Oleh : Takbir Abadi*
Negara kapan saja bisa menghadapi segala ancaman. Untuk itu dibutuhkan kekuatan penuh untuk mengantasipasi segala ancaman yang akan terjadi. Ancaman sendiri tergolong menjadi dua jenis. Ada ancaman militer baik berupa teroris dan gerakan ekstrimisme yang menimbulkan perang senjata serta ancaman nonmiliter ryang meliputi bencana alam dan bencana non alam.
Tak lama ini, Presiden Joko Widodo baru saja menandatangi dan menyetuji pelaksanaan peraturan pemerintah Nomor 3 tahun 2021 tentang peraturan pelaksanaan Undang-Undang Pengelolaan sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara pada 12 Januri 2021 lalu. Peraturan ini sudah disahkan sejak dua tahun yang lalu oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI).
Undang-undang ini kemudian memunculkan berbagai paradigma baru utamanya perdebatan di kalangan aktivis masyarakat sipil. Sejak awal, salah satu keberatan publik bermuara pada ketidakjelasan urgensi lahirnya kebijakan ini. Bahkan indonesia tidak dalam keadaan berkonflik ataupun melakukan rencana perang dengan negara lain. Bahkan beberapa berpendapat bahwa sebaiknya negara fokus pada penanganan pandemi Covid-19 yang masih terus berkecamuk serta proses vaksinasi yang sementara dalam tahap proses.
Pada Pasal 27 Ayat (3) memang menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara dan pasal 30 Ayat (1) menyebutkan bahwa tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara. Namun hegemoni yang muncul kemudian hanyalah sebatas pertahanan militer saja, bahkan terlihat jelas bahwa semua pertahanan negara hanya bisa dilakukan secara militer.
Kementrian Pertahanan menargetkan sekitar 25 ribu orang bakal mengikuti program bela negara berupa pelatihan komponen cadangan selama tiga bulan. Tentu ini tidak akan menjawab seluruh ancaman secara keseluruhan termasuk ancaman siber dan kerusakan alam yang terjadi di beberapa daerah. Padahal, Undang-undang ini telah memetakan berbagai ancaman, tidak hanya agresi militer tapi juga terorisme, ideologi, kerusakan lingkungan, bencana alam, dan wabah penyakit. Terlihat jelas bahwa peraturan ini terlalu militeristik dan mengabaikan supremasi sipil.
Selanjutnya, peraturan ini juga tak mengatur bagaimana warga bisa menolak panggilan untuk menjadi komponen cadangan jika agama dan kepercayaan tak mengizinkan, sehingga secara tidak langsung perekrutan ini terkesan seperti pemaksaan. Bahkan penggunaan pangkat dalam komponen cadangan dan kewajiban tunduk kepada peradilan militer juga menunjukkan militeristik yang berlebihan.
Bahkan pemerintah mengira ini adalah salah satu upaya untuk membangun karakter bangsa, padahal sudah jelas bahwa pembangunan karakter generasi muda Indonesia ada pada lembaga pendidikan, yang mengatur secara rinci bagaimana karakter itu dibangun.
Sehingga, pemerintah mesti mengambil langkah untuk mengkaji ulang peraturan ini yang mengatur komponen cadangan. Tentu ini sangat berbahaya bagi hak asasi manusia dan demokrasi.bahkan militerisasi sipil ini tidak menutup kemungkinan akan ada jatuhnya korban.
*) Penulis adalah Mahasiswa di Makassar