MataKita.CO, Enrekang – Pegerakan Koalisi Rakyat Enrekang (Perkara) menggelar aksi menolak RUU Omnisbus Law di Bundaran Patung Sapi, Kecamatan Enrekang, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan, Kamis (13/08/2020).
Aksi yang dilakukan dengan membentangkan spanduk dan membagikan selebaran itu dimulai pukul 16.30 sampai 17.00 Wita. Massa aksi menilai rakyat lebih membutuhkan reforma agraria sejati dibanding RUU Omnibus Law karena tidak berpihak kepada rakyat kecil.
Koordinator Aksi, Ibba mengatakan bahwa RUU Cipta Kerja yang merupakan produk Omnibus Law hanya berpihak pada investor dan sebaliknya tidak mensejahterakan rakyat kecil.
“RUU Omnisbuslaw ini sangat merugikan dan menindas rakyat serta kaum buruh. Sementara investor sebagai agen kapitalis asing justru akan dilayani dengan baik,” terang Ibba.
Sementara itu, salah satu kader Perkara, Risman menjelaskan bahwa di masa pandemi, rakyat semakin miskin dan menderita akibat hantaman krisis ekonomi dan kebijakan asal-asalan yang dikeluarkan rezim Jokowi.
Olehnya itu, Perkara menyatakan dengan tegas menolak Omnibus Law dengan beberapa alasan:
1. Melegitimasi investasi perusak lingkungan, mengabaikan investasi rakyat dan masyarakat adat yang lebih ramah lingkungan dan menyejahterakan;
2. Penyusunan RUU Cilaka cacat prosedur karena dilakukan secara tertutup, tanpa partisipasi masyarakat sipil, dan mendaur ulang pasal inkonstitusional;
3. Celah korupsi melebar akibat mekanisme pengawasan yang dipersempit dan penghilangan hak gugat oleh rakyat;
4. Sentralisme kewenangan yaitu kebijakan ditarik ke pemerintah pusat yang mencederai semangat reformasi;
5. Perampasan dan penghancuran ruang hidup rakyat;
6. Menerapkan perbudakan modern lewat sistem fleksibilitas tenaga kerja berupa legalisasi upah di bawah standar minimum, upah per jam, dan perluasan kerja kontrak-outsourcing;
7. Percepatan krisis lingkungan hidup akibat investasi yang meningkatkan pencemaran lingkungan, bencana ekologis (man-made disaster), dan kerusakan lingkungan;
8. Potensi PHK massal dan memburuknya kondisi kerja;
9. Kriminalisasi, represi, dan kekerasan negara terhadap rakyat, sementara negara memberikan kekebalan dan keistimewaan hukum kepada para pengusaha; dan
10. Memiskinkan petani, nelayan, masyarakat adat, perempuan dan anak, difabel, dan kelompok minoritas keyakinan, gender dan seksual, tegasnya.