Oleh : Wahyudi Akmaliah*
Terkait dengan pelecehan nabi Muhammad, ada satu reaksi yang penting untuk dibahas, yaitu pernyataan mengenai solidaritas Muslim Indonesia yang mengecam aksi pelecehan Nabi Muhammad di Prancis, lalu menyandingkan dengan kekerasan yang dialami oleh kelompok Syiah, Ahmadiyah, dan masyarakat Papua. Perbandingan ini memang tepat untuk menggugat mereka yang membangun solidaritas trans-nasional Islam tetapi lupa terhadap saudara-saudaranya sendiri di Indonesia yang mengalami hal serupa.
Namun, menghadirkan paradoks trans-nasional solidaritas Islam itu tanpa mengetahui lebih jauh bagaimana imajinasi Islam itu dibangun membuat kita akan terus memproduksi pernyataan tersebut. Di sini, saya menawarkan tiga hal yang perlu dijadikan bahan pijakan refleksi.
Pertama, interaksi lokalitas dan kehidupan sehari-hari berislam. Maksudnya, melihat kembali bagaimana mereka mengalami Islam sehari-hari dan sentuhannya dengan konteks lokal menjadi penting. Semakin sering kelompok Islam ini tumbuh namun seiring kehidupannya tidak berinteraksi dengan kehidupan lokal mereka, baik itu dengan tetangga, gotong royong, menjalankan praktek kebudayaan oleh warga tempatan menjadi penting.
Kedua, imajinasi penyeleksian ummah. Meskipun kelompok syiah, ahmadiyah dan masyarakat Papua yang mengalami kekerasan bagian dari negara Indonesia, warganegara sebagai konsep kita menjalankan kehidupan sebagai bagian dari masyarakat Indonesia dengan fondasi Pancasila belumlah benar-benar terinternalisasi dengan baik. Ada macam-macam faktornya, salah satuya memang kelakuan elit politik yang keras ngomongin falsafah Pancasila tapi kenyataannya tidak sesuai, ditandai dengan korupsi yang terus membiak. Akibatnya, kelompok-kelompok Islam ini melakukan semacam imajinasi penyeleksian atas apa yang menjadi bagian dari ummah. Di sini, ketimbang membela kelompok syiah dan Ahmadiyah yang memang sudah jelas figur dan kelompoknya, lebih baik membela sesuatu yang masih abstrak dan terlihat jauh di sana.
Ketiga, melihat pertautan entitas imajinasi. Dalam konteks dukungan kepada imbas kekerasan kepada Papua, sangat sulit meminta dukungan dari mereka. Ini karena, memang meskipun bagian dari warganegara Indonesia dan di bawah fondasi Pancasila sebagai bagian dari falsafah negara. Mereka memiliki imajinasi solidaritas kosmopolitan islam yang berbeda. Di sini, mereka lebih merasa menjadi bagian dari saudara sesama islam yang jauh dan tidak dikenal, ketimbang saudaranya sesama bangsa, yang sesekali mereka lihat di ruang publik.
Tentu saja, ketiga hal tersebut masih bisa diperdebatkan, tetapi bisa menjadi bahan refleksi yang bisa diobrolkan lebih jauh. Ini karena, menghadirkan beberapa fakta hanya karena kita bagian dari Indonesia dan kemudian memprotes kenapa membela sesuatu yang jauh di sana adalah bentuk kontra-produktif yang tidak akan berujung kepada upaya mengetahui semacam logika berpikir di mana imajinasi paradoks itu terbentuk. Apalagi, saat rejim Orde Baru berkuasa dan terjadinya pembantaian dalam Peristiwa Talang Sari tahun 1989, logika penyeleksian atas ummah juga digunakan. Atas nama sempalan dan bukan bagian dari kebanyakan masyarakat Muslim umum, peristiwa ini sepi dari pembelaan kelompok-kelompok Islam yang menjaga moderat Islam saat ini.
*) Penulis adalah peneliti LIPI