Oleh : Yayuk Astuti*
Dalam sebuah kajian virtual bertema kan :Teologi Penciptaan Perempuan. Saya mendapati satu pertanyaan yang menarik dari salah satu mahasiswa, Perempuan sebenarnya milik siapa ? saat belum menikah dikatakan milik ayahnya dan setelah menikah dikatakan milik suaminya, apakah perempuan tidak punya hak atas dirinya sendiri.
Anak Perempuan adalah bagian dari ayahnya.
“Dan anak laki-laki tidaklah sama seperti anak perempuan” (Q.S. Ali Imran : 36). Dalam ayat ini disampaikan dengan tegas bahwa laki-laki dan perempuan tidaklah sama. Dengan berbagai macam perbedaan diharapkan laki-laki dan perempuan saling melengkapi. Namun keduanya memiliki kesamaan dalam melakukan amalan kebaikan. Ayah bukan tentang kepemilikan anak, namun lebih kepada bagian atau tanggungjawab seorang ayah terhadap keluarganya tak terkecuali anak perempuan. Dalam sebuah hadist Rasulullah saw. “Ayah adalah tengah dari gerbang Surga, jadi tetaplah digerbang ini atau lepaskan.” Sudah menjadi kewajiban seorang anak untuk berbakti kepada kedua orang tua sebagai wali Allah baginya dibumi. Seorang anak perempuan membutuhkan ayah sebagai panutan untuk menjadi standar dalam mengarungi kehidupan termasuk digunakan untuk menilai laki-laki yang ia kenal. Seorang anak perempuan yang telah menikah tetap punya kewajiban atas orangtuanya, yang berbeda adalah anak perempuan telah menjadi tanggungjawab suaminya dan juga punya kewajiban menaati suaminya.
Anak Perempuan adalah tanggungjawab suaminya
“Kaum laki-laki itu pemimpin Wanita. Karena Allah telah melebihkan sebagaian mereka (laki-laki) atas Sebagian yang lain (Wanita) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan harta mereka. Maka Wanita yang saleh ialah mereka yang taat kepada Allah dan memelihara diri Ketika suaminya tidak tidak ada …….”. ayat ini dengan tegas menjelaskan terkait hubungan perempuan dan suaminya. Suami memilki tanggungjawab atas perempuan (istrinya), maka sepatutnya perempuan menjalankan Amanah hidup berkeluarga. Kata Milik juga kurang tepat jika digunakan dalam perkara ini karena perempuan tetap punya ha katas dirinya dan tindakannya meskipun ia tetap harus meminta izin sebagai wujud penghargaan dan kewajiban kepada yang bertanggungjawab atas dirinya sesuai syariat agama.
Ayah dan Suami adalah dua orang yang menjadi kewajiban perempuan untuk berbakti. Bukan wujud kepemilikan namun wujud tanggungjawab. Namun kecintaan kepada ayah dan suami adalah wujud menjalankan perintah Allah, bukan menjadikan Allah sebagai tandingan kecintaan dan pengabdiaannya.
Di dalam Islam, ada empat kedudukan perempuan. Yang pertama, Perempuan sebagai hamba Allah. Seorang perempuan mempunyai tanggung jawab yang sama dengan laki-laki dalam kedudukannya sebgai hamba Allah, yakni sama-sama mempunyai kewajiban untuk mengabdikan diri kepada Allah SWT. Dalam firmanNya dikatakan, “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah” (QS Adz Dzariat : 56). Hakikat hidup manusia, termasuk di dalamnya adalah seorang perempuan adalah untuk beribadah dan mencari keridlaan Allah SWT. Ibadah dapat meliputi ritual-ritual khusus seperti salat, puasa, zakat, dan haji, namun juga ibadah yang yang sifatnya mencakup seluruh aktivitas kebaikan hidup di seluruh aspek. Hal tersebut dapat terlaksana melalui adanya keterikatan pribadinya sendiri dengan peraturan-peraturan dari yang telah Allah tetapkan.
Yang kedua adalah Perempuan sebagai istri. Kedudukan posisi seorang istri dan pengaruhnya terhadap ketenangan jiwa seorang suami. Allah berfirman, “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untuk kalian istri-istri dari jenis kalian sendiri, supaya kalian cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan menjadikan rasa kasih dan sayang di antara kalian.” (QS. Ar- Rum: 21).
Yang ketiga adalah Perempuan sebagai Ibu Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa pernah ada seorang laki-laki datang kepada Rasulullah dan berkata, “Wahai Rasulullah, siapa orang yang paling berhak untuk aku untuk berlaku bajik kepadanya?” Nabi menjawab, “Ibumu.” Orang itu bertanya lagi, “Kemudian setelah dia siapa? “Nabi menjawab,” Ibumu. “Orang itu bertanya lagi,” Kemudian setelah dia siapa? “Nabi menjawab,” Ibumu. “Orang itu bertanya lagi,” Kemudian setelah dia siapa? “Nabi menjawab,” Ayahmu. “ (HR. Bukhari-Muslim). Besarnya bakti seorang anak kepada ibunya dianjurkan untuk tiga kali lebih hormat dari bakti kepada ayahnya. “Al-ummu madrosatul uulaa”, ibu adalah madrasah pertama. Peran tersebut adalah dalam kapasitasnya membangun keluarga dan masyarakat yang shalih selama dia berada pada jalan Al-Quran dan sunnah Nabi yang akan menjauhkan setiap muslim dan muslimah dari kesesatan segala hal. Ibu adalah pembuka ilmu pertama bagi anaknya. Darinya, anak pertama kali belajar, sehingga dia mempunyai pengaruh yang besar dalam tumbuh kembang dan pola pikir anak-anaknya dalam membina generasi masa depan yang baik. Perempuan adalah tiang negara.
Dan yang keempat, Perempuan sebagai anggota masyarakat. Perempuan menjadi bagian dari sebuah masyarakat. Dia memiliki tanggung jawab terhadap lingkungan serta kondisi sosialnya. Posisi tersebut menuntut peranan seorang perempuan tidak hanya dalam keadaan privat, tetapi juga kehidupan politik. Hal tersebut saling mengakomodasi dalam menjalankan tanggung jawab amar ma’ruf nahi munkar. Perempuan harus cakap dalam mengambil langkah-langkah praktis yang dibutuhkan dalam menghadapi perubahan di tengah-tengah masyarakatnya. Perempuan juga dibutuhkan dalam kiprahnya untk berdakwah di tengah masyarakat, agar kaum perempuan memiliki pengetahuan Islam dan umum yang mumpuni.
*) Penulis adalah Alumni IMM dan Sekretaris Nasyiyatul Aisyiyah Kabupaten Sidrap