
Kredit macet, dan Tindak Pidana Korupsi
Oleh : Apriyanto Nusa (Dosen Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Ichsan Gorontalo)
Matakita.co – Opini, Terdapat dua (2) hal pokok yang wajib dibuktikan dalam penerapan ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tindak pidana korupsi, yaitu adanya hubungan kausal antara perbuatan dan akibat perbuatan.
Perbuatan melawan hukum (wederrechttelijk), menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yg ada padanya karena jabatan/kedudukan, merupakan suatu conditio sine quo non terhadap akibat terjadinya kerugian keuangan negara dan/atau perekonomian negara.
Dengan kata lain, walaupun perbuatan tersebut mengandung sifat melawan hukum, menyalahgunakan wewenang, kesempatan, atau sarana yg ada padanya karna jabatan/kedudukan, tetapi Perbuatan tersebut tidak berakibat terjadinya kerugian keuangan negara/perekonomian negara, maka terhadap perbuatan tersebut tidak dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan tindak pidana korupsi.
Demikian pula sebaliknya, sekalipun ada kerugian keuangan negara/perekonomian negara, tapi akibat kerugian tersebut tidak disebabkan oleh perbuatan melawan hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yg ada padanya karena jabatan/kedudukan, maka terhadap perbuatan itu juga tidak dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan tindak pidana korupsi.
Mengenai ajaran sifat melawan hukum dalam ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Tindak pidana korupsi, pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006, pemaknaannya dibatasi dalam ajaran sifat melawan hukum formil, yaitu suatu perbuatan yang bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan.
Terhadap hubungan kausalitas tersebut di atas, harus terdapat pada kehendak bathin pelaku pada waktu melakukan tindak pidana korupsi psl. 2 ayat 1 Dan Psl. 3.
Dimana pelaku menghendaki (willens) perbuatan yang melawan hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yg ada padanya karena jabatan/keadaan, serta pelaku mengetahui (wetens) bahwa perbuatannya tersebut dapat mengakibatkan kerugian keuangan negara/perekonomian negara.
Inilah yang disebut Dengan unsur kesengajaan (dolus), sekalipun secara expersive verbis unsur ini tidak disebutkan dalam rumusan norma psl. 2 ayat (1) dan Pasal 3, tapi di dalamnya ini diakui sebagai unsur kesengajaan terselubung.
Apabila dihubungkan dengan kedudukan nasabah/debitur dalam pengajuan/permohonan kredit di Bank sulutgo yang diduga melakukan tindak pidana korupsi karena melanggar BPP/SOP, maka bentuk kesengajaan pada diri nasabah/debitur itu tidak hanya dilihat pada adanya kehendak (willens) dari perbuatan nasabah/debitur yang melawan hukum karena melanggar BPP/SOP, menyalahgunakan kesempatan atau sarana yg ada padanya karena jabatan/kedudukan. Melainkan dari itu, nasabah/debitur juga harus menyadari bahwa atas pelanggaran BPP/SOP tersebut diketahuinya (wetens) akan mengakibatkan kerugian keuangan negara.
Menyimpulkan bahwa pelanggaran nasabah/debitur terhadap BPP/SOP termasuk dalam perbuatan melawan hukum sebagaimana dimaksud dalam psl. 2 ayat (1) UU tipikor, adalah suatu kekeliruan yg nyata, sebab BPP/SOP Bank sulutgo hanyalah peraturan organik internal perbankan, dan bukanlah Peraturan perundang-undangan (regeling) sebagaimana dimaksud dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-IV/2006 hasil pengujian atas psl. 2 ayat (1) UU Tipikor.
Alasan bahwa terjadi kerugian keuangan negara di Bank sulutgo, disimpulkan karena keuangan di Bank sulutgo terdapat penyertaan modal dari pemerintah daerah (PEMDA) yang bersumber dari keuangan daerah/negara. Hal ini perlu pembuktian yang jelas, sebab sumber keuangan di Bank sulutgo tidak hanya berasal dari penyertaan modal PEMDA, melainkan didalamnya terdapat uang nasabah, keuangan/saham pihak swasta, dan sumber keuangan lainnya yang bukan bersumber dari keuangan negara. Dan dalam isi perjanjian antara nasabah/debitur dengan pihak kreditur Bank sulutgo tidak menyebutkan bahwa kredit yang diserahkan ke debitur adalah bersumber dari keuangan negara. Sebab, pada umumnya, sewaktu nasabah/debitur mengajukan permohonan kredit di Bank sulutgo, dalam kesadaran dan pengetahuan (wetens) nasabah/debitur, ia melakukan hubungan hukum keperdataan dengan “keuangan” pihak Bank sulutgo sebagai kreditur, dan bukan dengan keuangan negara yang bersumber dari pemerintah daerah.
Sehingga, kalaupun terdapat pelanggaran BPP/SOP oleh pihak nasabah/debitur pada waktu mengajukan kredit, maka pelanggaran/Perbuatan melawan hukum atas BPP/SOP tersebut harus digunakan sebagai alasan pembatalan perjanjian kredit karena telah merugikan keuangan Bank sulutgo, dan bukan merugikan keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam pasal. 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tindak Pidana Korupsi.
Dari penjelasan tersebut, dilihat pada hubungan hukum antara debitur dan kreditur yang masuk dalam hubungan hukum keperdataan yang mengikat secara hukum terhadap kedua belah pihak (asas pacta sunservanda/psl.1338 kuhperdata), nyatalah bahwa apa yang dikehendaki (willens) dan diketahui (wetens) dari perbuatan nasabah/debitur, harus dimaknai sebagai bentuk kesengajaan yang mengakibatkan kerugian keuangan perbankan, sebab terhadap keuangan negara yang bersumber dari keuangan daerah/PEMDA, itu diluar pengetahuan (wetens) nasabah/debitur karna Pada asalnya pihak debitur tidak melakukan hubungan hukum dengan pihak Badan Hukum Publik (Pemerintah Daerah).
Konklusi, idealnya yang dilakukan dalam perkara ini, pihak Bank sulutgo sebagai kreditur melakukan gugatan wanprestasi terhadap debitur, atau gugatan perbuatan melawan hukum (PMH) terhadap perbuatan debitur yang melanggar BPP/SOP sehingga berakibat terhadap kerugian keuangan Bank sulutgo. Dan bukan melakukan penegakan hukum tindak pidana korupsi.***