Oleh : Amul Hikmah Budiman*
Sejak memasuki seperempat masa tahun 2020 hingga awal tahun 2021, negara dilanda ujian yang begitu berat. Berbagai problematika hadir di tengah-tengah kita. Pandemi Covid, dinamika politik nasional dan daerah, hingga bencana alam menjadi sebuah tantangan dan pekerjaan rumah bagi negara.
Tentu, peristiwa-peristiwa tersebut menjadi ujian keutuhan dan solidaritas bagi penghuni negara ini. Terlebih kepada mereka yang masuk dalam golongan yang paling banyak tumbuh dan berkembang di negara berpancasila ini. Hasil sensus penduduk tahun 2020 menunjukkan dari 270,20 juta jiwa 53,81 persen adalah berusia pemuda. Orang-orang sangat potensial memberikan perubahan positif namun juga bisa memberikan dampak negatif bagi perjalanan bangsa ini. Undang-Undang Kepemudaan Nomor 40 Tahun 2009 menyebutnya sebagai kekuatan moral, kontrol sosial, dan agen perubahan sebagai perwujudan dari fungsi, peran, karakteristik, dan kedudukannya yang strategis dalam pembangunan nasional.
Begitu berat beban identitas yang disematkan kepada kaum muda. Taufik Abdullah (1974) pun menyebut bahwa betapa pengertian pemuda sering dibebani nilai “pemuda sebagai harapan bangsa”, “pemuda adalah pemilik masa depan”, atau “pemuda harus dibimbing” dan seterusnya, menunjukkan betapa saratnya nilai yang diembankan pada pemuda. Sehingga, menjadi sebuah urgensial untuk terus diperbincangkan.
Beberapa kejadian yang baru-baru ini berlalu, pemuda menunjukkan dirinya sebagai “imun” yang kuat bagi ketahanan nasional. Sedikit diketahui, bahwa istilah ketahanan nasional mulai dikenal dan dipergunakan pada permulaan tahun 1960-an, pertama kali dikemukakan oleh Presiden Soekarno. Kemudian pada tahun 1962 mulai diupayakan secara khusus untuk mengembangkan gagasan ketahanan nasional.
Pemuda menunjukkan dirinya sebagai subjek yang mampu menggalang kesadaran kolektif dan solidaritas mekanik dalam menjaga ketahanan nasional. Meskipun dalam Buku Putih Pertahanan Indonesia Tahun 2003 menyatakan bahwa ancaman invasi atau agresi militer negara lain terhadap Indonesia diperkirakan kecil kemungkinannya, namun ada ancaman lain yang sedang “menyerang” ketahanan nasional, sebut saja ancaman miter non-konvensional seperti radikalisme yang anarkis, konflik komunal, bencana alam maupun non-alam, serta kondisi politik pascareformasi. Bencana alam maupun non-alam yang tengah menyelimuti negeri ini, kaum muda hadir secara swadaya dan gotong royong mempertegas identitas dirinya.
Kita bisa lihat saat awal-awal pandemi tiba di negeri ini, kelompok pemuda yang formal maupun informal, menunjukkan eksistensinya dalam memberikan santunan kepada saudaranya yang terdampak covid-19 serta memperketat arus keluar masuk di wilayah tempat tinggalnya masing-masing. Begitupula dalam peristiwa duka yang merundung negeri ini, secara massal dan massif, kaum muda melakukan gerakan-gerakan sosial untuk meringankan beban saudara setanah air yang terdampak musibah bencana alam di beberapa daerah.
Narasi senasib sepenanggungan yang diwariskan oleh para leluhur, telah diaktualisasikan oleh kaum muda kita hari ini. Sehingga, kita masih bisa yakin dan percaya bahwa hal ini mampu menjadi imun negara terhadap berbagai ancaman-ancaman yang tiba. Populasi terbesar di bumi pertiwi ini menjadi sebaik-baik garda terdepan. Kita harus apresiasi dan bangga dengan apa yang menjadi solidaritas kaum muda.
Di sisi lain, selain sebagai “vitamin” bagi negara, pemuda bisa saja bersubstitusi menjadi “virus” yang mengancam masa depan bangsa. Hal ini sebenarnya telah menunjukkan gejala-gejalanya, apabila negara terlambat atau gagal dalam memberikan “vaksin” yang tepat bagi pemuda, siap-siap saja negara masuk ke instalasi gawat darurat.
Hari ini, sebagian pemuda memperlihatkan dirinya sibuk mengembangkan budaya dan identitas mereka sendiri, misalnya berusaha tampak berhasil di mata rekan-rekan sebaya mereka sebagai pemuda (bukan sebagai calon dewasa) dan bukan berusaha menyiapkan diri menjadi orang dewasa yang berhasil. Dengan kata lain “transisionalitas” yang menjadi dimensi kunci kategorisasi konvensional kepemudaan boleh jadi bukan merupakan dimensi dominan identitas pemuda. Comaroff (2005) bahkan menyebutkan bahwa berkelanjutannya globalisasi ekonomi dan budaya serta kecenderungan pada perpanjangan masa muda, makin banyak pemuda di Indonesia yang tumbuh dalam sebuah sistem referensi global budaya dan gaya hidup pemuda berbasis konsumen. Ironisnya, globalisasi memasukkan mereka ke dalam budaya dan konsumerisme kaum muda.
Kerawanan pemuda menjelma menjadi “virus” karena menurut Ansell (2005) budaya pemuda Indonesia cenderung “terbuka secara spasial”. Dipertegas oleh Nilan (2006) bahwa kaum muda laki-laki dan perempuan dengan kreatif mengadopsi, meramu, menafsirkan budaya populer barat menciptakan budaya muda hibrida sendiri. Sehingga, memunculkan konsumurisme yang tinggi dan sulit untuk meninggalkan zona “nyaman” mereka lalu bermuara pada egosentris.
Mayer (1990) menyebut masa muda dianggap sebagai “usia rawan” dan “usia problem”. Pada realitasnya memang menunjukkan demikian;tingkat pengangguran pemuda yang tinggi, arus budaya populer dan teknologi yang tinggi, ancaman narkotika, seks bebas, konflik komunal, dan masih banyak lagi.
Dua problem teratas pemuda kekinian adalah perihal pemuda tak kerja dan persoalan arus digitalisasi atau game online yang mempengaruhi psikis dan mental pemuda. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendapati bahwa 23 persen pemuda perkotaan dan 33 persen pemuda desa menganggur. Dhanani (2009) menuliskan kaum muda yang pertama kali mencari kerja memerlukan waktu rata-rata delapan bulan sebelum mendapat pekerjaan dan banyak yang harus melanjutkan pencarian lagi hingga bertahun-tahun.
Cenderung kaum muda sulit mendapatkan kerja, tidak bertitik berat pada persoalan kompetensi dan kualitas, namun terjadi degradasi kepercayaan pada institusi negara ataupun swasta. Masih Dhanani (2009) menunjukkan penelitian surveinya di seluruh Indonesia, bahwa metode mencari kerja terbesar yang dipakai para pencari kerja muda bertumpu pada “jaringan informal” bukannya pendaftaran dan prosedur seleksi formal. Hal ini diteguhkan oleh pengalaman dan persepsi orang-orang muda dalam penelitian bahwa kualifikasi formal itu perlu, tetapi tidak cukup untuk bisa lolos seleksi, dan pada akhirnya memperoleh pekerjaan nampaknya lebih membutuhkan koneksi personal dan tumpuan pada privilese kelas atau identitas etnis dalam menegosiasikan akses pekerja.
Jika angka pengangguran pemuda masih tinggi, akan berdampak pada produktifitas pemuda. Mereka akan melebur menjadi individu yang pasif dan menetap pada zona nyamannya. Hal terburuk adalah melakukan tindakan kriminalitas yang meresahkan kehidupan sosial masyarakat.
Selain itu, pengaruh digitalisasi, spesifik pada game online yang tumbuh pesat hari ini, juga menjadi ancaman atau problem bagi kaum muda. Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada tahun 2018 menemukan pengguna internet di Indonesia mencapai 171,17 juta jiwa atau sekitar 64,8 persen dari total populasi negara ini. Pengguna internet pada konten bermain game menduduki peringkat kedua dengan presentase sebesar 17,1 persen. Sedangkan pengguna internet game online yang berusia muda yaitu sebesar 66,2 persen.
Pemuda mengakses game online tidak lagi berorientasi pada hiburan dan waktu luang, tetapi telah terkonversi pada sebuah candu dan waktu prioritas. Kuss (2011) mengungkapkan bahwa game online merupakan masalah bagi kaum muda, karena mereka mengalami peralihan menjadi dewasa, dimana pada masa tersebut biasanya dinamakan dengan masa stres karena pemuda saat ini dibuat bingung dengan perubahan – perubahan yang dihadapkan. Pemuda juga dapat mengalami stres dan bosan dengan proses di sekolah, kampus, dan ruang kerja. Untuk mengusir kepenatan atau sekedar melakukan refreshing otak setelah melaksanakan aktivitas sehari – hari kaum muda memilih untuk beralih ke game online. Pada kenyataannya, permainan tersebut justru membuat seseorang menjadi kecanduan. Di dalam game online suasananya dirancang menyerupai keadaan yang sebenarnya di dunia nyata. Game online itu sendiri sebenarnya mempunyai dampak positif, namun tak sedikit juga memberikan dampak negatif. Dampak positif bermain game online yakni sebagai sarana belajar dalam memecahkan masalah, bekerja sama, mengatur strategi, meningkatkan konsentrasi / menjadikan lebih fokus dan dapat memperoleh penghasilan. Namun, dapat memberikan efek negatif jika telah menjadi candu dari game online tersebut, diantaranya daya tahan tubuh berkurang karena duduk terlalu lama, sering terlambat makan dan sering terpapar sinar radiasi dari layar monitor komputer maupun handphone, mudah marah, melakukan perilaku agresif, mengalami masalah hubungan sosial, menjadi malas belajar dan menyebabkan penurunan konsentrasi belajar di rumah maupun di sekolah/kampus.
Kardefelt-Winther (2017) menjelaskan bahwa pada awalnya kecanduan hanya berkaitan dengan zat adiktif (contohnya alkohol, tembakau, dan obat-obatan terlarang) yang masuk melewati darah dan menuju ke otak dan dapat merubah komposisi kimia otak. Namun, saat ini konsep kecanduan telah berkembang. Istilah kecanduan berkembang seiring dengan perkembangan kehidupan masyarakat, sehingga istilah kecanduan tidak hanya melekat pada obat-obatan tetapi dapat juga melekat pada kegiatan atau suatu hal tertentu yang dapat membuat seseorang ketergantungan, baik secara fisik atau psikologis. World Health Organization (2018) mendefinisikan kecanduan game online sebagai gangguan mental yang dimasukkan ke dalam International Classification of Diseases (ICD-11). Bahkan sebuah studi menunjukkan bahwa kecanduan game online lebih sering terjadi pada usia muda. Rudhiati (2015) menemukan kecanduan game online yang dialami pemuda akan sangat banyak menghabiskan waktunya saat bermain game lebih dari dua jam per hari, atau lebih dari 14 jam per minggu hingga 55 jam dalam seminggu atau rata-rata 20-25 jam dalam seminggu. Penelitian yang dilakukan Jap dkk (2013) mengungkapkan bahwa 10,15% remaja di Indonesia terindikasi mengalami kecanduan game online. Fenomena kecanduan game online ini semakin meluas dan semakin memprihatinkan, terutama karena banyaknya pemuda yang menjadi pecandu game online.
Tentu, hal-hal yang disebutkan di atas telah menjadi “gejala-gejala” yang telah timbul di permukaan. Jika ini tidak ditangani dengan baik dan cepat, harapan kita yang menginginkan pemuda sebagai “imun” akan menjelma menjadi “virus” yang mematikan bagi bangsa ini. Senada dengan Abdulah (1974) bahwa dewasa ini pemuda adalah individu dengan karakter yang dinamis, bahkan bergejolak dan optimis namun belum memiliki pengendalian emosi yang stabil. Sehingga, perlu “sentuhan” dan “dosis” yang tepat untuk melakukan upaya-upaya preventif.
Selanjutnya, kita serahkan kepada negara, bagaimana memandang hal ini sebagai bagian yang biasa-biasa saja atau hal urgensial bagi masa depan bangsa. Penerapan model pentahelix (akademisi, swasta, komunitas, media, dan pemerintah) harus saling bersinergi dan massif menemukan “vaksin” yang tepat guna mencegah terjadinya “penyakit” yang berkepanjangan pada diri kaum muda.
*) Penulis adalah Alumni Manajemen Kepemimpinan Pemuda Sekolah Pascasarjana Unhas.