MataKita.CO, Makassar – Lima pekan berturut-turut, Komunitas Peradaban Makassar menggelar diskusi dengan terma ‘Diskotik’ (Diskusi Kopi Politik), sebagai respon keresahan warga Makassar atas terjadinya degradasi kebudayaan di kota ini. Gagasan ini sebagai tindak lanjut atas laju derap pembangunan di Kota Makassar yang semakin tak terarah dan tak terkendali. Komunitas Peradaban Makassar sejak dini telah menghimpun berbagai lapisan masyarakat termasuk generasi Milenial untuk ikut berkontribusi dalam setiap gelaran diskusi yang diadakan.
Pada Pekan ke-5 Diskotik mengangkat topik diskusi seputar pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Makassar berjudul “Walikota Impian Warga dan Dinamika Demokrasi”, Jumat (23/10/2020).
Manusia bisa saling percaya satu sama lain, bila tradisi tetap dipertahankan dalam sebuah komunitas masyarakat”. Namun demikian Tradisi akan musnah dan ditinggalkan orang sesuai dengan tuntutan waktu.
Founder Komunitas Peradaban Makassar, Mashud Azikin menegaskan perlunya kepemimpinan yang kuat agar tradisi dan budaya masyarakat tidak begitu saja tergerus zaman.
“Pemimpin harus mampu menghidupkan dialektika zaman agar sintesa kebudayaan mampu menghadirkan tradisi positif baru tanpa menggusur tradisi lama semisal rasa gotong royong dalam masyarakat,” imbuhnya.
Iqbal Abdul Rahman, Founder Glassnet, sebuah organisasi nirlaba yang menghimpun warga-warga mancanegara yang pernah bermukim di Kota Makassar, menerangkan bahwa “Ngopi” pada hakekatnya adalah suatu “gerakan” itu sendiri sehingga pada abad 14, Ngopi sempat dilarang oleh otoritas Turki, maka kopi sebagai komoditas harus mendapatkan marketnya.
Dengan demikian, para pedagang kemudian mencari zona pasar ke Eropa, namun sama halnya dengan di Turkey mendapat lampu-merah tak boleh masuk Roma oleh otoritas Vatican saat itu. Masyarakat yang menghirup “udara demokrasi” mengutip Apa-boleh-buat-dot-com, para merchants berkelok-meliuk lagi hingga masuklah ‘Qahweh’ [nama kopi sbg beverage saat itu] ke Paris. Meledaklah “Revolusi Perancis” dan simsalabim, sejatinya tak lepas dari kepulan asap keju dan aroma kopi diberbagai ‘Cafe’ [derivasi dari Qahweh] Paris.
“Saya menangkap apa yang dilakukan oleh Komunitas Peradaban Makassar ini adalah menjadikan ‘Ngopi’ sebagai semacam ‘Strategi Gerakan’,” terang laki-laki keturunan Selayar yang lama bermukim di Eropa dan Canada ini.
Dalam perspektif ngopi, dimana Komunitas Peradaban Makassar telah memasuki fase N (Niat) dan G (Gerak) dan sedang berproses ke fase O yakni “Organize” dan kemudian selanjutnya akan memasuki fase P (Program). Saya mendambakan jika kelompok di berbagai lokasi bisa saling terhubung pada forum diskusi ini untuk membuat semacam resolusi bersama berupa Piagam Makassar. Dimana poin-poin Piagam Makassar tersebut akan menjadi ‘guidance’, yang kita harapkan akan melengkapi fase akhir “NGOPI” dengan huruf “I” Implementasi.
“Memang benar bahwa para pejabat cenderung melakukan praktik “tukar-tambah” kekuasaan. Tetapi harus difahami bahwa politik itu sendiri adalah seni mengelola kepentingan dari berbagai elemen pendukung dan publik. Sehingga sistem ber-Demokrasi dialam era Industrialisasi 4.0 saat ini merupakan tantangan tersendiri bagi para pemangku kebijakan dari Piagam Makassar nantinya,” demikian Ahmad Said (Pegiat Media Sosial) menambahkan.
“Para stake holder (warga kota), yang dalam perspektif Badan Promosi dan Pengembangan Pariwisata Makassar disebut sebagai “Tumabuttanna Mangkasarak,” harus merumuskan sendiri vocal-point apa yang dibutuhkan pemerintah serta politisi dan pemangku kepentingan agar mereka memahami mengapa Piagam Makassar itu penting,” demikian Mashud Azikin menambahkan.
Dalam perspektif lain, Zakaria Ibrahim (Politisi Partai Berkarya) memandang fenomena bahwa politik identitas juga merupakan faktor dalam dinamika demokrasi di dalam masyarakat yang multikultur seperti Makassar. Untuk itu, peran “pemimpin idaman” warga dengan strong leadership akan sangat menentukan arah pertumbuhan kota dan warganya kedepan.
“Kehidupan di sebuah masyarakat seperti Kota Makassar begitu dinamis dan berwarna. Secara sederhana, masyarakat nya bisa digolongkan dua kelompok utama. Mereka yg melihatnya begitu berwarna dan mereka yg melihatnya secara hitam putih. Namun terlepas dari pengelompokan tersebut, kehidupan selalu memberikan kita semua kesempatan untuk tetap tersenyum,” demikian politisi yang sehari-hari juga menyibukkan diri sebagai Pengusaha kontraktor itu.
Diskusi yang berlangsung sangat menarik dan dinamis ini dipandu oleh Wahyuddin Yunus sebagai moderator. Turut hadir Andi Anshari Salahuddin (politisi Partai Nasdem), Umar Hankam (Pegiat Media Online), Zainal Csr (Founder Kopigikeliling), Hayat Anas (Partai Berkarya), Andi Fuad Abbas (Forum Suara Rakyat), Muh Rafli Imran (Pengacara), Muh Aulia Fajrin (Kopigikeliling), Syahrul (wartawan), Faisal (Warkop Institute, Muhammad Dzulfikar (Pengacara) dan beberapa Aktifis dai kaum millenial Makassar.