Oleh : Asratillah*
Saya bukanlah insan pers alias seorang jurnalis, walaupun pernah menjadi redaktur kolom opini pada sebuah portal online yang diasuh oleh organisasi Islam tertentu, dan saya pun bukan pakar komunikasi yang begitu otoritatif secara akademik mengulas soal pers. Tetapi kita ketahui bahwa kini pers tak lagi hanya menyangkut kehidupan orang tertentu, tetapi telah menjadi semacam lapis tertentu (sphere) dalam kehidupan kita. Media massa beserta berita-beritanya telah menjadi sesuatu yang seakan-akan selalu menyertai kita (omnipresent), dunia kita akan nampak seturut lalu lalang berita atau informasi di layar gadget. Media massa tidak hanya menjadi representasi realitas politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan di sekitar kita, tetapi juga turut mempengaruhi cara pandang kita terhadap sekitar. Sehingga sangat naif rasanya jika media dilihat sebagai cermin yang memantulkan realitas apa adanya, karena dia justru turut serta memproduksi dan mengkonstruksi pemaknaan dan cara bersikap publik terhadap realitas. Maka wajarlah jika saya ataupun anda sebagai warga negara, meluangkan waktu tuk berefleksi tentang pers.
Saya teringat dengan tulisan Ashadi Siregar yang berjudul Ruang Publik Patologis; Media dan Suksesi Kepemimpinan Nasional 2014 (2015), disitu dituliskan refleksi beliau tentang perilaku pers partisan (dan fenomena ini menurut saya masih terus berlanjut hingga saat ini, dan ini bisa terlihat jelas di momen-momen suksesi kekuasaan baik di pusat maupun di daerah). Menurutnya, pers partisan (begitu pula dengan aktor politik, birokrasi negara ataupun tokooh-tokoh agama) di tahun itu melulu melihat pers sebagai instrument “kepentingan subjektif” dan menafikan “kepentingan objektif”. Yang dimaksud dengan “kepentingan subjektif” di sini adalah pemberitaan atau publikasi yang hanya mempertimbangkan peruntungan politik dan ekonomi, dan seringkali mengorbankan “kepentingan publik”.
Jika berbicara dengan “kepentingan publik” sehubungan dengan pers, maka erat pula kaitannya dengan aktivitas warga di ruang publik (public sphere), bahkan media dan ruang publik dianggap dua jagad realitas yang berjalan parallel. Pertama, media merefleksikan fakta kehidupan sekaligus menjadi perpanjangan tangan publik dalam meng-endors wacana publik tertentu. Kedua, media membentuk alam pikiran publik dalam menghadapi wacana yang relevan dengan kehidupan publik. Secara normatif media sebagai institusi sosial berfungsi untuk menghantarkan publik agar memiliki kesiapan dalam berpartisipasi di ruang publik, media berfungsi supaya warga memiliki “bekal” diskursus sehingga bisa terlibat dalam wacana-wacana yang berkaitan dengan kepentingan publik. Bukan hanya itu, dalam alam demokrasi, media berfungsi agar publik bisa mempersepsi realitas dan menalar segala bentuk wacana publik secara objektif dan rasional. Tapi apakah betul pers telah berfungsi sejalan dengan normatifitas-normatifitas tadi “?.
Ayu Utami dalam “Bahasa Yang Tak Pernah Usai” (2011) menuliskan “Itu adalah era (tahun 1970-an) yang berbeda dengan zaman ini. Dunia tampak masih lebih sederhana dan pers masih beriman pada objektivitas (sekalipun semua yang beriman tetap saja kerap tergelincir ke dalam dosa atau cemas pada kezaliman). Meliput kedua pihak adalah kebenaran yang dipercaya bagi media pada masa itu. Kepercayaan ini sudah sangat luntur dalam dunia pers abad ke-21. Pada masa lalu, sebuah berita mungkin tak jadi dimuat karena hanya narasumber dari pihak seteru tidak dapat ditemui. Ini takkan terjadi sekarang- kecepatan dan keramaian digital membuat orang tak menuntut informasi lengkap dalam satu berita”. Walaupun yang ditulis oleh Ayu Utami ini agak menggeneralisir, tapi saya rasa banyak pula benarnya. Berita menggempur kita tanpa disertai kemampuan untuk memilah dan memilih mana berita yang layak dikonsumsi dan mana berita yang hanya menjadi polutan jagad maya. Serbuan berita yang tidak berkualitas bertemu dengan audiens yang hanya mencintai kebaruan-keviralan tapi tidak dengan kedalaman. Kemampuan untuk berpikir mendalam (deep thinking) menjadi kemampuan yang langka dimiliki orang-orang.
