Beranda Mimbar Ide Hari Santri ; Refleksi dan Resolusi

Hari Santri ; Refleksi dan Resolusi

0

Oleh : Harry Yulianto*

Sudah enam tahun diperingati Hari Santri sejak tanggal 15 Oktober 2015 ditandatangani oleh Presiden Jokowi. Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015 Tentang Hari Santri yang ditetapkan pada tanggal 22 Oktober sebagai landasan yuridis untuk mengenang, meneladani serta melanjutkan peran ulama dan santri didalam membela dan mempertahankan NKRI, serta berkontribusi didalam pembangunan bangsa Indonesia.

Pada tanggal 15 Oktober 2019 disahkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 Tentang Pesantren untuk menjamin penyelenggaraan pesantren dalam fungsi pendidikan, fungsi dakwah, serta fungsi pemberdayaan masyarakat. UU Pesantren dimaksudkan untuk memberikan rekognisi, afirmasi, maupun fasilitasi pesantren berdasarkan tradisi dan kekhasan yang dimilikinya.

Di masa pandemi Covid-19, pada tanggal 2 September 2021 Presiden Jokowi menetapkan Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2021 Tentang Pendanaan Penyelenggaraan Pesantren untuk mengoptimalisasikan pendanaan didalam penyelenggaraan pesantren yang menunjang fungsi pendidikan, fungsi dakwah, serta fungsi pemberdayaan  masyarakat.

Tidak bisa dinafikan bahwa pesantren memiliki kontribusi yang signifikan dan rekam jejak historis perjalanan bangsa Indonesia sampai kini, yang sebelumnya dimarginalkan atau bahkan dihilangkan demi kepentingan praktis maupun pragmatis. Namun kini, berbagai kebijakan mengenai afirmasi maupun rekognisi terhadap ulama dan santri menjadi bukti nyata bahwa negara hadir dalam menjaga keberlangsungan serta eksistensi pesantren yang diwujudkan secara konstitusional.

Refleksi

Founding father bangsa Indonesia dalam sejarah perjuangan berdirinya NKRI bukan hanya berasal dari kalangan politisi, militer maupun tokoh masyarakat. Peranan ulama dan santri tidak bisa dimarginalkan terhadap kontribusinya yang mengusir penjajah dari bumi nusantara. Salah satu ulama yang memiliki kontribusi dalam mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia yakni KH. Hasyim Asy’ari melalui fatwa resolusi jihad (perang suci).

KH. Hasyim Asy’ari pada tanggal 22 Oktober 1945 mencetuskan resolusi jihad yang berisikan fatwa bahwa “mempertahankan dan menegakkan Negara Republik Indonesia menurut hukum Agama Islam, termasuk sebagai satu kewajiban bagi tiap-tiap orang Islam”. Resolusi jihad mampu menggerakkan seluruh elemen bangsa untuk mempertahankan kemerdekaan dari agresi militer Belanda, dimana pertempuran mencapai puncaknya di Surabaya pada tanggal 10 November 1945 yang diperingati sebagai Hari Pahlawan.

Resolusi jihad dapat dimaknai sebagai bentuk niat jihad fisabilillah dalam mempertahankan kemerdekaan dari belenggu penjajahan demi masa depan generasi Indonesia. Dampak resolusi jihad mampu mengobarkan spirit perjuangan pada seluruh lapisan masyarakat Indonesia sebagai bentuk perwujudan hubbul wathon minal iman (cinta tanah air sebagai bagian dari iman).

Peranan ulama dan santri didalam mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan negara merupakan keniscayaan yang tidak bisa dinafikan bahwa mereka secara historis sebagai bagian dari founding father bangsa Indonesia. Namun, kontribusi ulama dan santri didalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia sengaja dimarginalkan atau bahkan dilupakan, sehingga generasi muda tidak mendapatkan pengetahuan dan pemahaman yang komprehensif dari sejarah perjalanan bangsa Indonesia.

Peringatan Hari Santri sebagai bentuk refleksi apresiasi dan penghargaan kepada ulama dan santri yang telah berjuang mempertahankan NKRI serta mengisi kemerdekaan dalam pembangunan bangsa. Bentuk refleksi tersebut bukan hanya mengenang dan meneladaninya saja, namun bisa diaktualisasikan kedalam bentuk pelurusan sejarah melalui kurikulum yang diajarkan mulai jenjang pendidikan dasar sampai perguruan tinggi. Hal tersebut dimaksudkan agar spirit resolusi jihad tetap terjaga oleh generasi bangsa Indonesia didalam menghadapi dinamika perubahan dengan prinsip hubbul wathon minal iman yang berlandaskan pada empat pilar kebangsaan, yakni: Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika.

Resolusi

Pandemi Covid-19 memberikan dampak yang sangat luar biasa pada semua kalangan masyarakat. Dampak pandemi Covid-19 bukan hanya pada aspek kesehatan saja, namun juga aspek sosial, budaya maupun ekonomi, sehingga apabila tidak dilakukan mitigasi dan penanggulangan dapat menyebabkan disintegrasi kebangsaan bahkan punahnya peradaban bangsa. Peranan pesantren sangat dibutuhkan dalam memutus mata rantai penularan dan penyebaran Covid-19. Ulama dan santri dapat menjadi role model didalam penerapan protokol kesehatan, memberikan teladan dan pesan moral mengenai kesehatan sebagai bagian dari iman, maupun pelibatan peran ulama terhadap fatwa vaksin yang halal.

Era disrupsi teknologi yang tidak dapat dihindari membawa dampak positif pada kemudahan berkomunikasi dan berjejaring melalui internet. Namun, juga ada pengaruh negatif dari perubahan teknologi berupa informasi yang mengandung konten negatif, sehingga dapat menyebabkan potensi konflik sosial di masyarakat. Sekali lagi, peranan pesantren diperlukan dengan memberikan informasi yang menyejukkan, bukan informasi yang mengandung unsur perpecahan dan menyesatkan. Ulama dan santri dapat menjadi role model didalam aktualisasi moderasi beragama, memberikan teladan dan pesan moral mengenai kebangsaan serta kebhinnekaan, maupun adaptif dengan perkembangan teknologi informasi.

Resolusi jihad di era kekinian dimaknai sebagai bentuk resolusi kebangsaan dalam menghadapi tantangan dan ancaman di era disrupsi teknologi dan pandemi Covid-19. Pesantren dapat berperan mendiseminasikan informasi yang menyejukkan dan menenangkan, sehingga keteladanan ulama dan santri dapat diaktualisasikan secara nyata oleh masyarakat di kehidupan berbangsa dan bernegara dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Peringatan hari santri sebagai bentuk resolusi komitmen santri untuk selalu siap siaga menyerahkan jiwa dan raga dalam membela tanah air, mempertahankan persatuan Indonesia, serta mewujudkan perdamaian dunia yang selaras dengan tema Hari Santri 2021 yakni “Santri Siaga Jiwa dan Raga”. Dan, jangan sekali-kali menghilangkan jasa ulama (Jas Hijau).

*) Penulis adalah akademisi STIE YPUP Makassar.

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT