Beranda Hukum 60 Tahun UUPA : Eksistensi Prinsip Hukum Agraria Nasional

60 Tahun UUPA : Eksistensi Prinsip Hukum Agraria Nasional

0
Andi Suci Wahyuni

Oleh : Andi Suci Wahyuni*

Tepat di tanggal 24 September 1960, Pasca Kemerdekaan RI Para pendiri Negeri ini bergegas untuk menyegerakan lahirnya produk hukum mengenai agraria nasional. Sebagai komitmen pendiri negeri ini kepada rakyatnya yang masih terbelenggu atas keberlakuan dualisme dan pluralisme hukum hak-hak pemilikan dan penguasaan tanah Mereka meyakini bahwa tanah merupakan essensi utama untuk menyejahterakan rakyatnya. Untuk itu desakan pengajuan RUU Pertanahan dimasa DPR Gotong Royong untuk meloloskan RUU tentang Hukum Agraria Nasional terus disuarakan hingga lahirnya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Prinsip-prinsip hukum tanah nasional yang menjadi dasar penatagunaan dan pemanfaatan lahan, peletakkan sendi-sendi pembangunan hukum berkaitan dengan agraria dan sumber daya alam dalam UUPA adalah prinsip yang sangatlah humanis dan merupakan perwujudan sila-sila Pancasila. Filosofi, Tanah dan Sumber daya alam adalah karunia Tuhan yang Maha Esa sehingga Hak bangsa Indonesia atas bumi, air dan ruang angkasa adalah Hak tertinggi dan utama dalam penguasaan hak atas tanah.

Bagaimana Hukum agraria nasional kini dalam memayungi hukum atas penguasaan dan pengaturan pertanahan yang bertujuan pada sebesar-besar kemakmuran rakyat? 60 tahun sudah UUPA dengan tujuan hakikinya menjadi kesatuan hukum pertanahan nasional. Catatan kritis terhadap perjalanan UUPA di era demokrasi saat ini, yaitu berbagai regulasi dibidang sumber daya alam yang tumpang tindih dengan UUPA, konflik lahan Hak Guna Usaha (HGU) saling klaim areal lahan antara perusahaan baik itu perusahaan negara maupun swasta dengan masyarakat lokal dan juga masyarakat adat, lambatnya realisasi redistribusi tanah bagi petani dalam kebijakan Reforma Agraria (RA), pengajuan RUU Pertanahan pada akhir tahun 2018 dan terakhir draft RUU Cipta Kerja yang mengatur tentang pertanahan. Salah satu pasal yang yang menjadi kontroversi dalam RUU Cipta kerja adalah konsep pemberian jangka waktu HGU guna Investasi 90 tahun secara sekaligus diawal permohonan hak. Dikemukakan oleh Prof. Dr. Maria S.W. Sumardjono bahwa dalam Penguasaan sumber daya alam oleh negara diharuskan dengan tujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat sebagaimana amanah Pasal 33 ayat (3) UUD NRI 1945, penguasaan negara ditafsirkan dalam putusan MK bahwa negara “membuat kebijakan, mengatur, mengurus, mengelola dan mengawasi agar tercapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dalam artian, seberapa jauh masyarakat dapat memperoleh manfaat dari penguasaan dan pemanfaatan Sumber Daya Alam (SDA).”sehingga pemberian HGU dengan jangka waktu kumulatif dianggap bertentangan dengan konstitusi. Ketentuan Pasal 2 ayat 3 UUPA, yaitu wewenang negara dalam Hak Menguasai negara digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan, dan kemerdekaan dalam masyarakat dan negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur. Terkait konsep pemberian jangka waktu HGU secara sekaligus dengan kumulatif 95 tahun terkait kemudahan investasi telah pula diajukan judicial review, yang dengan Putusan MK N0. 21-22/PUU-V/2007 dinyatakan bahwa Pasal 22 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal inskontitusional dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Sehingga HGU hanya dapat dimohonkan dengan prosedur sebagaimana UUPA dan PP No. 40 Tahun 1996 dengan bertahap dan pemenuhan persyaratan tidak secara kumulatif diawal pengajuan permohonannya. Mahkamah konstitusi memberikan tafsiran bahwa menyangkut tanah, maka atas dasar adanya kepentingan yang dilindungi oleh konstitusi itulah dibuat kebijakan nasional di bidang pertanahan yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan kemakmuran rakyat, di antaranya berupa pendistribusian kembali pemilikan atas tanah dan pembatasan pemilikan luas tanah pertanian, sehingga penguasaan atau pemilikan tanah tidak terpusat pada sekelompok orang tertentu. Maka terjadi persebaran sumber ekonomi secara lebih merata yang akhirnya tercapai tujuan pemerataan kemakmuran rakyat. Untuk tanah yang dikuasai oleh negara, pemerataan hak atas tanah tersebut dilakukan dengan kebijakan pemerataan kesempatan untuk memperoleh HGU, HGB, dan Hak Pakai dalam jangka waktu tertentu yang tidak terlalu lama. Dengan adanya pemberian jangka waktu sekaligus dimuka akan mengurangi wewenang negara dalam melakukan tindakan pengawasan (toezichthoudensdaad) dan pengelolaan (beheersdaad).

