Oleh : Asratillah (Tulisan menyambut Trilogi Hasrat Kebenaran-Anti Demagog-Habitus Jahil)
I. Menulis ; memeriksa diri sendiri
Ada kawan yang pernah bertanya, “kenapa saya tetap menulis ?”, lalu sy jawab dengan sambil lalu “gampangnya untuk mengisi waktu luang, tapi lebih seriusnya menulis adalah sarana untuk memeriksa hidup saya sendiri”. Dengan menulis, maka saya akan berjarak dengan diri sendiri dan pengalaman-pengalaman sendiri. Menulis membuat jarak antara “saya sebagai sebagai penulis/pengarang” (writer/author) dengan “pengalaman/pikiran/perasaan saya yang ditulis”.
Memang yang saya tuliskan (begitu pula dengan penulis-penulis lain) tidak selalu dengan terang-terangan berbicara tentang dirj sendiri, saya juga menuliskan soal iman, politik, budaya, sastra, ekologi, sains dan filsafat. Tapi soal iman yang saya tulis, senantiasa iman dalam perspektif penghayatan saya. Soal politik yang saya tulis adalah politik dari perspektif yang saya libati. Soal filsafat yang saya tulis merupakan dari sisi titik berangkat penalaran saya.
Ini bukan semacam Solipsisme, seperti yang pernah diutarakan oleh Locke dan Berkeley, bahwa kenyataan yang bisa diakses manusia hanyalah reaksi pikiran atas sensasi-sensasi indra. Karena bagi saya manusia bukan hanya subjek yang mengetahui, bukan hanya penonton atas dunia, bukan hanya makhluk epistemologis. Bagi saya manusia juga adalah agen, subjek yang terlibat dan mesti mengambil pilihan-pilihan, pihak yang menghadapi resiki-resiko, sebuah adaan yang bertindak.
Nah dari sini, menulis bagi saya adalah upaya menelisik diri sendiri, menyusuri sudut pandang diri akan segala hal (mulai dari perihal politik, budaya, filsafat, iman dan sebagainya), dan berupaya jujur bahwa setiap proposisi yang dituliskan sebagai penulis dan diucapkan sebagai pembicara senantiasa melibatkan sudut pandang diri. Dan bisa jadi sebagai salah satu cara untuk mengeksplorasi prospek kemungkinan-kemungkinan sudut pandang lain.
II. Membaca dan Menulis ; Menyadari Kontingensi Diri
Namun ada aktivitas lain, yang menurut saya juga tak kalah menariknya. Yakni menjadi pembaca bagi tulisan sendiri, dan menjadi pendengar respon orang lain akan tulisan sendiri.
Saat kita menjadi pembaca (reader) bagi tulisan sendiri (terutama yang telah dibukukan), maka ada semacam sensasi yang aneh, kita seakan-akan membaca pikiran-pikiran orang lain tetapi begitu akrab dengan kita. Seakan-akan itu pikiran orang lain, karena kita yang sekarang bisa saja memiliki satu set pikiran yang sudah berbeda (bahkan bisa berbeda jauh), dibanding pikiran-pikiran sebelumnya yang kita telah tuangkan dalam tulisan. Saat saya membaca tulisan saya sebelumnya (terkhusus yang sudah dipublikasi), maka ada perasaan belum puas (bahwa tulisan tersebut belum sepenuhnya mewakili yang sayamaksud), perasaan lucu (karena tulisan sebelumnya begitu dangkal bagi saya saat ini), bahkan ketidak setujuan (karena saya saat ini memiliki wawasan atau informasi terupdate, dibanding yang ada pada tulisan yang saya baca).
Begitu pula saat saya mendengar respon kawan-kawan tentang tulisan sendiri. Dari situ saya terasa terhentak, ternyata perspektif tentang sesuatu senantiasa lebih kaya dibanding yang kita kira. Saat saya menulis mengenai politik misalnya, maka pasti akan ada banyak hal yang membatasi ulasan saya dalam tulisan, mulai dari jumlah maksimal kata, waktu senggang hingga keterbatasan wawasan. Saat saya mendengar respon pembaca, maka keterbatasan tersebut seakan-akan diterobos, dan diperhadapkan pada kekayaan serta keberagaman sudut padang.
Dalam hamparan keragaman sudut pandang, kita saling mengkonfirmasi, mengayakan, berkonfrontasi, bahkan saling menegasi. Ini bukan soal siapa benar dan siapa yang salah, tapi ini soal mencari sudut pandang yang paling ber-arti dan relevan. Dan keber-artian dan kerelavanan sudut pandang, bukanlah sesuatu yang bisa diseragamkan, tetapi sesuatu yang senantiasa bersesuaian dan terus menyesuaikan dengan personalitas masing-masing orang, dan semangat masing-masing zaman.
Dari sini akan muncul kesadaran akan kontingensi. Bahwa tidak ada manusia yang bisa sekali jadi dengan dirinya, diri akan selalu bergejolak, tenang sejenak, lalu kembali berkelana dan kembali bergejolak. Begitu pula dengan gagasan dan sudut pandang. Setiap gagasan yang ditulis dan diutarakan senantiasa punya batasan-batasannya di tengah hamparan gagasan-sudut padang yang begitu kaya.
Kita bisa saja membangun “kemah/rumah” di tengah hamparan sudut pandang, agar kita bisa “rehat/relaks” dan “mengambil nafas” saat kita lelah (bagaimanapun manusia adalah makhlukh yang rentan lelah). Namun akan tidak “sehat” kalau kita hanya mengenal dunia luar melalui jendela rumah. Kita mesti “berjalan-jalan keluar rumah”, mengamati-merasakan-menyentuh segala sudut hamparan sebisa mungkin, dan bertamu di “rumah/kemah” orang lain dan bercakap-cakap dengan mereka. Dan saat “lelah” kita bisa balik lagi ke “rumah/kemah” sendiri.
III. Menulis ; Tempat Mencari Suaka
Tapi menulis bisa juga menjadi sebagai salah tempat mencari suaka. Hidup tak selalu ramah dengan kita, seoptimis apapun dan se-bersangka baik apapun kita pada hidup. Senantiasa ada harapan-harapan yang kandas, cita-cita yang menguap, rencana-rencana yang karam serta kebaikan-kebaikan yang dikhianati.
Hidup adalah tempat yang penuh hiruk pikuk, dan menulis bagi saya menjadi sarana untuk menepi sejenak dan berjarak dengan semuanya. Yah….kita bisa saja berjarak dengan semuanya hanya melalui pikiran, tapi tulisan membuat keberjarakan itu agak lebih rapi dan bisa dionfirmasi kembali. Dengan kata lain tulisan memberi bentuk pada setiap bentuk keresahan, kontemplasi dan keberjarakan.
Dalam sejarah, pribadi-pribadi yang bisa “berbicara lantang” di panggung sejarah adalah pribadi-pribadi yang telah menemukan kesunyiannya sendiri, karena dalam kesunyian mereka menemukan semacam “insight” yang menjadi sumber kaya bagi perihal yang akan dia bicarakan dengan lantang. Maka tak heran jika menurut Nashr Hamid Abu Zayd, asal arti dari kata “wahyu” adalah “bisikan rahasia”, dan tentunya “bisikan” yang sifatnya rahasia hanya mungkin terjadi dalam momen-momen kesunyian.
Tapi saya sendiri, tak punya niatan sama sekali “berbicara lantang”. Saya mengamati, saya merasa resah, menepi, membaca, menulis, membagikan tulisan, jikapun nanti ada yang membaca dan menjadikannya sebagai sumber inspirasi biarlah sejarah yang menjadi saksi.
Makassar, 23 Oktober 2021