpengaruh di dunia. Di samping itu, sesekali membaca cerpen di majalah horizon. Saat itu, entah kenapa, sekolah belum menjadi pemantik kita untuk membaca buku. Kita membaca, lebih karena dorongan-dorongan lingkungan dari luar.
Saya mengingat saat itu, anak-anak IRM sudah update terhadap buku, yaitu Quantum Learning, dimana di masa SMA masih sangat jarang siswa yang membacanya. Kita pun mendapat doktrin, bahwa anak IRMA itu, harus selalu tersedia buku dalam tasnya, walaupun kita tidak membacanya. Di samping itu, sudah ada terbitan berkala, yaitu lembaran Qalam, yang dilayout menggunakan program Corel Draw dan berisi update kegiatan dan informasi-informasi penting soal remaja. Namun, di masa-masa ini pula, entah kenapa pula, pemikiran kritis belum begitu tumbuh, khususnya untuk tema-tema agama dan ideologi. Bayangkan, kita masih menelan mentah-mentah isi selebaran di masjid, tentang kekafiran Ahmadiyah, Syiah, ataupun Islam Jamaah, dan lain-lain. Kita seakan-akan merinding membaca kisah-kisah kesesatan mereka.
Organisasi membawa saya untuk memahami persoalan-persoalan sosial, seperti bagaimana kita menyikapi konflik SARA di Ambon? Bagaimana kita menyikapi kaum-kaum lemah dan terpinggirkan? Seperti apa kita menyambut masa depan, melalui pengembangan diri dan organisasi. Di IRM Saya mulai memahami cara mengatur tim dan strategi untuk mencapai visi secara bersama. Saat itu, ketika berusia 15 tahun, Saya didaulat menjadi Pimpinan Cabang IRM Maros Kota. Dengan begitu, Saya diberi kesempatan untuk mengatur kegiatan pengajian secara berkala, pelaksanaan training pengkaderan, serta aktivitas sosial dan silaturahmi sesama anggota.
Pada masa ini juga ditandai semangat kumpul-kumpul. Setiap malam minggu, teman-teman IRM ngumpul di sekretariat, ngobrol-ngobrol lepas hingga tengah malam. Kadang-kadang bermain domi, main catur, minum kopi miks, atau pergi ke rumah teman untuk begadang menonton bola.
Bertepatan dengan itu, di sekolah, SMA 1 Maros, saat menginjak kelas 2, Saya berperan sebagai Koordinator Urusan Ibadah OSIS, sehingga musholla berada di bawah kendali Saya. Saat-saat itu, kami rutin menyelenggarakan pengajian setiap Jumat Sore. Di samping itu, terdapat kajian-kajian tambahan, yang dibawakan oleh ustad-ustad dari luar. Mulai tumbuh perbedaan-perbedaan mazhab, lantaran ustad-ustad ini membawa pemikiran-pemikiran baru ke sekolah. Ada yang mendakwahkan kepemimpinan Islam melalui Khilafah, ada yang mengidolakan kemurnian ajaran Islam, ada yang mendorong munculnya Islam Politik. Semuanya tampak baik, lantaran itu, pentolan-pentolan organisasi itu saya gandeng, dan terima di mushallah. Saya menjadikan mereka bendahara, hingga membiarkan kawan Saya yang menginginkan islam politik untuk membentuk wadah baru di Sekolah, sebutlah Namanya Ikramulla (Ikatan Remaja Mushallah Ulul Albab).
Masa SMA Saya, khususnya di kelas 2 itu, adalah masa-masa yang sibuk, selain sebagai ketua mushallah, juga didaulat sebagai ketua kelas, di samping ketua IRM Maros Kota. Makanya, pelajaran cukup tertinggal, meskipun masih diberi kesempatan untuk belajar di kelas paling unggul. Sela-sela waktu betul betul dimanfaatkan di mushallah. Ketika waktu istirahat, kita nongkrong di mushallah, membaca buku-buku yang disumbangkan oleh guru dan para murid. Waktu itu, kita membangun perpustakaan kecil di mushallah. Karenanya, Saya mengenali pertentangan-pertentangan kecil di dunia Islam, di sana ada bejibun majalah Sabili yang bercerita tentang kristenisasi dan kalelawar hitam di Poso, tapi di sisi lain ada buku Islam Aktualnya Jalaluddin Rakhmat, yang menyatakan bahwa Paman Nabi, Abu Thalib masuk Islam.
Di tempat itu pula kami membangun majalah dinding, teman-teman rutin menulis di sana. Saya masih mengenang tulisan-tulisan tangan, dengan stabilo-stabilo berwarna hijau dan merah jambu pada tulisan-tulisan tersebut, tentang makna puasa, makna sholat malam. Majalah dinding ini pun mulai menandingi mading Osis dan Pramuka. Di samping itu, kami menginsiasi kajian Ilmiah dan Islam, bersama seorang ustad dari luar, yang bernama FIRUS (Forum Ilmiah Remaja Mushollah). Di forum ini kami mengkaji Darwinisme, hingga bahaya Syiah. Jika dibayangkan kini, hal-hal yang kami diskusikan dahulu itu masih penuh bias-bias doktrin agama. Sehingga, cukup menggelikan jika dibandingkan dengan perkembangan pemikiran sekarang. Tapi, tak perlu melihat apa isi materinya, karena yang terpenting adalah semangat keilmuannya.
Dan saat ini, teman-teman masa tumbuh Saya di IRM, yang mengisi masa-masa belajar Saya di SMP dan SMA, sekarang sudah aktif di mana-mana, hidup menghidupi masyarakat dimana mereka berada.
*) Penulis adalah Koordinator Kader Hijau Muhammadiyah Sulsel