Beranda Literasi Kritik Salah Kaprah, “Aktivis” Bermental Hipokrit Merajalela

Kritik Salah Kaprah, “Aktivis” Bermental Hipokrit Merajalela

0
Zakaria (Kordinator BEM Provinsi Gorontalo)

Kritik Salah Kaprah. “Aktivis” Bermental Hipokrit Merajalela
Oleh : Zakaria (Kordinator BEM Provinsi Gorontalo)

Matakita.co – Opini, Perihal sebuah masyarakat yang mengalami “transisi kesadaran” yang berliku-liku, semua hal bisa diwakili oleh siapa saja -sejenis Sang Aku yang terung mengaku, yang lihai (maju) ke depan– , sebagai pihak yang paling berhak membully.

Pada kedaruratan pikiran itu, yang tersisa pada mereka adalah penyakit bully dan kritik yang salah kaprah. Banyak di antara kita yang mulai sulit mengenal, menyukai apalagi menghayati semangat perlawanan atas penindasan hak rakyat. lalu berada dalam memori kekinian yang dipenuhi dengan bungkusan skeptis.

Kritik pengelolaan Sumberdaya bersama dengan mudah dibelokkan bahkan dimanipulasi oleh keharubiruan publikasi dan propaganda.

Cara-cara yang berulang selalu direproduksi dari waktu ke waktu. Padahal, yang terjadi adalah motif kesadaran palsu yang tidak pernah berubah, mental hipokrisi yang dihias-cerdas di ruang-ruang publik. Maka, kecerdasan berpola “pertukangan” pun dirayakan beramai-ramai dengan pembahasaan yang tak terarah.

Mahasiswa “aktivis” yang tidak terwariskan oleh sejarah kepahlawanan gerakan atau peristiwa unjuk rasa para senior-senior dimasa lampau takan pernah bisa berimajinasi tentang perubahan yang hendak dicapai demi sebuah perbaikan dan kemajuan daerahnya.

Dinamika pikiran seperti ini tak bisa disikapi sederhana dengan ilmu-ilmu lama yang semata lincah menghitung angka-angka dan fakta-fakta material yang disertai gelombang-gelombang (kurva) analisis, tetapi seharusnya mampu di diskusikan dengan cara yang lapang seperti dialog terbuka dan sejenisnya.

Adalah pikiran pembelaan terhadap kabajikan yang etosnya terpantul dalam tradisi pergaulan dan kemajemukan lintas pikiran. Adalah juga, dari sebuah struktur jiwa aktivis yang tumbuh-kokoh dari kesadaran yang egaliter dan demokratis, termasuk dalam soal-soal menilai simbol (semiotik).

Kali ke tiga Aliansi Mahasiswa dan Masyarakat Gorontalo melakukan unjuk rasa, menuai banyak kecaman dari nitizen di sosial media yang dicurigai adalah Buzzer mafia. Namun ada hal yang mencengangkan, mereka yang mengkritik serta membully adalah “aktivis juga” pasalnya, dalam penyelenggaraan unjuk rasa, massa aksi mengibarkan pakaian dalam wanita sebagai simbol untuk mengingatkan kepada semua pihak yang dituntut.

Hal tersebut dilakukan bukan tak beralasan, menurut massa aksi ini adalah bentuk ungkapan kekecewaan terhapap mereka pengelola anggaran negara, dan si-legislatif bermental kesatrian palsu yang tidak bekrja dengan meksimal dalam tugasnya dan coba untuk bersikap membela diri (oportunis) tidak mau mengakui kesalahan.

Dalah hal yang sama, ada pihak yang meras tersakiti dengan atribut unjuk rasa Aliansi Maha Siswa dan masyarakat yang selenggarakan di kantor DPRD Provinsi Gorontalo. Padahal tuntatan itu berkenaan dengan isu ekologi (Lingkungan), korupsi, ekonomi dan kecintaan massa aksi terhadap bumi Hulondalo.

Ingin rasanya kami (massa aksi) balas mengkritik dan berbalas pantun dengan rasa dan frasa yang sama dalam situasi ini untuk menggambarkan bahwa kami juga merasa tersakiti dengan bully-an yang di lontarkan kepada masa aksi, padahal kalian yang tidak pahami subtansi unjuk rasa yang diselenggarakan.

