Beranda Mimbar Ide Anarkisme Rakyat Versus Eksploitasi Kapitalisme, di mana kelas menengah priyayi?

Anarkisme Rakyat Versus Eksploitasi Kapitalisme, di mana kelas menengah priyayi?

0
Aksi mahasiswa tolak UU Cipta Kerja

Oleh : Wahyudi Akmaliah*

Pertanyaan umum tapi penting untuk dijawab, apakah semua kelompok masyarakat di bawah rejim kolonial Belanda mau terbebas dan memerdekakan diri? Jika melihat studinya Henk, kita dapat mengetahui bahwa kelompok kelas menengah indigenous di wilayah jajahan sebenarnya menikmati sekali hidup di tanah jajahan, dan mengikuti dengan sangat baik bagaimana bergaya ala tuan dan noni Belanda. Foto-foto iklan yang ditunjukkan dalam tulisan beliau cukup meyakinkan hal tersebut.Asumsi ini tentu saja keluar dari pakem sejarah nasionalisme kita, di mana seolah-olah seluruh rakyat di bawah kolonial Belanda ingin merdeka dan jadi bangsa yang mandiri.

Karena itu, kemerdekaan kita tidak turun dari pemberian hasil negosiasi, melainkan dengan jalan revolusi. Di sini, revolusi, kalau melihat kajiannya Ben Anderson, tidak hanya dilakukan oleh segelintir elit, sebagaimana ditulis oleh Kahin, melainkan oleh kelompok kebanyakan. Mereka yang melakukan gerilya dan perlawanan di pelbagai daerah. Tindakannya dalam melawan Belanda ini ya terbilang anarkis karena memang mereka merasakan betul-betul titik terbawah mengenai penindasan kolonial.

Disahkannya UU Cipta Kerja dan bagaimana respon publik bisa merefleksikan hal tersebut, meskipun konteks, agensi, dan waktunya sangat berbeda. Saya melihat apa yang dilakukan oleh teman-teman yang melakukan demonstrasi yang kemudian berujung pembakaran dianggap sebagai pengganggu keamanan, resistensi, sekaligus pembangkangan yang tidak sesuai dengan cerminan kelas menengah. Bagi kelas menengah, selama akses dan pendapatan ekonomi mereka tidak terganggu kebijakan UU Cipta Kerja adalah baik.

Namun, sikap nyinyir mereka tidak sebanding dengan kemungkinan eksploitasi ekonomi kepada kelompok-kelompok yang seharusnya dilindungi oleh negara. Memang, dibandingkan dengan eksploitasi, anarkisme terlihat lebih barbar karena menunjukkan wajah kekerasan secara langsung. Namun, mereka bergerak bukan karena iseng atau sekedar menjalankan hobi. Sebaliknya, mereka melihat ada sesuatu yang salah, di mana fungsi wakil rakyat tidak bisa melindungi nasib mereka ke depan. Sementara tindakan eksploitasi itu sebagai sesuatu yang tak terlihat tapi benar-benar menghisap ke jantung persoalan orang kebanyakan. Di sisi lain, kebijakan eksploitasi terhadap alam tidak terjadi di kota-kota besar, melainkan di luar itu. Karena itu, melihat perspektif lebih besar dengan kalkulasi menjadi penting, yaitu berapa sebenarnya kerugian yang diakibatkan oleh tindakan anarkisme ketimbang eksploitasi ekonomi dalam lipatan predator politik dan kepentingan oligarki?.

Yang sangat menjengkelkan, ketika perubahan itu terjadi, yang mengambil kesempatan untuk mengisi ruang kosong itu justru mereka. Selain memiliki akses pendidikan yang cukup baik, kapital ekonomi, mereka bisa beradaptasi dalam setiap rezim pemerintahan sehingga bisa bertengger dalam pusaran kekuasaan. Jikalaupun tidak, mereka tidak terimbas dari proses reformasi atau revolusi sebelumnya, sambil diam-diam melipir untuk untuk mendapatkan remah-remah kekuasaan dalam institusi negara.

*) Penulis adalah peneliti LIPI

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT