Beranda Kampus Aroma Indikasi Kriminal Akademik di Universitas Tadulako

Aroma Indikasi Kriminal Akademik di Universitas Tadulako

0
Fachruddin Hari Anggara Putera

Oleh : Fachruddin Hari Anggara Putera*

Bismillaahirrahmaanirrahiim..

Syukur alhamdulillah atas nikmat kesehatan yang masih diberikan Allah SWT serta salawat serta salam untuk junjungan kita Rasullullah SAW. Alhamdulillah akhirnya pada momen ini saya dapat menyampaikan setidaknya ada 3 hal yang merupakan keresahan yang dialami oleh teman-teman dosen BLU maupun non PNS Untad sejak lama. Pada momen ini juga saya akan menyampaikan sedikit kisah saya terkait penerimaan CPNS dosen tahun 2018 di Untad. Semoga apa yang saya sampaikan ini merupakan salah satu bagian dari ikhtiar saya untuk kemajuan Untad di masa yang akan datang.

Pertama, perkenalkan nama saya Fachruddin Hari Anggara Putera, saya bekerja sebagai salah satu dosen di Universitas Tadulako pada jurusan perikanan dan kelautan. Saya akan mengawali cerita saya ini dimulai sejak saya menjadi salah satu bagian dari keluarga besar Universitas Tadulako, Palu. Awal cerita saya menjadi bagian dari keluarga ini adalah disebabkan karena konsekuensi saya sebagai mahasiswa pascasarjana penerima beasiswa unggulan (BU) dikti yang harus mengabdi sebagai dosen program beasiswa unggulan setelah menamatkan perkuliahan S2. Di tahun 2013, setelah saya selesai kuliah S2 pada program studi pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan IPB, saya ditempatkan oleh dikti sebagai dosen penerima program beasiswa unggulan di Universitas Tadulako dengan konsekuensi penggajian berasal dari dikti selama 6 bulan sejak bulan desember 2013 sampai mei 2014 yakni sebesar 3 juta rupiah per bulan. Selanjutnya pada bulan ke 7 atau juni 2014 dan seterusnya pemberian gaji Dosen Tetap Non PNS peserta program BU dilanjutkan oleh pihak Universitas Tadulako. Di tahun 2014 hingga tahun 2015, saya selanjutnya diberikan gaji sebesar 1 juta per bulan. Selanjutnya Di tahun 2016 hingga 2021 ini saya diberikan gaji sebesar 1.6 juta per bulan. Pemberian gaji yang berbeda dari Universitas Tadulako tersebut disebabkan karena status yang berbeda. Untuk dosen status BLU diberikan gaji sebesar 1 juta per bulan sedangkan dosen dengan status dosen tetap non PNS diberikan gaji sebesar 1.6 juta per bulan tersebut.

Yang menjadi keresahan pertama dari apa yang saya sampaikan di awal adalah terkait soal penggajian ini. Dimana jika kita merujuk pada UMP Sulawesi Tengah maka standar gaji yang diberikan oleh Untad adalah jauh dari kata layak. Mengapa demikian? Karena kelayakan UMP tersebut adalah sebesar 2.3 juta sekian per bulan. Aturan lainnya adalah terkait dengan Peraturan Rektor Universitas Tadulako Nomor 8 Tahun 2016 Tentang kepegawaian. Merujuk pada aturan tersebut, harusnya menjadi dasar bagi Untad dalam menggaji para dosennya. Paragraf 9 terkait Gaji dan Tunjangan Pasal 27 berbunyi: “Dosen Tetap Non PNS yang diangkat dalam suatu pangkat/golongan ruang menurut peraturan ini, diberikan gaji pokok berdasarkan golongan ruang yang ditetapkan untuk golongan ruang itu dan didasarkan pada peraturan perundang-undangan sebagaimana tercantum dalam lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Rektor ini”. Dengan demikian jika merujuk pada aturan tersebut, maka gaji minimal seorang dosen tetap non PNS Golongan III/B adalah sebesar 2.5 juta sekian per bulan. Oleh karena itu, maka apa yang dilakukan oleh pihak kampus sudah menyalahi aturan yang ada karena pada Pasal 87 masih menurut aturan ini, berbunyi: “Peraturan rektor ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.” Tapi sayangnya, sampai detik ini, peraturan ini tidak berlaku.

