Oleh : Furqan Jurdi*
Agak mengejutkan pengakuan Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera mengakui adanya lobi-lobi para calon komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) kepada Fraksi-fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat. Disinyalir lobby itu untuk mendapatkan tiket lolos dari fit and proper test.
Masih rumor Mardani, beberapa fraksi diduga telah memiliki calon-calon komisioner yang menjadi jagoan mereka untuk lolos masuk tujuh komisioner KPU dan lima komisioner Bawaslu.
Lobi politik dalam jabatan memang lumrah terjadi, karena melewati mekanisme politik di DPR. Tidak menjadi masalah, asalkan independensinya terjamin. Tetapi kalau lobi itu pragmatis tentu akan ada politik balas budi, itulah yang akan menciderai Pelaksanaan Pemilu.
Gerilya lobi politik seperti ini dapat menimbulkan banyak dugaan, bahkan dapat dianggap sebagai preseden buruk bagi independensi komisioner KPU dan institusi KPU. Apalagi Lobi itu lintas partai, pasti ada pembicaraan dua arah antara kepentingan Partai dan keinginan untuk lolos sebagai jaminan.
Dugaan adanya lobi politik seperti ini dalam perekrutan komisioner KPU meski harus diawasi secara serius. Sebab ini dapat berefek sangat dahsyat dalam pelaksanaan pemilu sebagai amanat konstitusi.
Apakah benar ada Lobi politik?
Secara diplomatis kepada Tempo Saan Mustofa yang juga wakil Ketua Komisi II DPR membenarkan bahwa ada preferensi dari partai koalisi terhadap para calon. Preferensi partai di Parlemen sah-sah saja, tetapi kalau Calon Komisioner KPU yang bergeliat untuk mencari dukungan itu sangat tidak etis.
Dalam pelaksanaan pemilihan Anggota KPU dan Bawaslu kali ini memang terdapat beberapa kejanggalan dimulai dari pembentukan tim panitia seleksi yang dibentuk Presiden. Dari 11 orang tim seleksi terdapat 4 orang berasal dari unsur pemerintah. Padahal, ketentuan Pasal 22 ayat (3) huruf a UU Pemilu, secara eksplisit mengatur bahwa unsur pemerintah di tim seleksi KPU dan Bawaslu dibatasi hanya tiga orang.
Dan diantara tim seleksi sebagian besar adalah “orang pemberintah”. Baik itu dari badan atau lembaga maupun mereka yang pernah menjadi relawan Jokowi-Ma’ruf pada Pilpres 2019. Tetapi itu juga tidak menjadi masalah kalau semangatnya adalah untuk mewujudkan pemilu yang Jujur dan adil.
Komisioner Orang Dekat Elit?
Diantara partai politik terdapat kecurigaan terhadap para calon Komisioner KPU di DPR tanggal 14 Februari 2022 itu. Anggota Komisi II dari PDIP Rifqinizamy Karsayuda yang mempertanyakan kedekatan Betty Epselon Idroos dengan para elit Nasional. “kekhawatiran kita adalah adanya conflict of interest bu Betty dengan para elit nasional yang memungkinkan terjadinya penurunan kepercayaan kepada ibu dan lembaga KPU sendiri”. Kata Rifqinizamy.
Betty membantah, bahwa dirinya sebagai Anggota KPU bekerja berdasarkan Undangundang. Karena tidak menutup kemungkinan, “komisioner lain pun memiliki kedekatan dengan elit nasional”. Jawabnya.
Saya seringkali mengintip proses seleksi Calon Komisioner KPU ini semenjak 2019, baik ditingkat pusat maupun ditingkat daerah. Terdapat kecenderungan bahwa para komisioner harus didukung oleh elit politik. Beberapa nama terdepak karena tidak mau memberikan jaminan bagi partai politik manapun.
Anggota KPU bukan politisi yang harus mewakili partai politik. Sebab, kalau KPU diisi oleh “komisioner partai”, KPU menjadi “perpanjangan tangan” partai politik. Bisa jadi kedaulatan rakyat “diperjualbelikan” lewat KPU.
Partai atau elit manapun boleh saja menjagokan calon, dari unsur manapun, tidak ada larangan. Tapi jangan sampai ada transaksi kepentingan dengan jaminan tertentu yang bisa berakibat pada kecurangan pemilu.
Tidak ada larangan bagi Komisioner KPU membangun hubungan imparsial dengan peserta pemilu, yaitu membangun keharmonisan. Hubungan yang demikian dimungkinkan oleh Undangundang. Seperti memberikan pelayanan kepada seluruh peserta pemilu, memberikan pendidikan tentang kepemiluan di Partai Politik dan membuka informasi kepada pemilu kepada seluruh peserta pemilu.
Hubungan imparsialitas dalam konteks ini adalah untuk saling memudahkan penyelenggara dan peserta pemilu. Sehingga beban kepemiluan tidak menjadi tanggung jawab Penyelenggara saja, tetapi juga tanggungjawab peserta. Paling tidak peserta pemilu tidak menyulitkan penyelenggara dalam persoalan teknis dan pelaksaan pemilu.
Namun hubungan imparsial itu tetap menjaga independensi penyelenggara. Hubungan tersebut dibangun atas dasar integritas dan Profesionalitas, bukan karena adanya janji-janji yang menciderai pelaksaan pemilu.
Pentingnya Integritas dan Profesionalitas
Saya tertarik dengan tulisan seorang penyelenggara pemilu Agusliadin. Dalam potongan tulisan itu ia mengatakan bahwa Penyelenggara Pemilu perlu mengokohkan dua hal yaitu Integritas dan Profesionalitas.
Integritas dan Profesionalitas yang menjadi penentu terwujudnya penyelenggaraan pemilu yang baik. Para komisioner KPU dituntut untuk berintegritas dan profesional demi terwujudnya pemilu yang langsung umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.
Berpegang teguh pada sumpah dan janji, tidak mengkhianati kedaulatan rakyat dan setia kepada kejujuran, kebenaran dan keadilan merupakan point penting untuk menjaga Integritas penyelenggara pemilu. Itu syarat mutlak yang dituntut kepada para komisioner KPU.
Ditangan merekalah pelaksanaan kedaulatan rakyat dipercayakan. Kedaulatan untuk memilih dan dipilih. Pemilu adalah momentum yang paling penting dalam memperbaharui mandat rakyat kepada pejabat yang dipilihnya.
Selama lima tahun, rakyat akan menilai, apakah mandatnya sudah diberikan kepada orang yang tepat atau tidak. Penilaian ini adalah penentu bagi para calon dan partai politik.
Guna untuk menjaga amanat rakyat melalui surat suara itulah KPU menjalankan tugas dan wewenangnya. Tidak bisa diintervensi, Independen dan bertanggungjawab atas amanah itu.
Disinilah integritas seorang KPU dipertaruhkan, yaitu menjaga amanat rakyat melalui surat suara yang dicoblosnya. Bukan hanya yang mencoblos, yang memilih tidak menggunakan hak suaranya pun harus dijaga, jangan sampai digunakan oleh orang tertentu tanpa hak.
Memilih anggota KPU bukan hanya memilih “orang”, tetapi juga memilih kemampuan dan kelayakannya. Komisioner KPU bukan hanya pelaksana, tetapi sebagai king maker pemilu, yang menentukan suksesnya pemilu. Kemampuan merumuskan regulasi kepemiluan saat ini sungguh mendesak.
Belajar dari pemilu 2019 ada ketidakefektifan pemilu. Banyak petugas Pemilu yang meninggal akibat kelelahan, banyak lagi kasus-kasus lain, seperti tidak adanya pencoblosan karena terlambatnya surat suara sampai ke daerah, dan lain-lain. Antisipasi-Antisipasi seperti ini penting agar pelaksanaan pemilu yang efektif dan efisien serta mudah diakses masyarakat.
Sekarang ini KPU sedang mengusulkan anggaran fantastis 86 Triliun untuk pemilu 2024. Kata Ketua KPU Ilham Saputra, untuk biaya infrastruktur. Sementara anggaran pemilu 2019 hanya 24 Triliun. Melihat keadaan sekarang ini, tidak memungkinan untuk menambahkan biaya yang berlipat seperti itu, kecuali penting dan mendesak. Infrastruktur yang yang dijadikan alasan menaikkan anggaran KPU adalah berupa kantor tetap.
Persoalan “tetek bengek” seperti itu seharusnya dihindari untuk sementara ini. Karena negara perlu mengefisienkan anggaran guna menghadapi pemulihan ekonomi dan Covid. Jadi KPU perlu mengefisienkan anggaran yang ada, sembari menunggu keputusan DPR dan Pemerintah.
Pada akhirnya kita berharap, yang terpilih menjadi Komisioner KPU dapat bekerja secara independen, memegang teguh integritas dan Profesionalitas demi terselenggaranya Pemilu yang Luber dan Jurdil. (*)
*) Pegiat Hukum Tata Negara