Sejalan dengan makna Pasal 33 UUD NRI 1945, UUPA memberikan jaminan atas perlindungan golongan ekonomi lemah terhadap yang kuat sebagaimana ketentuan Pasal 11 dan Pasal 15 UUPA. Sehingga monopoli atau penguasaan atas kehidupan dan pekerjaan orang lain yang melampaui batas dalam bidang usaha agraria tidak diperbolehkan karena bertentangan dengan prinsip keadilan sosial. Prinsip ini jika dihubungkan dengan ketentuan prinsipil lainnya dalam UUPA memuat makna bahwa pengusahaan dalam bidang agraria menganut prinsip demokrasi ekonomi dan persamaan hak serta kewajiban bagi setiap warga negara (nondiskriminasi) baik secara individu maupun bersama-sama, badan-badan hukum untuk perolehan hak atas tanah dan pengusahaan usaha-usaha dibidang agraria. Ketentuan tersebut meletakkan dasar agar pemilikan, penguasaan dan pemanfaatan lahan dalam lapangan haruslah mewujudkan terciptanya keadilan sosial. Sehingga dimungkinkan adanya kerjasama diantara badan-badan hukum dan individu agar tercipta keadilan dalam berusaha dan meminimalkan ketimpangan pendapatan. Prinsip fungsi sosial hak atas tanah, mengandung makna bahwa setiap hak atas tanah yang dimiliki oleh pemegang hak atas tanah harus digunakan dan dimanfaatkan dalam batasan tidak merugikan kepentingan umum, negara dan memberikan manfaat baik bagi pemegang haknya maupun masyarakat dan negara (Pasal 6 UUPA). Prinsip tersebut mengatur tentang keseimbangan kepentingan perseorangan, kepentingan masyarakat dan kepentingan negara. Prinsip lahan pertanian untuk petani “land to the tiller” mengandung makna tanah-tanah pertanian diusahakan secara aktif sehingga terlantarnya tanah pertanian adalah ketidakmampuan negara mengatur peruntukkan tanah pertanian kepada subjek hukum yang berhak untuk itu. Ini pun menjadi timpang Ketika kita mendengar masih terjadi ketimpangan pemilikan lahan pertanian oleh petani.

Sengketa lahan HGU menjadi persoalan yang kini menjadi salah satu sumber konflik agraria nasional. Konflik agraria yang terjadi dalam kurun waktu lima tahun terakhir bersumber dari konflik areal perkebunan. Lahan-lahan HGU milik BUMN dan persebaran perkebunan kelapa sawit yang menuai protes karena terjadinya kebakaran hutan dan terbitnya Inpres Moratorium perkebunan sawit. Menurut data dilansir Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) saat ini luas areal perkebunan sawit 16, 3 juta hektar dengan monopoli penguasaan lahan ada pada swasta. Pada tahun 2016, diketahui gini rasio kepemilikan lahan 0,58 % dalam arti 1 % kelompok atau penduduk menguasai 58 % SDA, ruang dan lahan di Indonesia. Alhasil ini menambah rentetan permasalahan agrarian di Indonesia. Kedaulatan pangan yang terwujud dalam swasembada pangan dan ketahanan pangan nasional akan sulit terwujud jika kondisi lahan pertanian yang minim. Laju alih fungsi lahan yang secara pasti tak akan bisa dicegah dengan berbagai kondisi tiap daerah yang mengusahakan pembangunan dan masuknya investasi tanpa konsep perjanjian pemanfaatan lahan serta alih teknologi memuat keseimbangan antara investor dan pemerintah mengenai hak serta kewajiban masing-masing.

Kehadiran Perpres No. 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria dan Perpres No. 59 Tahun 2019 tentang Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah, diharapkan mampu mempertegas kondisi ketimpangan struktur kepemilikan dan penguasaan lahan di Indonesia. Harapan bahwa Reforma Agraria tidak hanya bergerak stagnan ditempat karena masih mencari mekanisme alur yang tepat. Sedangkan para petani, buruh tani dan masyarakat yang menggantungkan hidup dari lahan pertanian memerlukan lahan yang berkepastian hukum. Penetapan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B) dan penetapan Lahan Sawah yang dilindungi pada lahan pertanian dimuat dalam suatu sistem data informasi yang akurat dan transparan sehingga dapat dengan mudah diakses melalui rencana Tata ruang dan Wilayah daerah kabupaten/ kota. Insentif atas penetapan lawan sawah terlindungi dan Pendampingan bagi penerima lahan redistribusi harus terus dilakukan terutama di masa pandemi Covid -19 ini dimana hasil-hasil pertanian perlu diberikan akses yang memudahkan terdistribusinya hasil pertanian dengan cepat kepada konsumen sehingga harga-harga petani tidak selalu rendah. Implementasi dari penataan akses sebagai program kebijakan Reforma Agraria perlu segera dilakukan dengan mekanisme yang terukur dan transparan dengan melibatkan berbagai pihak baik perbankan, pembiayaan, akademisi. Selain itu upaya mentransformasi kegiatan pengusahaan lahan pertanian, sistem pengendalian hasil-hasil pertanian berbasis IT. Mengelola lahan juga perlu memperhatikan dan mengutamakan lahan-lahan di wilayah pesisir dan kepulauan. Untuk itu pendampingan diperlukan, dimungkinkan untuk melibatkan mahasiswa selaku generasi yang fasih dalam penggunaan IT, mahasiswa tentu siap membantu hal ini sejalan dengan program Merdeka Belajar dimana mahasiwa dibebaskan untuk melakukan kegiatan baik penelitian dan pengabdian pada masyarakat yang kemudian akan disetarakan dengan bobot Satuan Kredit Semester (SKS) kuliah mereka. Mahasiswa dapat menjadi agen pelopor membangun sistem pemanfaatan lahan dengan mengaktualisasikan keilmuan terutama mengembangkan akses penggunaan IT, mengedukasi masyarakat dalam mengusahakan lahan pertanian dengan memperhatikan pertanian yang ramah lingkungan dan menjaga kualitas serta keseimbangan lingkungan sehingga dapat mengurangi penggunaan pupuk berbahan kimia. Termasuk menjadi fasilitator antara masyarakat desa dengan lembaga-lembaga terkait baik pemerintahan, BUMN, BUMD dan swasta dalam pelaksanaan kegiatan yang menumbuhkembangkan usaha-usaha masyarakat dipedesaan dan menciptakan UMKM di bidang pertanian. Membangun perekonomian desa berarti membangun kekuatan perekonomian nasional yang tangguh.

Makassar, 26 September 2020

*) Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Unhas

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT