Oleh : Idham Malik*
Pada 16-27 November 2020, kurang lebih setahun yang lalu, kami melakukan riset kecil-kecilan, dengan mendata sekitar 96 petambak udang vannamei skala tradisional plus yang tersebar di 8 Kabupaten, yang didominasi jalur pesisir timur Sulawesi, yaitu Luwu Timur, Luwu Utara, Luwu, Wajo, Bone, Sinjai, serta tambahan area Bulukumba dan Bantaeng.
Pendataan ini lebih pada untuk melihat kondisi budidaya udang vannamei pada wilayah-wilayah, yang barangkali jarang disorot dan didiskusikan kondisinya di level Provinsi hingga nasional. Sejauh ini, yang cukup banyak menjadi pusat perhatian adalah wilayah barat, karena memang dari segi potensi mumpuni, yaitu pesisir Pinrang, Barru, Pangkep, dan Maros, sebagai jalur yang kaya produksi, serta jalur selatan, takalar-Bulukumba yang menjadi tambang emas tambak intensif vannamei. Barangkali, dengan sedikit ulasan ini, pandangan kabur-kabur kondisi udang timur Sulsel bisa sedikit lebih terlihat.
Menurut Hasanuddin Atjo dalam presentasinya pada Rakor Pengembangan Udang Nasional, 13-15 Oktober 2020, menunjukkan kesimpulan bahwa klaster timur Sulsel kurang sesuai untuk tambak tradisional, dan lebih cocok untuk tambak semi intensif, tapi tidak dianjurkan untuk pengembangan tambak intensif di daerah ini. Apakah karena area ini merupakan area terkurung selangkangan Sulawesi sehingga limbah tidak terlimpas ke samudera? Atau karena kondisi salinitas? Saat itu tidak begitu dijelaskan.
Dari presentasi itu, saya memperoleh data bahwa luasan total tambak di kluster timur yaitu seluas 51.727 hektar dengan produksi vannamei 1.740,4 ton. Dengan sistem apa vannamei itu diproduksi, diperkirakan lebih 90% adalah tradisional, atau lebih tepatnya tradisional plus.
Kenapa tidak dengan memberatkan fokus pada tradisional plus? Saya kira sudah banyak pakar yang menawarkan hal ini, bahwa dengan mempertahankan produksi udang vannamei tambak tradisional plus tetap di atas 0,5 ton/hektar/siklus, maka dengan luas lahan tradisional yang sebesar 745.750 hektar itu maka akan diperoleh produksi sebesar 745.750 ton/tahun, hal ini akan menutupi lubang produksi udang tambak semi intensif/intensif/supra intensif yang totalnya hanya sekitar 5 persen atau 39.250 hektar, yang jika produksi perhektar-nya 31,96 ton, maka diperoleh 1.254.250 ton/tahun, sehingga dengan ditambah dari produksi tradisional plus diperoleh angka 2 juta ton. Dengan begitu, kita tidak perlu repot-repot mengembangkan skema yang rumit-rumit seperti shrimp estate, yang kemungkinan akan melibas lahan-lahan baru, seluas ribuan hektar.
Lantas, bagaimana kondisi tradisional plus pada kawasan timur Sulsel? Walau dianggap tidak potensial (dari sisi mana ya? Hehe) Pada umumnya luas tambak 0,5-3 hektar/petak, dengan jumlah petak 1-5 petak perpemilik. Padat tebarnya bervariasi, antara 2-10 ekor/meter. dengan titik dominan pada 2-5 ekor/meter atau 20.000-50.000/hektar. Pada padat tebar tersebut, maka diperlukan tambahan pakan buatan selain pakan alami. Berdasarkan data yang diperoleh, jumlah rata-rata penggunaan pakan buatan/pellet yaitu sebesar 0,62 ton/tahun dengan jumlah siklus 2-3 kali/tahun. Jika dibandingkan dengan data jumlah rata-rata produksi pertahun/hektar yaitu 0,9 ton/tahun, maka FCR (Food Conversion Ratio) rata-rata sekitar 0,5 (cukup efisien). Meski begitu, FCR rendah dengan jumlah produksi menghampiri 1 ton/tahun itu, masih banyak pula petambak yang memperoleh kurang dari itu, yaitu sekitar 300-400 kilogram/siklus, dengan Survival Rate/daya hidup sekitar 31-51%.
Hal ini menunjukkan pada kita, dengan upaya-upaya sederhana, seperti budidaya di tambak dengan menggunakan sistem pengairan pasang surut, tidak menggunakan listrik, kincir dan resirkulasi (sehingga terhindar penggunaan bensin dan solar yang banyak), penggunaan pakan setengah dari yang biasa digunakan sistem semi dan intensif, mampu bersaing untuk produksi udang, minimal untuk menghidupi keluar kecil para petambak, dan terhindar dari resiko kerugian yang cukup besar dan selalu mengintai.
Belum optimalnya produksi udang vannamei sistem tradisional plus ini, dengan kondisi masih kurang dari SR 70% (sebagai standar kelayakan produksi udang vannamei yang menggunakan pakan pellet) serta standar agar produksi udang kita dapat menjadi 2 juta ton/tahun, sepertinya perlu menjadi perhatian serius. Kenapa hal tersebut terjadi, apakah karena faktor alam, misalnya kenyataan di daerah Luwu Utara dan Luwu Timur (Malangke, Malangke Barat dan Malili, Angkona, Wotu), yang kondisi kadar garam di bawah kondisi ideal budidaya udang, yaitu diantar 1-15 ppt pada musim penghujan, bahkan pada musim kemarau pun kondisi kadar garam masih berkisar 10-25 ppt. Apalagi untuk daerah Luwu Utara pasca bencana longsor, sungai utama mengalami sedimentasi dan kurang menyuplai air asin ke dalam tambak.
Ataukah faktor ketersediaan suplai saprodi yang lain, misalnya saponin untuk pemberantasan hama. Dari 96 petambak yang didata, terdapat 42 petambak tidak menggunakan saponin. Barangkali petambak tak sanggup membeli saponin yang harganya sudah cukup melambung, sekitar Rp. 300.000/karung isi 20 kg. Dengan tidak digunakannya saponin maka barangkali hama ikan mujair masih hidup dalam badan air tambak, sehingga memangsa benur-benur udang yang ditebar dalam tambak.
Perlu pula diperhatikan ketersediaan pakan alami dalam tambak sebagai penunjang pakan buatan yang hanya ditebar seperlunya (setengah dari standar tambak semi intensif). Ketersediaan pakan alami ini cukup bergantung dari ketersediaan pupuk kimia maupun organik. Dari data diperoleh penggunaan pupuk urea rata-rata 98 kg/hektar dan SP36 sekitar 68 kg/hektar. Serta tambahan pupuk dolomit antara 50-100 kg/hektar sebagai pupuk peransang pertumbuhan plankton, meski yang menggunakan dolomit hanya 19 petambak. Rata-rata petambak tidak menggunakan kapur, rata-rata tidak menggunakan pupuk organik dan masih jarang ditemukan petambak yang menggunakan probiotik untuk merangsang pertumbuhan plankton ataupun menjaga kualitas air tetap baik.
Sehingga, Pemerintah Daerah perlu mengerahkan segala sumberdaya yang ada untuk mendorong produksi tambak tradisional plus ini, dengan memastikan ketersediaan saponin yang cukup dengan harga terjangkau. Serta ketersediaan pakan yang cukup, jika perlu mendorong lagi pengembangan pakan mandiri dengan menginisiasi pakan-pakan mandiri di kampung-kampung budidaya udang vannamei di Jalur Timur Sulsel.
Sekaligus melakukan evaluasi terhadap bantuan pakan mandiri yang sudah dilakukan sebelumnya, yang belum jalan atau beroperasi, seperti pabrik pakan mandiri di Desa Latonro, Kec. Cenrana, Kab. Bone (salah satunya), agar kembali produktif dan dapat menyediakan pakan mandiri dan tidak begitu bergantung pada pabrik pakan komersial korporasi besar.
Para perwakilan kampung budidaya di jalur timur dapat belajar dari pengelolaan pakan mandiri Barakka yang dikelola oleh Pak Syarifuddin Zain di Lanrisang Pinrang. Saya kira kita perlu mengkopy paste Syarifuddin Zain di setiap kabupaten yang ada di jalur timur.
Selain itu, masih kurangnya pemanfaatan probiotik baik dalam bentuk sederhana hingga dalam bentuk kultur di Jalur Timur, sehingga program mendorong probiotik di daerah Bone, Sinjai, Wajo, Luwu, Luwu Utara, hingga Luwu Timur harus disegerakan. Saat ini Balai Riset Budidaya Air Payau Maros lagi gencar-gencarnya mendorong probiotik RICA. Nah, kabupaten-kabupaten tersebut lagi-lagi mesti meniru program RUMAH RICA Kab. Pinrang, yang lagi-lagi dikelola oleh Pak Syarifuddin Zain dan Waris Anugrah, serta didampingi oleh Ir. Taufik Sabir.
Optimalisasi ini perlu dukungan para penyuluh di lapangan, sehingga pembinaan pada penyuluh diintensifkan dan direkatkan kembali. Penyuluh-penyuluh area timur Sulsel diarahkan ke area barat dan selatan, untuk saling belajar dan menyerap teknologi di area masing-masing. Di samping pemanfaatan hasil-hasil riset dari Balai Riset perikanan budidaya air payau Maros dan Balai Perikanan Budidaya Air Payau Takalar, pun juga terdapat Institute Sekolah Perikanan Kab. Bone, dan Kampus-kampus berfakultas perikanan (Unhas, UMI, Unismuh, Cokroaminoto, dll) untuk analisis masalah dan penemuan solusi.
Dengan pengerahan segala daya dan upaya, termasuk di dalamnya upaya lobi-lobi pasar untuk mendorong branded pada budidaya udang vannamei sistem tradisional plus ini, serta terus mencari cara budidaya yang tetap mempedulikan kondisi ekosistem sekitar (mangrove serta tumbuhan-tumbuhan lain)/(terus menyesuaikan dengan standar-standar silvofishery/kombinasi perikanan dan ekosistem) sehingga harganya dapat lebih dihargai dan lebih menyemangati para pembudidaya, saya kira cita-cita target dapat dipenuhi, tidak sekadar dari segi produksi yang dapat menimbulkan kesenjangan sosial, tapi juga dapat menyentuh para pelaku skala kecil, yang tidak dapat dipungkiri saat ini tradisional plus sudah cukup mendominasi.
Dengan begitu, praktik budidaya tidak hanya dapat menghasilkan untung bagi negara, tapi juga menjadi lebih adil karena dapat pula dinikmati oleh pelaku budidaya tradisional dan tradisional plus, yang jumlahnya 95% di negeri kita tercinta ini.
*) Penulis adalah Koordinator Kader Hijau Muhammadiyah