Sekaitan dengan ruang publik, cukup menarik mengaitkan fenomena pers kita saat ini dengan konsepsi ruang publik dari Hannah Arendt. Sederhanya Arendt memaknai ruang publik dalam dua arti. Pertama ruang publik sebagai ruang penampakan, artinya “segala sesuatu yang nampak di publik, dapat dilihat dan didengar oleh siapapun dan berpeluang terpublikasikan seluas-luasngya” dan ruang yang memisahkan apa-apa yang tidak relevan dengan kehidupan bersama sebagai “masalah privat”, seperti yang dituliskan oleh Arendt dalam bukunya yang berjudul “Human Condition”. Tapi coba kita bandingkan dengan publik kita saat ini, justru mereka semakin bergairah dalam mencari-memburu-membaca-membagikan link-link berita yang kontennya masuk dalam kategori “apa-apa yang tidak relevan” alias “masalah privat”. Publik kita lebih mengikuti perkembangan kehidupan dan aktivitas pribadi para aktris atau tokoh publik tertentu, ketimbang mau turut pusing dan terlibat dengan wacana-wacana public tertentu. Walaupun terlibat, biasanya berbekal link-link berita yang tidak diverifikasi lebih lanjut atau mengambil kesimpulan berita dari membaca judulnya saja. Tapi ini bukan hanya kesalahan audiens atau netizen sepenuhnya, tetapi para produsen beritapun ikut bertanggung jawab.
Kedua, Arendt juga mengartikan ruang publik sebagai “dunia bersama” (common world), dalam arti dunia yang kita pahami bersama, hidupi bersama, dunia yang menyatukan dan mencegah kita saling menelikung. Ruang publik sebagai dunia bersama ini, akan mengalami destruksi oleh dua hal. Yang pertama adalah saat semua orang terisolasi secara radikal, dan kedua adalah saat masyarakat mengalami histeria massa, dimana orang-orang takut akan kemerdekaan dan memilih untuk sama dengan orang kebanyakan.
JIka kita gagal membangun semacam “common word” (kata/titik temu) maka kita akan gagal pula menciptakan “common world” (dunia bersama). “Common word” yang saya maksud di sini adalah Pancasila, tetapi Pancasila hanya akan menjadi sekedar hafalan dan pajangan di ruang kerja jika tak dihidupkan (bukan dicekokkan) dalam alam pikir setiap warga negara, dan pers kita punya peran besar di sini. Tetapi di sisi lain pers mesti menjadi sarana agar kemerdekaan berpikir warga bisa ditumbuh-suburkan secara bertanggung jawab (bahwa setiap aspirasi mesti disampaikan secara masuk akal), bukan malah menjadi lahan untuk menumbuhkan histeria massa melalui konten-konten yang menumbuh-suburkan konsumerisme, keber-agama-an yang dangkal dan perilaku politik yang banal.
Dalam era demokrasi, seringkali kita merusak kehidupan bersama melalui statement di media atau produksi berita/konten yang bukan dalam rangka menumbuhkan kesalingpahaman dan sikap saling menghormati (mutual respect) dalam perbedaan, tetapi justru bertujuan “menelikung” pihak lain melalui informasi/berita/konten yang dengan terang melanggar kode etik jurnalistik. Tapi di tengah kekisruhan tersebut kita tetap menaruh harap pada pers kita, saya yakin masih banyak pihak yang terus memikirkan cara agar pers sennatiasa berkontribusi aktif pada pendewasaan demokrasi kita.
Selamat Hari Pers
*) Penulis adalah Direktur Profetik Institute