Kedua, persoalan remunerasi. Yang menjadi sorotan teman-teman dosen tetap non PNS maupun dosen BLU adalah terkait persoalan bahwa teman-teman dosen tetap non PNS dan dosen BLU juga berhak untuk menerima remunerasi tersebut. Tapi kenyataan yang terjadi di lapangan adalah mereka tidak menerima hak tersebut. Sekali lagi jika kita merujuk pada berbagai peraturan terkait pemberian remunerasi maka dosen tetap non PNS maupun dosen tetap BLU juga berhak menerima remunerasi tersebut. Hal ini tertuang pada beberapa peraturan berikut: 1. PMK No. 10/PMK.02/2006 Tentang Pedoman Penetapan Remunerasi Bagi Pejabat Pengelola, Dewan Pengawas & Pegawai BLU, 2. PMK No. 73/PMK.05/2007 Tentang Perubahan Atas PMK No. 10/PMK.02/2006 Tentang Pedoman Penetapan Remunerasi Bagi Pejabat Pengelola, Dewan Pengawas & Pegawai BLU, 3. PMK No. 176/PMK.05/2017 Tentang Pedoman Remunerasi Badan Layanan Umum, dan yang terbaru ada pada peraturan: “PMK No. 129/PMK.05/2020 Tentang Pedoman Pengelolaan Badan Layanan Umum”. Sayangnya, aturan ini sekali lagi tidak diterapkan oleh Untad dengan dalih bahwa yang berhak menerima remunerasi hanyalah mereka yang berstatus pegawai PNS berdasarkan “Keputusan Rektor Universitas Tadulako Nomor: 3019/UN28/KU/2020, 09 Maret 2020 Tentang Pedoman Pelaksanaan Remunerasi Universitas Tadulako”. Padahal harusnya Keputasan Rektor tersebut tidak boleh bertentangan dengan peraturan di atasnya yang lebih tinggi, sehingga bisa dikatakan aturan ini cacat secara hukum. Alasan lainnya yang beredar di tengah-tengah kaum yang katanya intelektual adalah karena beban keuangan kampus tidak dapat mengakomodir pemberian remunerasi untuk pada dosen tetap non PNS dan BLU untad. Padahal jika kita melihat lebih jauh remun yang diperoleh oleh seorang pejabat setingkat rektor mencapai 100 jutaan lebih, selanjutnya para wakil rektor bisa mencapai 70an juta, lalu dekan 60an juta, wakil dekan 40an juta, ketua jurusan hingga ketua prodi bisa mencapai 20an juta. Hal ini sangat timpang dengan gaji dosen BLU yang hanya 1 juta. Apakah ini yang disebut dengan bahwa kampus tidak memiliki dana untuk menggaji para dosen BLU maupun dosen tetap non PNSnya secara layak dan menerima remunerasi? Sungguh dimanakah hati nurani itu? Dimanakah akal sehat kaum yang katanya intelektual itu? Oleh karena itu, melalui tulisan ini, saya ingin mengetuk sedikit pintu hati kita semua, semoga kita bisa sedikit merasakan kepiluhan hati para dosen BLU dan non PNS kita yang mana dari mereka juga telah berkeluarga, berusaha mencari sesuap nasi untuk kehidupan keluarganya agar lebih baik. Hati mereka terus gelisah, namun sayang tidak ada yang berani bersuara, mereka hanya bisa menerima takdir itu yang rasanya sangat kejam. Oleh karena itu, saya mengambil jalan lain, semoga melalui tulisan ini para pejabat kampus dapat membuat keputusan yang lebih tepat di masa mendatang.

Persoalan ketiga dari tulisan ini adalah terkait dengan penggajian sertifikasi dosen (serdos) yang juga tidak diberikan oleh pihak kampus. Padahal Undang-undang mengamanatkan melalui: “Peraturan Menteri Keuangan Nomor 164/PMK.05/2010 Tentang Tata Cara Pembayaran Tunjangan Profesi Guru dan Dosen, Tunjangan Khusus Guru dan Dosen, serta Tunjangan Kehormatan Profesor” bahwa setiap dosen yang telah memiliki sertifikat pendidik berhak untuk menerima tunjangan sertifikasi tersebut. Lagi dan lagi, sepertinya para pejabat kita tidak mengetahui adanya aturan ini.

Dan yang terakhir dari tulisan saya ini adalah terkait kisah penerimaan CPNS Tahun 2018 di Untad yang saya alami. Kisah ini sebenarnya sudah sejak lama ingin saya tuliskan, namun karena pertimbangan banyak hal, kisah ini baru dapat saya sampaikan pada momen ini. Awal kisah dimulai dari tes SKD yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat dimana hasil SKD (Seleksi Kompetensi Dasar) saya dengan beberapa peserta lainnya menyatakan bahwa kami lulus SKD sehingga berhak untuk lanjut ke tahap berikutnya yaitu SKB (Seleksi Kompetensi Bidang). Pada tahap SKD tersebut saya memiliki nilai 349, selanjutnya peserta lainnya memiliki nilai 347 dan 268.

Kisah berlanjut pada seleksi kompetensi bidang (SKB) tersebut yang dilaksanakan oleh pihak Universitas Tadulako dimana ketika hasil akhir diumumkan, saya tidak menyangka nilai saya begitu anjlok. Nilai SKD saya pada tes substansi (tes tulis 100 soal pilihan ganda) memperoleh nilai 20, tes wawancara 47, lalu tes kemampuan mengajar 50. Artinya tes substansi saya hanya benar 20 dari 100 soal yang ada. Begitupun peserta yang memperoleh nilai SKD 347, nilai SKBnya tidak berbeda jauh dengan saya. Rincian nilainya: tes substansi 17, tes wawancara 50, lalu tes kemampuan mengajar juga 50. Sedangkan peserta yang nilai SKDnya 268 memiliki nilai yang sangat tinggi mendekati sempurna. Nilai SKBnya pada tes substansi 98, lalu tes wawancara juga 98, dan tes kemampuan mengajar 98,760. Sungguh saat itu saya langsung meyakini bahwa nilai SKB ini tidaklah benar. Bagaimana bisa tes substansi saya hanya benar 20 sedangkan yang diluluskan memperoleh nilai 98, artinya hanya salah 2 nomor saja. Begitupun dengan nilai tes kemampuan mengajar, dimana saya hanya memperoleh nilai 50, padahal saya sudah mengabdi begitu lama di Untad (sejak 2013) dan pernah mengikuti lomba mengajar dimana saat itu saya menjadi juara 2 (sertifikat ada dan ditandatangani langsung oleh Rektor). Sungguh menurut saya penilaian ini tidaklah benar. Saya kemudian mempertanyakan nilai tersebut kepada tim penilai, saya meminta transparansi penilaian saya, sayangnya tim penilai tidak memberikannya hingga saat ini. Padahal sebagai seorang dosen, harusnya memiliki backup penilaian, sebagaimana jika ada seorang mahasiswa mempertanyakan nilainya kepada seorang dosen, maka kita wajib memperlihatkan penilaian kita kepada mahasiswa yang bersangkutan. Oleh karena itu, kecurigaan saya semakin tumbuh bahwa ada sesuatu yang tidak beres dalam penilaian ini. Penilaian tersebut tidaklah objektif dan tidak adil. Sarat akan unsur kecurangan di dalamnya. Kecurigaan saya ditambah dengan adanya kemiripan nilai saya dengan peserta yang satunya yang dibuat untuk menjatuhkan kami berdua. Dan Allahpun memberikan petunjuk dan keterangannya melalui salah seorang dosen di Untad yang menyatakan bahwa saya sengaja digugurkan dalam seleksi CPNS tersebut karena adanya hubungan yang tidak baik dari om saya yang merupakan seorang dosen juga di kampus tersebut dengan rektor saat itu. Hal ini dapat dilihat dari ketidaklulusan dari anak dan menantu om saya tersebut yang juga saat itu mendaftar tes CPNS di kampus Untad. Jadi kami bertiga sudah ditandai oleh Rektor saat itu untuk tidak diluluskan. Sungguh ironis ketika seorang rektor yang statusnya sebagai seorang pendidik memiliki pola pemikiran tersebut. Bagaimana bisa Untad bisa maju jika budaya seperti ini terus berlangsung dan tidak ada satupun orang yang berani bicara? Sungguh saat itu saya mengatakan kepada mereka yang terlibat dalam persekongkolan jahat ini, bahwa jika mereka benar menilai saya pada tes SKB tersebut dengan adil, maka saya menerima nilai saya dengan ikhlas, namun jika mereka melakukan perbuatan yang zalim, curang, penilaian didasarkan atas asas kepentingan tertentu, maka demi Allah sampai saya mati saya tidak akan pernah memaafkannya, dan insya Allah mereka yang zalim akan dibalas oleh Allah SWT.

Itulah sedikit cerita saya, saya telah mengambil jalan ini, dan saya siap menerima setiap konsekuensi dari cerita saya ini. Semoga cerita ini dapat menjadi hikmah untuk kita semua untuk terus berusaha menjadi orang yang adil mulai dari alam pikir kita.

Akhir kata, walaupun kebenaran hari ini kalah, saya yakin insya Allah kebenaran pasti akan mencari momentum dan jalannya sendiri untuk menunjukkan kebenaran itu sendiri. Kebenaran tidak akan pernah salah.

*) Penulis adalah Dosen Tetap Non PNS Untad Pada Jurusan Perikanan dan Kelautan

Facebook Comments