Oleh : Abdul Ghani*
Sebelum datangnya Islam, perempuan (arab) diperlakukan tidak lebih dari sekedar property para aristocrat, semakin banyak propertynya semakin terhormat pula kedudukan mereka di mata masyarakat. Islam membawa spirit Tauhid Lailaha Illallah sebagai kalimat revolusi yang merubah tatanan kehidupan, menentang perbudakan dan eksploitasi manusia oleh manusia, membebaskan dan mengangkat harkat dan martabat perempuan dari stigma yang begitu rendah lalu diberikan kedudukan yang terhormat. Kalimat tauhid berimplikasi pada kesetaran ummat manusia tanpa mengenal suku, bangsa, bahasa, warna kulit, maupun jenis kelamin.
Sejarah menunjukkan banyak tokoh perempuan yang layak dipandang setara dan bahkan melebihi laki-laki bukan karena sesuatu yang melekat secara instrumental melainkan karena kualitas dirinya.
Kita lihat bagaiamana Hipatia, seorang astronom, filusuf, dan matematikawan helenistik dari aleksandria mengajarkan filsafat dan astronomi. Hidup sekitar tahun 415 masehi, yang juga disimbolkan sebagai pergerakan hak perempuan. sepanjang hidupnya ia berkontribusi dalam dunia ilmu pengetahuan, hingga kematiannya pun dikenal sebagai martir dalam filsafat.
Yang ingin saya katakan ialah perempuan berhak mengidentikkan dirinya dengan kehormatan dan ilmu pengetahuan, sebagaimana sejarah menunjukkan itu.
Lalau, bagaimana dengan kenyataan hari ini ? cita-cita tokoh feminis nampaknya belum selesai ketika dalam dunia industri perempuan dijadikan cover untuk melabeli produksi capital. Hal yang sudah dianggap biasa dan tak perlu dipermasalahkan namun disitu eksploitasi perempuan sedang bekerja. Kalau kita lakukan pembacaan secara semiotic, kita akan menangkap satu hal penting dimana hegemoni capital memenuhi relung kehidupan. dan demi kesuksesan pemasaran perempuan dijadikan sebagai pemikat perhatian.
Sebagian perempuan menerima saja perlakuan demikian, entah mungkin ungkapan politisnya “simbiosis mutualisme” mereka pakai sehingga menikmatinya atau memang tidak paham, dalam istilah filsafatnya “tidak tahu akan ketidak-tahuannya”. Saya melihatnya lebih kepada hierarki pengetahuan yang mengimbangi kesadaran, semakin orang tau semakin ia sadar, begitupula sebaliknya.
Kita persempit kasusnya dalam dunia periklanan. Untuk menganalisa ini, saya mengurai dengan pendekatan semiologinya Rolland barthes dengan apa yang ia sebut “mitos identifikasi” yaitu mereduksi suatu makna menjadi identitas fundamental yang bukan karena adanya hubungan alamiyah. Contoh ; sebut saja salah satu “aplikasi jual-beli online”. Ketika buka youtobe kita disambut dengan seorang laki-laki tua bersama dengan para perempuan sebagai pasukan Dancenya dibelakang mengiklankan aplikasi dengan cara berjoget yang mengundang “Tamu”.
Pertanyaannya, Apa hubungannya berjoged-joged dengan aplikasi jual beli online ? tidak ada. Joged dijadikan bagian dari identitas aplikasi sangat tidak nyambung. namun itu dapat bekerja efektiv karena menampilkan perempuan dengan cara yang disenangi public. Itulah yang saya maksud eksploitasi perempuan yang sedang bekerja. Yaitu dijadikan alat pemasaran, didesain harus bergerak seperi ini dan seperti itu, harus berkspresi seperti ini dan seperti itu.
Kasus diatas sama tidak nyambungnya dengan tagline “laki minum extrajos’, ‘orang pintar minum tolak angin’ sehingga memaksakan makna kalau minumannya yang lain berarti dia belum laki atau kalau bukan tolak angin yang kita minum berarti dia tidak pintar. Maknanya telah direduksi menjadi identitas fundamental dan dalam bawah sadar memaksa kita untuk menerima itu.
Dalam kritik modernitasnya harbert marcuse menilai, hari ini bukan lagi kebutuhan nyata manusia yang menentukan produksi, tapi kebutuhan diciptakan supaya hasil produksi bisa laku, yang bekerja merekayasa kebutuhan manusia adalah dunia industri, dipamerkanlah sejumlah produk yang selalu diperbaharui setiap tahunnya melalui media, ini sangat pas dengan gaya konsumerisme kita yang suka bersosial media, merasa butuh untuk memiliki keluaran terbaru, ketika perasaan itu muncul maka selamat ! rekayasa dunia industri sudah berhasil, dan anda masuk dalam jebakan.
Itu dapat kita mengerti disatu sisi karena memang demikianlah dunia capital bekerja. Namun yang ingin digaris bawahi dalam tulisan ini yaitu hampir dalam memamerkan berbagai produk selalu menggunakan perempuan sebagai alat menggapai tujuan.
‘Sayyid Qutb‘ Seorang yang cukup keras dengan pandangan-pandangannya mengatakan dalam ma’alim fi at-thariqnya “ketika tugas kaum wanita hanyalah bersolek, merayu, dan merangsang nafsu, disinilah terletak keterbelakangan peradaban atau kejahiliyahan”.
*) Penulis adalah aktivis muda Muhammadiyah