Beranda Mimbar Ide Antara Demonstrasi UU Cipta Kerja dan Kerumunan Rizieq Shihab

Antara Demonstrasi UU Cipta Kerja dan Kerumunan Rizieq Shihab

0
Penjemputan Imam Besar Front Pembela Islam (FPI), Habib Rizieq Shihab yang dilakukan oleh ribuan orang di Bandara Soekarno Hatta pada Selasa (10/11/2020)

Oleh : Wahyudi Akmaliah*

Tidak sedikit yang membandingkan dua peristiwa ini, meskipun sebenarnya pangkal persoalannya berbeda. Demonstrasi yang dilakukan oleh kelompok mahasiswa dan buruh terkait dengan UU Cipta Kerja dan kerumunan penyambutan Rizieq Shihab sekaligus dua kerumunan yang menyertai lainnya dianggap memunculkan kluster baru covid-19. Harus diakui, kedua peristiwa yang berbeda itu memang bisa mengakibatkan cluster covid. Namun, kita harus melihat pangkal dari dua peristiwa tersebut untuk mendudukan persoalan lebih jernih.

Demonstrasi mengenai UU Cipta Kerja itu disebabkan bukan karena kelalaian elit politik, melainkan bentuk kesengajaan mereka yang mengeluarkan Undang-Undang tersebut di tengah pandemi. Asumsinya dengan adanya pandemi sangat memungkinkan publik tidak akan protes sehingga UU itu bisa segera disahkan. Sebaliknya, karena UU itu disahkan dengan sangat ganjil dan dilihat oleh publik bisa merugikan masyarakat dan di sisi lain, protes dari pelbagai kelompok masyarakat sipil tidak didengarkan, mengakibatkan orang menjadi protes untuk turun ke jalan. Tindakan turun ke jalan melakukan demonstrasi ini tentu saja bisa mengakibatkan kluster baru Covid-19. Namun, yang harus dilihat alasan mengapa mereka kemudian melakukan demonstrasi, yaitu pembelaan kepada kepentingan publik yang dirugikan oleh elit politik yang dianggap membela investor.

Sementara itu, penyambutan Rizieq Shihab, upaya menikahkan anaknya, sekaligus mengadakan maulid nabi Muhammad, itu memiliki unsur kuat sebagai faktor urusan individu ketimbang urusan publik. Disebut urusan individu, organisasi Islam lainnya juga menunda acara keagamaan karena patuh kepada protokol kesehatan yang sudah ditetapkan. Karena lebih terkait dengan urusan individu dan lebih mendatangkan massa yang lebih banyak justru itu bisa mengakmulasi kluster covid-19 lebih luas. Dalam konteks ini, upaya untuk mencegahnya sebenarnya harus jadi wewenang pemerintah, baik daerah maupun pusat agar urusan privat itu bisa ditunda dan dicegah.

Dari penjelasan di atas, saya ingin menegaskan bahwa peristiwa pertama itu lebih kepada respon publik atas ketidakadilan yang dilakukan oleh pemerintah melalui UU Cipta Kerja yang disahkan dan peristiwa kedua adalah bentuk pendiaman pemerintah yang membiarkan kerumunan yang dilakukan RS. Keduanya memang bisa memunculkan kluster covid-19. Namun, keduanya memiliki pangkal persoalan yang berbeda. Yang pertama karena bentuk kebebalan elit politik yang tidak mau mendengarkan suara publik. Yang kedua adalah faktor pengabaian elit politik yang tidak bisa bersikap adil terkait dengan protokol kesehatan dengan mengistimewakan satu orang saja.

Ya, penjelasan ini penting untuk dikemukakan agar kita tidak membandingkan dua peristiwa yang berbeda meskipun mengakibatkan kemungkinan kluster covid-19 yang sama. Namun, dengan melakukan penjelasan ini, setidaknya kita bisa mengetahui imajinasi partisipasi publik seperti apa yang sebenarnya dibayangkan oleh elit politik kita yang kini memegang kekuasaan. .

Respon pertama membuktikan bahwasanya suara publik tidak perlu untuk didengarkan, sekencang apapun suara kritik mereka, selama tidak ada kumpulan massa besar yang mengancam. Sebaliknya, jika ada kumpulan massa besar yang dianggap mengancam, lebih baik bersikap permisif dan membiarkan. Jikalaupun harus bertindak, itu dilakukan karena memang ada suara kritik publik yang terus-menerus hadir dalam lini sosial media mereka.

*) Penulis adalah LIPI

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT