Beranda Berdikari IKAGI Bahas Rencana Kemendag Terapkan SNI Gula Konsumsi

IKAGI Bahas Rencana Kemendag Terapkan SNI Gula Konsumsi

0
Caption foto: Seorang Karyawan PG Bone Sulawesi Selatan menutup hasil produksi gula menggunakan mesin, Foto: Istimewa

Matakita.co, Makassar – Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan Kementerian Perdagangan berencana penerapan SNI gula konsumsi pada tanggal 4 Februari 2021.

Tahun lalu, Pemerintah menetapkan dalam mengkonversi gula kristal rafinasi (GKR) menjadi gula kristal putih (GKP) bagi konsumsi masyarakat. Kebijakan itu tidak lain, ditempuh untuk mengatasi kelangkaan gula yang tengah terjadi di pasar tradisional maupun ritel modern.

Menyikapi hal tersebut Organisasi Ikatan Alhi Gula Indonesia /(IKAGI) kali ini, membahas pembahasan tantangan menghadapi rencana penerapan SNI baru gula konsumsi. Rencana penerapan kebijakan baru ini akan berdampak munculnya isu krusial. Salah satunya, perubahan ICUMSA dari maksimal 300 IU menjadi 200 IU. Selain itu juga penyatuan SNI GKP (Gula Kristal Putih) dan GKR (Gula Kristal Rafinasi).

Perlu diketahui, kualitas dari gula ditinjau dari warna ICUMSA, yaitu menunjukkan kualitas warna gula dalam larutan dan grade warna gula. ICUMSA (International Commission For Uniform Methods of Sugar Analysis) merupakan lembaga yang dibentuk untuk menyusun metode analisis kualitas gula beranggotakan lebih dari 30 negara.

Lebih lanjut, menurut IKAGI isu ini menjadi tantangan besar bagi beberapa PG (Pabrik Gula) yang sebagaian masih menerapkan proses sulfitasi. Tak hanya itu, juga memerlukan investasi untuk meningkatkan kinerja pengolahan. IKAGI juga memprediksi perlu peningkatan kapabilitas SDM pabrik gula nantinya.

Mitigasi resiko terus digalakkan oleh semua stekholder. Perhatian serius potensi kekayaan ekonomis pemberlakuan satu SNI GKP dan GKR bagi keberlangsungan industri gula nasional berbasis tebu.

“Tantangan semakin berat karena akan ada penyatuan pasar GKP dan GKR,” kata Wardi Samad, selaku Sekjen IKAGI Wilayah Timur Indonesia dan juga Kabag Tekpol PTPN (PT Perkebunan Nusantara) XIV, Sabtu (13/02/2021).

Wardi Samad membeberkan, beberapa pabrik yang menggunakan proses sulfitasi yang muara produksinya berupa Gula Rafinasi. Pabrik Gula berlabel BUMN didominasi pabrik dengan proses sulfitasi.

“Mayoritas Pabrik Gula BUMN adalah pabrik yang menggunakan proses sulfitasi. Hanya PTPN XII dan PG Glenmore yang pabrik baru menggunakan proses defekasi karbonatasi. Sehingga bisa memproduksi gula rafinasi (ICUMSA/warna gula bisa di bawa 100 IU), di PTPN XI ada pabrik lama yang juga sudah diubah ke proses karbonatasi, yakni PG Semboro,” ujarnya, Minggu (14/02/2021).

Polemik konsumen GKR dan GKP menjadi perhatian utama. Dominasi pasar yang tidak seimbang jadi persoalan serius bagi pabrik gula menggunakan proses sulfitasi. Namun, GKR dan GKP bakal akan disatukan.

“Kalau pasar disatukan, maka mayoritas gula rafinasi diproduksi oleh pabrik gula proses karbonatasi. Mayoritas GKR dimiliki pabrik gula swasta. Akan lebih berpeluang mendominasi pasar Gula Kristal Putih (GKP) yang mayoritas pabrik gula BUMN yang menggunakan proses sulfitasi,” jelasnya, Minggu (14/02/2021).

Wardi Samad juga mengatakan GKP cukup berat masuk pasar GKR, karena pelaku industri lebih membutuhkan GKR.

“Gula Kristal Putih (GKP) cukup berat masuk ke pasar Gula Kristal Rafinasi (GKR) yang dominan dibutuhkan industri makanan minuman. Notabene pasar industri tersebut dimiliki juga oleh pabrik gula swasta. Karena BUMN cenderung tidak punya industri makanan minuman,” tutup Wardi Samad, Minggu (14/02/2021).

Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia, Triantarti M Sc, mengatakan dalam mencapai standar 200 IU secara stabil sampai ke pasar konsumsi diperlukan perubahan dari proses sulfitasi. Hal tersebut menjadi proses yang paling sederhana untuk menghasilkan gula konsumsi yang lebih kompleks.

Ia mengatakan juga, untuk menghasilkan kualitas gula yang lebih baik. Biaya investasi perubahan proses sekitar Rp.200-300 Milyar

“Kompleksitas permasalahan pabrik gula di Jawa untuk mencapai kualitas tebu yang baik adalah salah satu faktor sulitnya mencapai standar kualitas gula maksimum 200 IU secara stabil dengan proses sulfitasi. Jumlah tebu yang semakin menurun dan sudah tidak berimbang dengan kapasitas giling PG di Jawa menambah kompleksnya permasalahan untuk dapat menjalankan proses di PG secara optimal,” ujar Triantarti M Sc, Sabtu (13/02/2021).

Triantarti M Sc membeberkan, industri gula di Jawa berkontribusi 55,4 % terhadap produksi gula nasional. Kebijakan perubahan standar ataupun penyatuan pasar memerlukan kajian dan arah kebijakan yang jelas. Hal itu,
mempertimbangkan aspek teknis maupun dampak ekonomi dan sosial dalam implementasinya. Tidak bisa
dilakukan secara mendadak.

“Pemerintah bersama stakeholder pergulaan perlu menyusun kebijakan jangka pendek, menengah dan panjang untuk industri gula khususnya di Jawa,” kata Triantarti M Sc, Sabtu (13/02/2021).

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT