Oleh: Egi Purnomo Aji
Dalam sebuah hadits yang shahih dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“إِنَّ اللَّهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ الأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِينَهَا”
“Sesungguhnya Allah akan mengutus (menghadirkan) bagi umat ini (umat Islam) orang yang akan memperbaharui (urusan) agama mereka pada setiap akhir seratus tahun”
Zaman dahulu, masa penjajahan kolonial Belanda, Islam dipengaruhi oleh ajaran Syeh Siti Jenar, yang merefleksikan bahwa Raja adalah pengejawantahan Tuhan, hal ini dimaksudkan titah Raja adalah sabda Tuhan, pada masa ini, syariat Islam menyimpang kearah Tahayul, Bid’ah dan Kurafat (TBC). Masa ini pula merajalela masyarakat yang mengalami kemiskinan dan kebodohan akibat politik tanam paksa Belanda. Pada tanggal 1 Agustus 1868 lahirlah seorang anak yang bernama Muhammad Darwis. Sosok Darwis merupakan anak yang cerdik tidak mudah patuh pada dogma/ keadaan yang kebenarannya masih dipertanyakan.
Sebagai ilustrasi, pada suatu ketika ia mengintip masyarakat yang menyajikan sesajen pada pohon besar, kemudian oleh Darwis, sesajen ini diambil dan dibagikan pada orang-orang yang membutuhkan makanan (kelaparan). Dari ilustrasi di atas dapat diketahui sosok Darwis adalah orang yang cerdik serta tidak mudah menerima dogma atau keadaan yang belum tentu kebenarannya. Akan tetapi akibat dari tindakannya tersebut, Darwis mendapati nasehat dari bapaknya bahwa “Menghayati Al-qur’an dan Sunnah bukan hanya berdasar akal tapi juga harus dibarengi kolbu (hati)”, hal ini dimaksudkan bahwa manusia sering terpeleset kedalam kesesatan akibat hanya menggunakan akal saja tanpa dibarengi kolbu.
Darwis yang bertekad mempelajari agama Islam secara komprehensif, membawa ia ingin berhaji dan sekaligus memperdalam agama Islam. Sebelum berangkat ia mendapati nasihat dari bapaknya bahwa, berhaji harus sabar karena tidak mudah, dan juga mendapat nasehat dari pamannya yakni kalau kau berhaji dan belajar ke Makkah, kau harus bisa membawa perubahan terlebih di Kauman. Menurut pamannya banyak kyai-kyai yang sudah belajar jauh ke Makkah tetapi masih saja bodoh, dalam artian tidak bisa membawa perubahan pada masyarakat yang menyimpang ke TBC.
Sepulangnya dari Makkah, Muhammad Darwis berganti nama menjadi K.H Ahmad Dahlan. Suatu ketika bapaknya berbicara bahwa, tugas saya sudah selesai dan sekarang tugasmu, manfaatkanlah langgar ini dengan sebaik-baiknya. K.H Ahmad Dahlan yang telah belajar agama Islam di Makkah mendapatkan pemikiran-pemikiran Islam modern, pada saat sholat dimasjid besar Kauman ia menganalisis bahwa ternyata kiblat masjid ini dirasanya keliru, akan tetapi ia tidak langsung menyimpulkan, ia mencari dan mengumpulkan bukti terlebih dahulu dengan menelaahnya menggunakan ilmu Falaq dan juga bertanya-tanya perihal kiblat-kiblat masjid lainnya. Dan ternyata ia menemukan kesimpulan bahwa hampir keseluruhan masjid Jawa khususnya di Yogyakarta kiblatnya salah, yakni menghadap kebarat bukan ke arah Ka’bah.
Kemudian ia meminta agar semua kyai-kyai berkumpul, untuk mendiskusikan hal ini, tapi saat diskusi berlangsung malah sebuah penolakan yang ia terima “Sesuatu yang baru belum tentu benar, maka hati-hati” prinsip inilah yang dipegang erat oleh kyai-kyai saat itu. Menurut Kyai Siraj Pakualaman “Kiblat bukan soal arah tapi soal kolbu, Gusti Allah bertahta tidak berdasarkan arah melainkan ada pada kolbu umat”. Hal ini memiliki makna yang selaras pada dogma saat itu bahwa, kalau berpedoman atau menggunakan apapun buatan kafir maka akan dianggap kafir juga, akan tetapi K.H Ahmad Dahlan ingin membuktikan dogma ini salah, dengan ia menggunakan meja dan kursi buatan orang kafir, kemudian datang seorang Kyai Magelang yang mengatakan kenapa kau meniru orang kafir berarti kau kafir, hal ini dibantah dengan penjelasan cerdas K.H Ahmad Dahlan, maaf kyai anda kesini naik apa, bukankah naik kereta, kereta peralatannya dari kafir, berarti anda menggunakan kendaraan orang kafir. Hanya orang bodoh yang mengatakan kursi dan meja dan semua yang meniru alat orang kafir mengikuti orang kafir. Pada saat itu juga Kyai Magelang meninggalkan tempat K.H Ahmad Dahlan. Sebuah sikap idealis diperlukan, akan tetapi jangan sampai menutup mata, ketika ada sebuah pandangan baru, yang ternyata membawa pada kebenaran.
K.H Ahmad Dahlan mendirikan sebuah organisasi Muhammadiyah. Organisasi ini disetujui oleh Sultan dengan berpesan agar organisasi ini jangan memecah belah umat (membuat perselisihan). Akan tetapi penghulu masjid besar Kauman tidak setuju organisasi ini berdiri, karena menurutnya akan menyaingi posisinya sebagai orang nomor satu di Kauman. Ternyata ketidaksetujuan ini didasari atas kesalahpahaman penghulu. Dan pada akhirnya penghulu menyetujui berdirinya organisasi ini di Kauman. Penghulu mengatakan “Kadang manusia memilih melindungi kewibawaan dirinya daripada bertanya untuk apa kewibawaan itu bagi dirinya, ketika ingin menjadi pemimpin untuk orang lain, tanyakan pada diri sendiri, apakah kita telah mampu memimpin diri kita sendiri”.
Berdasarkan perjuangan K.H Ahmad Dahlan di atas, dapat kita teladani dari segi gerakan Tajdid “Gerakan pembaharuan” yang mana, demi terwujudnya Islam yang membawa ketenteraman dan kedamaian bagi pemeluknya, laksana sebuah musik biola yang ia mainkan, yang ketika dimainkan membawa pendengarnya pada kenyamanan, ketenteraman dan kedamaian. K.H Ahmad Dahlan tidak menolak bahkan menjadikan pemikiran baru sebagai strategi Tajdid.
Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan dan Ketua Bidang Organisasi Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Ahmad Dahlan.