Oleh : Idham Malik*
Materi Kak Ariyanto Hidayat pada Pelatihan Fasilitator Komunitas, 21-22 November 2021 di Haawala Cafe, Makassar mengingatkan banyak hal. Ia bercerita tentang doxa/doksa atau sesuatu yang sudah dianggap lumrah, misalnya seorang istri biasanya memasak untuk konsumsi keluarga, lalu ketika yang memasak adalah seorang suami? Ia menyebutnya sebagai paradoks, di luar kebiasaan/pandangan umum.
Kemampuan membedakan hal itu dianggap sebagai pegangan penting bagi seorang fasilitator.
Pun setelahnya, Ari menanyakan tentang pegangan prinsip/keyakinan masing-masing peserta? Setelah peserta mengungkap pegangan hidupnya, ia pun menjelaskan bahwa ketika kita mempertanyakan dan memikirkan secara mendalam nilai-nilai yang telah kita anut/pegang, maka itu disebut paradigma atau berfikir di samping dogma.
Membayangkan kata doksa dan dogma mau tak mau mmengantarkan saya pada suatu situasi yang rileks, kursi yang tak lagi empuk, bunyi cecak menyela percakapan, asbak dengan abu dan puntung rokok, buku-buku yang disimpan sekenanya, foto-foto cetakan koran, suara angin dan kadang-kadang tetes hujan. Materi Kak Ari bagi saya adalah nostalgia.
Begitu halnya penjelasan tentang bagaimana kita melihat diri kita, apakah sebagai I ataukah Me? Ari meanyakan ke peserta seperti apa mereka mendefenisikan dirinya, apakah menurut dirinya sendiri ataukah menurut orang lain? Jika kita masih melihat diri kita melalui kacamata orang lain (Me), berarti kita belum melihat diri kita secara utuh sebagai siapa saya, hal ini tentu jika menjadi fasilitator akan merepotkan, karena belum selesainya urusan dengan dirinya sendiri, masih terombang-ambingnya ia dalam persoalan identitas dan seperti apa ia harus dikenal dan bersikap.
Saya tiba-tiba teringat penjelasan sang mentor di ruang tamu koran kampus identitas tahun 2006 lalu, kami yang masih muda-muda mencoba mencerna maksud dari “I” dan “Me” itu. Saya kira, penjelasan ini adalah “legacy” bagi kaum muda untuk bertransformasi dari kepompong menjadi kupu-kupu, dan Kak Ari mengingatkannya kembali.
“Seorang fasilitator harus bisa memberi sesuatu yang ada dalam dirinya, I (Ai) yang memancar ke luar, sesuatu yang ia punyai untuk diberikan ke masyarakat,” kata Ari. Kalimat ini terdengar biasa saja, tapi dahsyat jika kita hayati baik-baik, berarti seorang fasilitator harus memiliki kecakapan/kompetensi yang lebih dan siap mengorbankan apa yang ia punya untuk kepentingan masyarakat/publik.
Setelahnya berpindah ke penjelasan siklus, bahwa dalam kehidupan ini terdapat begitu rupa siklus, mulai dari siklus hidrologi yang menimbulkan hujan, hingga siklus kehidupan seorang yang tinggal di sebuah desa yang memiliki adat dan kebiasaan tertentu. “Seorang fasilitator harus dapat mengenali siklus kehidupan suatu kampung atau komunitas tempat bertugas. Fasilitator harus menyesuaikan pola hidupnya berdasarkan cara-cara hidup setempat,” kata Ari.
Kemudian Ari menjelaskan skema taksonomi bertanya, dengan masing-masing fungsi dari kata tanya. Peserta mesti dapat membedakan maksud dari pertanyaan Dimana, Kapan, dan Siapa yang menunjukkan konteks/situasi/latar bekalang, serta pertanyaan apa dan bagaimana yang bermaksud menggali pengetahuan dan metode/cara, serta pertanyaan ‘kenapa’ yang lebih menggali motif dan nilai seseorang.
Baru setelah penjelasan masing-masing di atas Ari mulai menjelaskan tools/metode PRA (Participatory Rural Apraisal). Karena terbatas waktu, Ari menjelaskan secara padat dan cepat tentang tools sketsa/peta desa, kalender harian, kalender musim, sejarah desa, diagram venn, dll.
Saya kira, tools cukup gampang dipelajari, cukup dengan menyempatkan waktu dan ruang, menonton youtube, googling, mengajak teman yang lebih tahu untuk bercerita. Terpenting adalah Ari sudah memperkenalkan beragam pengertian dan sikap untuk menjadi seorang fasilitator, serta sedikit cuap-cuap teori dan konsep, dengan banyak bumbu humor. Setelahnya adalah inisiatif masing-masing fasilitator untuk merefleksikan lagi pengalaman-pengalaman mereka kelak ketika betul-betul kembali bekerja di lapangan.
Ari terlihat total dalam memberikan materi dalam dua hari itu (catatan di atas hanya tentang poin-poin penjelasan hari pertama), tanpa ditanya ia menjelaskan sendiri. ia merasa cocok menjadi fasilitator karena sangat menyukai aktivitas yang berkenaan dengan diri manusia atau pendidikan manusia. Hal ini berarti menjadi fasilitator adalah seni mencintai manusia, menjadi manusiawi.
Sehat-sehat kanda, jangan lelah membuat status dengan kata ganti Anu, semoga anu bisa menganu, dan jadi anu, amiin.
*) Penulis adalah koordinator Kader Hijau Muhammadiyah Sulsel