Oleh : Aditya Hidayatullah*
Wacana Global ideologi banyak menghadirkan rumusan dan pemaknaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara . Dalam kehadirannya ideologi menghadirkan konsep negara dan pemerintah . Diantara pertentangan yang sangat tajam antara liberalisme-kapitalisme dan sosialisme, pendiri bangsa ini memberikan jalan alternatif agar terbebas dari jebakan dua titik ekstrim tersebut. Maka Lahirnya Pancasila pada 1 Juni 1945 yang dirumuskan panitia sembilan (BPUPKI) diprakarsai oleh Ir. Soekarno, Drs.Muh.Hatta dan kawan-kawan adalah sebagai dasar negara bukan sebagai
ideologi negara.
Pancasila adalah fondasi dasar rumah kebangsaan bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ibarat sebuah bangunan rumah, pancasila diciptakan sebagai fondasi yang kuat agar rumah kebangsaan bernama negara Indonesia dapat kokoh dan abadi, menjadi tempat perlindungan bagi setiap warganya. Dalam hal ini Pancasila disebut sebagai Falsafah negara (Philosofische Gorndslag). Selain itu, Pancasila memuat fungsi sebagai prinsip dasar pandangan terhadap dunia (Weltanschauung) yang memandu perjalanan bernegara kearah cita-cita masa depan.
Namun sejak memasuki fase kekuasaan rezim Soeharto, Pancasila mengalami degradasi interpelasi makna sebagai dasar negara bangsa Indonesia. Maka kepemimpinan Soeharto berhasrat meletakkan Pancasila sebagai ideologi asas tunggal bagi bangsa Indonesia. Bertujuan pada pengarahan pengembangan Moral Pancasila, Ekonomi Pancasila dan seterusnya. Karena pada saat kepemimpinan Bung Karno terlalu banyak pertikaian pemikiran antara agamais, nasionalis, dan komunis (Nasakom) dalam menerapkan Pancasila sebagai Dasar negara.
Kecenderungan tafsir monopolis yang bercorak tunggal membuat Pancasila ditafsirkan secara baku oleh rezim Orde Baru (Orba) dengan mengeluarkan Istilah Pedoman penghayatan pengalaman Pancasila (P4) melalui Ketetapan MPR No. II/MPR 1978. Dengan ketentuan itu, berlaku asas tunggal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila lalu menjadi alat indoktrinasi, monopoli serta dijadikan alat legitimasi kekuasaan sehingga menjadi ideologi hegemonik yang dipratikkan secara represif. Orde Baru juga penuh dengan slogan ekonomi Pancasila, Demokrasi Pancasila, bahkan hukum berdasarkan ketetapan MPR.No XX/MPRS 1966. Tetapi pada kenyataannya, ekonomi yang di praktekan oleh rezim orba cenderung bercorak liberal- kapitalisme dan yang menikmati kemakmuran ekonomi bukanlah masyarakat tetapi hanya dirasakan segelintir orang (Rentenir capitalisme state).
Demokrasi Pancasila juga tereduksi maknanya melalui aturan yang justru melanggengkan kekuasaan Orba selama 32 tahun. Kekuasaan yang begitu lama membuat posisi negara sangat kuat semantara civil society berada dalam posisi yang sangat lemah sehingga koreksi kritis terhadap Orba selalu diangggap tidak pancasilais. Suara kritis selalu direspon negara melalui tindakan represif bahkan pendekatan militeristik. Hal itu merupakan tipikal rezim otoriter yang menggunakan Pancasila sebagai alat melanggengkan kekuasaan. Kemudian, ketika civil society melakukan gerakan penumbangan Rezim Otoriter Soeharto ditengah krisis monoter untuk meruntuhkan praktik Kolusi, Korupsi dan Nepotisme (KKN) yang tumbuh subur, Prof. Dr. Amin Rais sebagai ketua MPR saat itu mengumandangkan suara reformasi kepada mahasiswa dan masyarakat Indonesia. Hal itu bertujuan meninggalkan artefak otoritarianisme Orba menuju era reformasi yang lebih demokratis sehingga kekuasaan Soeharto tumbang melawan gravitasi reformasi pada 21 Mei 1998. Tumbanganya Orba membuat segelintir masyarakat Indonesia trauma dengan Pancasila beserta penerapan P4 sebagai asas tunggal yang dijadikan legitimasi kekuasaan semata. Maka kabinet reformasi kepemimpinan Presiden Prof. Dr. BJ Habibie melakukan perubahan yang sangat mendasar demi utuhnya bangsa Indonesia dengan melakukan perubahan khususnya menyangkut posisi Pancasila dan tafsir P4-nya pada ketetapan MPR RI No XVII/1998. Hal itu dilakukan agar fungsi Pancasila murni sebagai dasar negara, menghapus P4 serta menghapus penerapan asas tunggal bagi organisasi politik di Indonesia. Sehingga kelompok/organisasi yang di bubarkan dan bersebalahan dengan asas tunggal di era Orba mulai muncul kembali sejak di tetapkannya UU No. 9 tahun 1998, Sebagai Gerbong Kebesan Hak sipil yang mengemukakan pendapat kepada khalayak dengan lisan tuliasan.
Setelah masyarakat Indonesia merayakan era Reformasi, mimpi buruk di masa Orba kembali hadir ke permukaan melalui kekuasaan Rezim Joko Widodo. Penerapan kebijakan mengenai Perppu No. 2 2017 dengan pertimbangan UU 17 tahun 2013 belum mengatur secara komprehensif mengenai keormasan yang bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dianggap sebagai kekosongan hukum dalam hal penerapan sanksi yang efektif. Melalui Perppu No. 2 Tahun 2017 Tentang Keormasan, Presiden Joko Widodo pada 10 Juli 2017 membubarkan Hizbuh Tahrir Indonesia (HTI). Bayang-bayang asas tunggal kembali muncul melalui Badan Pembina ideologi Pancasila atau (BPIP) yang dipimpin Prof. Dr. Yudian Wahyudi dan Megawati Soekarnoputri sebagai ketua dewan pengarah. Pemerintah berdalih bahwa Perppu itu dikeluarkan untuk memberikan pemahaman dan menanamkan nilai-nilai Pancasila sebagai pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara. Sekolompok orang dan Ormas mempermasalahkan adanya (BPIP) karna dinilai tidak efektif dan tidak subtansif. Apalagi negara harus merogok kocek yang tidak sedikit untuk menggaji pengurus BPIP sebesar 217 M/Bulan. Jika mau memperhatikan malah negara lah yang tidak menerapkan Pancasila dalam mengeluarkan kebijakan. Contohnya seperti RUU KUHP, UU KPK 2019, pembahasan RUU Omnibus Law ditengah Covid 19, Mensahkan UU minerba di situasi Pandemi Hanya untuk memanjakan pala Oligarki yang merongrong sumber daya Alam Indonesia tanpa memikirkan dampak lingkungan dan ekologis di
Apakah itu yang dinamakan Ideologi Pancasila? Itulah dampak ketika negara memaksakan negaranya untuk Berideologi. Padahal Karl Marx jauh-jauh hari mengatakan ideologi hanyalah gambar yang terbalik atau kesadaran palsu yang memanfaatkan kelas tertentu sebagai dominasi penguasa (Rulling Clas) dan dominasi Borjuasi sehingga gerak kehidupan dikontrol oleh kelas dominan tersebut. Adapun ujaran Karl Marx dalam konsep Epifenomena: Idelogi menurut konsep ini merupakan sistem ide yang mengekspresikan hubungan antarkelas dan ambisi dominan atau bisa disebut sebagai asimetri kelas (Kegiatan antarkelas dalam kegiatan produksi). Ideologi menjadi cara untuk mempertahankan kepentingan dan dominasi klas tertentu.
*) Penulis adalah Kabid Hikmah IMM Gowa