Sebagai salah satu massa akasi Dengan sadar kami memahi betul, cara pandang tak jarang membelah kita dalam memahami subtansi. Namun, apakah kita lupa atau bahkan tidak belajar dari jutaan unjuk rasa yang pernah diselenggarakan.?
Seperti unjuk rasa Mahasiswa lingkar Study Ciputat yang mengibarkan pakaian dalam “wanita” sebagi simbol untuk meminta presiden jokowi dan wakilnya untuk mundur dari jabatan karena tidak memenuhi janji politik, atau warga Negara Myanmar yang membentangkan pakaian dalam “wanita” untuk menghalangi pasukan Militer yang akan mengkudeta presidenya, serta unjuk rasa yang di lakukakan oleh ibu-ibu di salah satu kota di pulau Jawa yang juga membawa atribut pakaian dalam wanita, softex dan lipstik untuk menunjukan rasa kecewa terhadap kebijakan pemerintah yang tidak pro terhap mereka, dan banyak unjuk rasa lain sebagai contoh. Simpelnya Soal atribut, simbol, dan semua perangkat aksi adalah (metafora) yang tak terpisahkan dari unsur kecintaan kami terhadap Gorontalo dalam penyelenggaraan unjuk rasa.

Sebagai warga yang hidup di negara demokrasi baiknya tidak anti kritik, dan kami tidak anti kritik. Hal yang sangat sangat disayangkan, kritik dan bully-an itu buah jemari yang di layangkan di sosial media atau bahkan keluar dari pikiran serta mulut orang terdidik yang juga sering terlibat bahkan pernah kami jumpai sebagai pemimpin unjuk rasa diberbagai kesempatan.

Ketahuilah, unjuk rasa yang kami lakukan menuai banyak kecaman. dari unsur premanisme, serta fitnah penyogokan oleh mafia atau pihak terkait yang merasa terganggu dengan unjuk rasa ini. Mereka mengisukan telah membayar aktivis (masa aksi) dengan sejumlah nominal secara berulang kali.

Sebagai aktivis, yang sering terlibat dalam unjuk rasa Kok kalian tega aktivis di permalukan dengan telak, serta aspirasi di sumbat.? Sungguh tuduhan itu sangat memalukan, Padahal kalian memahami betul, demonstrasi adalah jalan terakhir untuk melakukan perubahan.!

Sebuah pertanyaan sederhana, kalian yang membully massa aksi berdiri dipihak mana.? Apa kalian buzzer yang membentengi mafia keparat untuk menghentikan aksi kami.? Sungguh, yang kalian lakukan adalah hal yang tidak subtansial dan salah tempat dalam mengkritik, harusnya kalian mengkritik para mafia, pengampuh kekuasaanyang kebijakanya tida pro terhadap kepentingan orang banyak.

Dewasa ini, belum banyak yang berubah secara fundamental. Secara mentalitas, yang tercipta di tingkat aktivis lokal justru mental “menunggu” dan “meminta”, bukan etos bergerak dan menggerakkan. Yang terjadi adalah apatisme terhadap gagasan perubahan. Yang banyak dirayakan adalah klik kelompok yang peka dengan cara-cara jangka pendek di medan kuasa kapital dan mencari popularitas semata. Figur-figur apatis masih melilit banyak mahasiswa dan aktivis masa kini.

Apakah dengan membully secara membabi buta kepada sekelompok massa aksi yang cinta lingkungan, membela hak rakyat Gorontalo agar mendapat perlindungan negara merupakan jalan yang kalian tempuh sebagai perlawan.? Apakah kami massa aksi merupakan lawan kalian.? “Dasar-preman sosial media”, Jika demikian maka benar saja jika Kami mengsinyalir, kalian mendukung kerusakan lingkungan hidup dan mengaminkan bencana banjir terus terjadi di Gorontalo yang konon katanya kalian cintai.

Cobalah Anda periksa di sekeliling Anda! Sepertinya orang baik mengalami surplus dan orang jahat meningkat pesat. Mahasiswa makin banyak, tapi yang sadar nyata (terasa) makin sedikit. Terangnya mentalitas mahasiswa banyak yang berubah. Kita lebih sering membully garakan yang perpotensi membawa perubahan serta berdiam diri dan mengaminkan kemungkaran.

Adalah sebuah kepastian bahwa kita akan kehilangan arah, bahkan mengarah pada amnesia pergerakan yang kolektif. Pengorbanan dan kecintaan pada Gorontalo akan kehilangan ruh. Jika ini berlangsung lama dan menjadi kolektif, maka bisa dipastikan Gorontalo di masa depan akan tekuk lutut pada kelompok pembully yang instan, dan berlogika pendek.

Mereka yang yang memilih menakdirkan dirinya menjadi Pembully adalah yang telah melakukan gerak akal tidak sehat atas nama popularitas, dan mengalianase mereka yang cinta baik bumi Gorontalo, maupun rakyat Gorontalo.

Al-Fatihah untuk seluruh Pembully massa unjuk rasa Aliansi Mahasiswa dan Masyarakat Gorontalo yang sedang berjuang “yang tercatat dan tidak tercatat, yang tersinggung maupun tidak tersinggung”.

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT