Beranda Mimbar Ide Radikalisme Agama dan Kelangkaan Minyak Goreng

Radikalisme Agama dan Kelangkaan Minyak Goreng

0
Panji Hartono

Oleh : Panji Hartono*

Terhitung beberapa hari lagi, umat muslim akan memasuki Bulan Suci Ramadhan, bulan yang penuh kemuliaan. Bangsa Indonesia sebagai Bangsa muslim terbesar di dunia tentu merasa bahagia dengan kedatangan bulan Ramadhan, kebahagiaan dalam menyambut bulan suci Ramadhan semoga menjadi energi positif dalam menyiapkan diri menerima tamu agung tersebut.

Akhir-akhir ini, mendekati bulan suci Ramadhan, negeri ini dibuat gaduh dengan kelangkaan minyak Goreng dan Solar. Ibu-ibu mesti antri berjam-jam agar mendapatkan minyak, sedangkan supir truk yang kebanyakan bapak-bapak juga harus ikut merasakan antrian panjang berjam-jam untuk mendapatkan solar, Sebuah situasi yang bisa memicu distabilitas sosial dan jika berlangsung terus-menerus akan melahirkan efek domino yang kurang sehat dalam kehidupan sosial-masyarakat kita.

Selain kelangkaan minyak dan solar, perhatian publik juga disita oleh munculnya daftar nama-nama di berbagai media tentang pendakwah/penceramah yang disinyalir berpaham dan mengajarkan ajaran radikal atau intoleran. Nama-nama tersebut muncul di jagad media tidak lama berselang setelah Presiden Jokowidodo menyampaikan pidato pada sebuah acara Rapim TNI/POLRI di mabes TNI, jakarta, 1 Maret 2022. Pada pidato tersebut presiden Jokowidodo menekankan agar istri TNI/POLRI jangan sampai membuat acara keagamaan yang mengundang penceramah Radikal/intoleran.

Dua kondisi tersebut, dalam pengamatan penulis tentunya berdampak bagi umat muslim menjelang bulan suci Ramadhan. kebutuhan konsumsi di bulan Ramadhan tentu tidak lepas dari bahan-bahan masakan, termasuk minyak goreng. Selain itu, kegiatan keagamaan yang padat di bulan Ramadhan tidak lepas dari keterlibatan para muballigh atau penceramah seperti ceramah tarwih, kultum subuh, ceramah berbuka puasa dan lain-lain. Munculnya deretan nama-nama penceramah yang disinyalir Radikal, tentu membuat masyarakat harus lebih selektif dan berhati-hati lagi dalam mengundang penceramah.

Mengenai isu dan gerakan Radikalisme atau ekstremisme agama (terorisme) di Indonesia, persoalan itu bukanlah hal yang baru. kasus Bom Bali 1 pada tahun 2002 menjadi momentum awal gerakan terorisme di Indonesia, dalam lima tahun terakhir, Negeri ini terus saja digempur oleh aksi-aksi terorisme, serangan teror di sarinah-thamrin Jakarta tahun 2016, kasus Bom Gereja di Surabaya pada tahun 2018, serta yang terbaru adalah aksi teror bom bunuh diri sepasang suami istri di Gereja katedral Makassar, Maret 2021.

Berbagai aksi terorisme (yang merupakan kejahatan kemanusiaan) yang terjadi di Indonesia, jika diamati secara seksama, hampir semuanya disinyalir terdorong oleh motif agama. Tanpa harus menutup mata, dalam fakta sejarah perjalanan manusia, memang tidak sedikit kejahatan kemanusiaan yang diinspirasi atau termotivasi oleh doktrin ajaran agama. Di Indonesia sendiri, doktrin ajaran agama “kelompok Islam (muslim)” disinyalir paling sering menjadi pemicu lahirnya aksi-aksi teror. Olehnya sangat mungkin, alasan diedarkannya nama-nama penceramah/pendakwah yang radikal di media sebagai langkah preventif.

Dengan munculnya deretan nama-nama penceramah yang dianggap radikal di media , maka pertanyaan yang dapat disodorkan untuk didiskusikan adalah, apakah semua gerakan ekstremisme/terorisme yang terjadi khususnya di Indonesia, itu dipicu oleh pesan-pesan dakwah dari penceramah-penceramah “radikal”, atau dengan kata lain, apakah syiar dakwah merupakan hulu dari gerakan ekstremisme agama atau aksi terorisme?

Untuk menjawab pertanyaan di atas, ketarangan Alvin Toffler (futurolog Amerika) Mengenai kelompok kultus, kiranya dapat meluaskan prespektif kita dan menyelamatkan kita dari penilaian berprespektif “kacamata kuda” dalam melihat fenomena Gerakan ektremisme agama atau aksi terorisme. Gerakan ekstremisme agama atau aksi terorisme erat kaitannya dengan sikap kultus (menokohkan seseorang secara berlebihan). Toffler memberi keterangan bahwa kultus (cult) merupakan gejala spiritual-keagamaan dengan sistem pengorganisasian yang ketat, penuh disiplin, absolutistik, kurang toleran dengan kelompok lain, berpusat pada ketokohan yang berdaya pikat retorik dan mampu menjanjikan keselamatan dan kebahagiaan dengan sederhana.

Lebih lanjut Toffler memberi keterangan bahwa merajalelanya kultus adalah gejala sosial yang hanya dapat diterangkan jika kita melihat gejala-gejala negatif masyarakat industri atau dengan kata lain gejala kultus sebagai bibit dari gerakan terorisme tidak dapat dilihat sebagai persoalan agama un-sich. Adapun gejala-gejala negatif dari masyarakat industri menurut Toffler adalah kesepian, rapuhnya struktur masyarakat, serta ambruknya makna yang berlaku.

Gejala-gejala negatif dari masyarakat industri sebagaimana keterangan Toffler di atas, sangat berpotensi membuat seseorang tertarik pada kultus, alasannya karena di tengah keadaan kesepian yang mencekam, kultus hadir menawarkan perkawanan dan persahabatan yang hangat, ditengah rapuhnya struktur masyarakat dan ambruknya makna kehidupan, kultus hadir menawarkan penjelasan tentang makna dan tujuan hidup secara simplistik (sederhana) . Dengan demikian, laju industrialisasi yang tidak terkontrol dalam masyarakat bisa menjadi pemicuh tumbuh suburnya kelompok-kelompok kultus yang menjadi benih dari aksi terorisme.

Selain gejala industrialisasi, perubahan sosial yang cepat juga dapat menjadi penyebab munculnya kultus. Nurcholish Madjid (Cak Nur) memberi keterangan bahwa industri dan perubahan sosial yang cepat melahirkan gejala sosial-psikologis berupa dislokasi kejiwaan, disorientasi (goyahnya nilai-nilai lama), deprivasi relative (tersingkirkan dalam bidang kehidupan tertentu). Gejala-gejala sosial-psikologis tersebut juga sangat berpotensi memantik kehadiran kelompok-kelompok kultus dengan tawaran-tawaran kebahagian dan keselamatan yang disimplifikasi (disederhanakan).

Lebih lanjut, Cak Nur memberi keterangan bahwa gejala-gejala sosial-psikologis yang dihasilkan dari perubahan sosial yang cepat hanya dapat diperbaiki melalui pemerataan, sebab pemerataan dapat mengurangi prasangka sosial yang merupakan pangkal keonaran sosial yang paling berbahaya. Sehingga keadilan menjadi kata kuncinya, keadilan yang bermakna bahwa semua masyarakat memiliki kesempatan yang setara untuk dapat mengakses jaminan sosial utamanya pendidikan, kesehatan dan pendapatan (ekonomi), dari keterangan itu dapat dipahami bahwa iklim keadilan sosial dalam kehidupan masyarakat juga dapat mempengaruhi keberadaan kelompok-kelompok ektremis/teroris.

Keterangan dari Cak Nur di atas, selaras dengan gagasan seorang psikolog, Erich Fromm yang memberi keterangan bahwa kultus dan fundamentalisme (sebagai bibit dari gerakan ekstremisme dan terorisme) merupakan gejala sosial-psikologis yang ia sebut lari dari kebebasan (escape from freedom), akibat bingung dengan perubahan sosial yang cepat, orang tidak berani mengambil keputusan sendiri, dan menyerahkan keputusan kepada “sang pemimpin”. Biasanya panggung “Sang pemimpin” di tengah kebigungan masyarakat menghadapi kenyataan sosial yang menakutkan sering diambil alih oleh pemimpin-pemimpin gerakan kultus. Olehnya jika pemimpin negeri ini gagal dalam menghasilkan iklim kehidupan masyarakat yang adil, maka besar kemungkinan harapan kehidupan masyarakat justru disandarkan pada pemimimpin-pemimpin gerakan kultus, dan itu tentu tidak kita kehendaki.

Kita tidak ingin, aksi-aksi ekstrem kelompok-kelompok kultus yang Pernah terjadi di Amerika juga mewarnai kehidupan masyarakat di Indonesia, seperti kelompok kultus Peoples temple yang dipimpin oleh James jones, kelompok tersebut melakukan aksi bunuh diri massal setelah pindah dari Amerika ke Guyana, atau kelompok kultus pimpinan David Koresh yang melakukan aksi bakar diri massal di Waco, Texas. Aksi-aksi ekstrem seperti itu pastinya akan melahirkan suasana mencekam yang bisa merenggut kedamaian dan keharmonisan hidup berbangsa dan bernegara.

Jika gerakan ekstremisme agama atau aksi terorisme dianggap mengancam keharmonisan atau kedamaian bangsa ini, maka disinilah relevansi nasihat Abdurahman Wahid (Gus Dur) bahwa kedamaian tanpa keadilan hanyalah sebuah ilusi. Tidak hanya kedamaian, aksi teror juga dapat mencederai nilai persatuan dari bangsa ini, maka disitulah letak relevansi dari petuah Yudi Latif, bahwa dalam Pancasila, sila keadilan dan persatuan tidak dapat dipertukarkan, jangan mengorbankan keadilan dengan dalil persatuan, begitupun sebaliknya, tidak dibenarkan mengorbankan persatuan dengan dalil keadilan, sebab persatuan dan keadilan merupakan dua sayap Garuda yang senantiasa digunakan terbang menjelajahi langit keindonesiaan kita.

Dari berbagai penjelasan singkat di atas, maka menurut hemat penulis bahwa apa yang telah disampaikan presiden Jokowidodo pada acara rapim TNI/POLRI kepada para istri prajurit untuk tidak memanggil penceramah yang dianggap radikal tidak sepenuhnya keliru. Sebab di negeri kita ini masih terdapat penceramah-penceramah yang menjadikan mimbar masjid atau mimbar dakwah sebagai alat provokasi dan adu domba untuk merusak kedamaian negeri yang bineka ini.

Akan tetapi, jika presiden Jokowidodo memberi pesan kepada istri prajurit untuk tidak mengundang penceramah Radikal dalam kegiatan keagamaan sebagai bentuk preventif dari gerakan-gerakan terorisme, maka dalam tulisan singkat ini, penulis ingin memberi pesan kepada Presiden Jokowidodo bahwa gerakan-gerakan ektremisme atau terorisme tidak selamanya dipantik atau berhulu dari syiar-syiar dakwah yang menyimpang, tetapi juga dapat dipicu oleh keadaan sosial yang tidak stabil akibat distribusi keadilan yang tidak dirasakan oleh masyarakat di berbagai sektor (sosial, politik, ekonomi termasuk Hak Asasi Manusia),

Jika pemerintah saat ini yang dinahkodai oleh presiden Jokowidodo benar-benar berkomitmen untuk menghabisi kelompok-kelompok radikal atau ektremis sebagaimana yang sudah sering digembor-gemborkan pada khalayak publik, maka pemerintah jangan terlalu sibuk menghabiskan energi untuk melempar wacana-wacana atau isu-isu yang berbau “agama” terkait gerakan-gerakan ekstreamis dan teroris yang dianggap kapan saja bisa menyerang kehidupan bangsa dan negara ini.

Pemerintah juga mesti fokus dan menghabiskan energi untuk menciptakan iklim kehidupan berbangsa dan bernegara yang stabil. dan stabilitas sosial itu hanya bisa tercapai jika pemerintah mampu menghadirkan “rasa keadilan” di tengah-tengah masyarakat di semua sektor kehidupan, sebab rasa ketidakadilan biasanya memicu prasangka sosial, dan dari prasangka sosial akan lahir iklim kehidupan masyarakat yang tidak stabil. dan itu bisa menjadi pintu masuk bagi kelompok-kelompok kultus atau kelompok ekstream untuk mengambil alih sandaran hidup masyarakat.

Semoga kelangkaan minyak goreng dan solar segera usai, karena jika itu terus berlangsung, maka efek domino yang akan muncul adalah distabilitas sosial, jangan sampai dari situasi tersebutlah, terbuka pintu masuk bagi kelompok-kelompok kultus dan ekstremis untuk mengambil hati dan perhatian masyarakat, maka menurut hemat penulis, perwujudan keadilan menjadi Pekerjaan Rumah (PR) utama bagi presiden Jokowidodo dan jajaran pemerintahannya jika memang serius memberantas gerakan-gerakan radikalisme agama, dan lebih baiknya untuk mengurangi kesibukan memproduksi isu-isu terorisme yang selalu berbau “Agama” !

Entahlah, hanya Tuhan sebaik-baik pemberi petunjuk.

*) Penulis adalah Demisioner ketua umum HMI komisariat Dakwah dan Komunikasi Cabang Gowa Raya

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT