Oleh : Safrin Salam, S.H., M.H.*
Posisi masyarakat hukum adat di Indonesia secara hukum mendapatkan tempat yang spesial didalam UUD 1945. Posisi ini merupakan bentuk pengakuan dan perlindungan hukum Negara atas sejarah sekaligus eksistensi masyarakat hukum adat sebagai original people (masyarakat asli) Indonesia. Pengakuan dan perlindungan Negara atas masyarakat hukum adat diatur didalam Pasal 18 B ayat 2 UUD 1945. Pasal ini mengatur bahwa
“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang”.
Substansi Pasal 18B ayat 2 UUD 1945 pada dasarnya memberikan landasan hukum yang kuat atas keberadaannya di Indonesia. Namun pengakuan itu sendiri juga ditegaskan pada kalimat berikutnya sekaligus juga menjadi syarat keberadaan masyarakat hukum adat. Syarat tersebut adalah 1) masih hidup, 2) sesuai dengan perkembangan masyarakat, 3) sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan syarat terakhir adalah 4) diatur dalam Undang-Undang.
Pengakuan sekaligus syarat yang ditetapkan oleh Negara harus dipenuhi oleh masyarakat hukum adat untuk mendapatkan pengakuan hukum yang ada didalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945. Namun semenjak Indonesia merdeka hingga saat ini, pengakuan yang dijanjikan oleh Negara itu belum diterima oleh masyarakat hukum adat. Salah satu hambatan yang di hadapi oleh masyarakat hukum adat adalah belum adanya Undang-Undang yang mengatur khusus yang mengatur masyarakat hukum adat sebagaimana yang diamanahkan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945.
Pertanyaan kemudian adalah apakah dengan belum adanya Undang-Undang yang mengatur masyarakat hukum adat maka masyarakat hukum adat tidak akan mendapatkan pengakuan dan perlindungan hukum dari Negara. Permasalahan ini dijawab oleh pemerintah sendiri dengan menerbitkan beberapa Undang-Undang Sektoral yang mengatur secara khusus mengatur tentang masyarakat hukum adat seperti Undang-Undang Nomor 6 Taun 2014 tentang Desa dan Undang-Undang Nomor 41 Taun 1999 Tentang Kehutanan. Kedua Undang-Undang ini merupakan undang-undang sektoral, disebut undang-undang sektoral olehkarena undang-undang ini mengatur pemerintahan desa dan kehutanan. Pada beberapa pasal didalam undang-undang ini sebut saja uu desa mengatur masyarakat hukum adat dalam bentuk desa adat, begitu pula uu kehutanan yang mengatur pengakuan masyarakat hukum adat dalam kaitan pengelolaan dan penguasaan hutan adat dalam bentuk peraturan daerah.
Apabila ditelaah secara hukum, ketentuan-ketentuan hukum tersebut pada dasarnya tidak memberikan hak masyarakat hukum adat sebagaimana yang diamanahkan oleh Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, hal ini didasarkan perintah pasal 18B ayat (2) 1945 yang mengamanatkan Negara untuk mengatur masyarakat hukum adat dalam bentuk Undang-Undang (Undang-Undang Tentang Masyarakat hukum adat).
Hambatan ini bisa diurai melalui telaa hukum dengan menggunakan teori pengakuan yang kemudian diubungkan dengan teori pembentukan masyarakat hukum adat yang dipopulerkan oleh Ter Haar. Menurut teori pengakuan, pengakuan dibagi menjadi 2 (dua) yakni pengakuan secara de jure dan pengakuan secara de facto, pengakuan secara de jure telah diatur didalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, namun secara de jure pengakuan teradap masyarakat hukum adat harus didasari oleh keberadaan secara rill (nyata) masyarakat hukum adat yang secara turun temurun ada di masyarakat. Melalui pengakuan secara de facto diubungkan dengan teori Ter Haar tentang masyarakat hukum adat maka ada 3 (tiga) indikator untuk mengetahui keberadaan masyarakat hukum adat,
1. Memiliki ketua adat dan anggota;
2. Masih memiliki kewenangan dalam mengatur dan hukum adat;
3. Memiliki harta kekayaan terutama wilayah.
Ketiga indikator ini menjadi elemen-elemen untuk mendeteksi ada tidaknya masyarakat hukum adat di suatu wilayah. Teori Ter Haar pada hakikatnya sudah sangat selaras dengan teori pengakuan de facto yang menurut hukum bawa untuk memahami sebua sistem hukum harus dimulai dari mendeteksi masyarakat itu sendiri. Istilah dalam hukum disebut ibi societas ibi ius (dimana ada masyarakat disitu ada hukum). Tawaran teori Ter haar ini juga menjadi tawaran dan sarana yang bisa digunakan oleh Negara untuk memberikan pengakuan dan perlindungan hukum terhadap keberadaan masyarakat hukum adat. Bentuk pengakuan itu sendiri dikembalikan pada pemerintah daerah sesuai dengan identitas masyarakat hukum adat yang ada di daerah. Pengakuan yang juga menjadi bentuk perlindunga hukum Negara atas keberadaan masyarakat hukum adat merupakan sebuah kewajiban yang harus dipenuhi oleh Negara. Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 dapat dijawab dengan tawaran Teori Pengakuan de facto yang dikombinasikan dengan Teori Ter yang merupakan volkgeist masyarakat hukum Indonesia terutama masyarakat hukum adat.
*) Penulis adalah Dosen Hukum Adat Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Buton