Oleh :Wildan Wahid Hasim
Rusia dan Ukraina merupakan negara di kawasan Eropa Timur yang memiliki teknologi dan industri senjata yang cukup maju. Dua negara ini memang bisa disebut sebagai tetangga dalam letak geografisnya. Untuk itu banyak kalangan yang mengatakan bahwa kedua negara di masa depan akan memiliki risiko konflik. Rusia yang telah lama dipimpin oleh presiden Vladimir Putin terkenal dengan kekuatan militer dan alutsistanya. Bahkan banyak negara yang memesan peralatan tempur dari Rusia untuk memperkuat alutsista. Produk pesawat tempur bernama sukhoi merupakan produk yang sangat laris diperjualbelikan di berbagai negara, baik negara maju ataupun negara berkembang.
Dengan banyaknya senjata dan teknologi militer yang mutakhir Rusia menjadi negara superpower kedua setelah Amerika Serikat. Akan tetapi lambat laun Rusia akan menjadi negara pertama dalam sistem persenjataan militer. Ini tampak dari sistem persenjataan yang sangat diandalkan oleh Rusia yakni senjata nuklir. Mengutip dari Bulletin of Atomic Scientist, persediaan senjata nuklir Rusia mencapai 6.257 unit pada tahun 2021. Selain itu Rusia juga diperkuat peralatan tempur darat yakni kendaraan lapis baja sebanyak 12.500 unit. Dengan kekuatan sebesar itu sudah dipastikan bahwa Rusia dengan mudah dapat menghancurkan negara-negara di benua Eropa. Sejak zaman Uni Soviet Rusia berambisi menguasai wilayah Eropa Timur.
Dampak konfrontasi Rusia Ukraina bagi Indonesia
Konflik yang berkepanjangan ini nantinya akan merambah ke tanah air Indonesia. Beberapa dampak yang ditimbulkan mungkin saja akan memiliki pengaruh besar dalam dinamika perpolitikan internasional Indonesia serta kehidupan domestik negara. Banyak kalangan juga menilai, bahwa agresi militer ini memiliki pola-pola yang sama dengan agresi militer yang dilakukan bangsa lain, misalnya saja agresi militer yang dilakukan oleh Israel terhadap Palestina. Konflik kepentingan seperti ini jikalau tidak ditangani dengan baik, maka akan terjadi budaya agresi secara kontinyu. Sehingga paradigma yang muncul ialah ketika negara mempunyai kekuatan dan sebuah kepentingan maka invasi merupakan jalan utama dalam gerakan-gerakan politisnya.
PBB sebagai organisasi dunia yang membawahi banyak negara sebenarnya memiliki aturan keras terhadap tindakan konfrontasi bersenjata seperti ini. lalu yang menjadi sebuah pertanyaan apakah PBB bisa memberikan hukuman berupa sanksi tegas untuk negara yang menjadi pelaku dalam konfrontasi ini? mungkin ini menjadi sebuah pertanyaan besar tatkala negara di Eropa menjadi agen dalam perumusan peraturan PBB. Organisasi dunia ini tidak hanya mementingkan keharmonisasian serta hubungan diplomatis antar negara, namun seringkali mempraktikkan teatrikal berkedok kepentingan politis. Bagaimana tidak konfrontasi yang dilakukan Rusia ini menimbulkan sanksi bertubi-tubi yang dijatuhkan oleh organisasi PBB ini. Akan tetapi, jikalau menilik konflik yang terjadi misalnya di Palestina yang sudah berpuluh-puluh tahun tidak ada tindakan tegas apapun yang diambil oleh PBB. Ini merupakan wajah asli bagaimana sebuah organisasi dunia bisa menjadi ladang kepentingan politik negara kapitalis barat. Rusia dan Ukraina secara geografis merupakan negara yang berwilayah di Eropa, maka tidak heran jikalau mendapatkan banyak sorotan dari pihak internasional. Hal ini melandasi bahwasanya kekuatan politik negara Eropa sangat diperhitungkan.
Letak Indonesia secara geografis memang jauh dari benua Eropa. Namun Indonesia yang memiliki peran strategis di kancah internasional yakni Indonesia pernah menduduki jabatan sebagai dewan keamanan tidak tetap PBB. Peran Indonesia dalam penanganan konflik memang sudah banyak dilakukan, misalnya saja dalam menengahi konflik Israel dan Palestina, kemudian konflik di Suriah dan konflik di wilayah daratan Afrika. Tugas menjadi dewan keamanan ini tidaklah mudah. Banyak tugas yang harus diemban oleh negara Indonesia sebagai sebuah negara yang ikut serta dalam penyeruan perdamaian. Berikut merupakan tugas dalam dewan keamanan tidak tetap PBB yang Indonesia pernah ikuti : (1) melanjutkan kontribusi pemerintahan Indonesia dalam pembangunan perdamaian atau resolusi konflik dengan cara memperkuat sebuah ekosistem geopolitik dengan mengadakan dialog interaktif penyelesaian konflik secara damai. (2) membangun sinergitas antara negara dan organisasi regional untuk menjaga keamanan dan stabilitas di sebuah kawasan. (3) meningkatkan konsolidasi antara dewan keamanan dengan organisasi dunia PBB untuk memerangi radikalisme, ekstremisme, dan terorisme. (4) penciptaan sinergitas perdamaian dengan menggunakan konsep pembangunan berkelanjutan.
Lalu beralih kepada sebuah dampak yang tidak bisa dielakkan dari terjadinya invasi ini. yang pertama tentunya imbas ekonomi menjadi hal pokok yang terjadi. Bagaimana tidak, invasi Rusia ini otomatis akan meningkatkan harga minyak dunia sehingga pada saat yang sama pasokan di wilayah lokal akan berkurang dan kegiatan ekonomi baik sektoral maupun ekonomi mikro akan terganggu. Kemudian selanjutnya dampak yang dapat terjadi atau dirasakan yakni Indonesia teracam kehilangan pasar di wilayah Eropa. Hal ini mengingat banyak industri lokal seperti batu bara dan kelapa sawit yang memiliki pangsa pasar di Eropa. Lebih lanjut lagi, jikalau invasi ini akan terjadi secara terus menerus dan nantinya tidak ada titik terang dalam proses perundingannya maka akan menimbulkan sebuah anggapan yang normatif bahwa negara dapat menginvasin negara tetangga atas dasar kesamaan etnis. Ini akan berpengaruh besar terhadap keamanan regional terutama wilayah Asia Tenggara yang notabene memiliki keragaman budaya dan etnis.
Menilik sejarah Rusia dan Ukraina
Konflik global Rusia dan Ukraina merupakan konflik terbaru di abad ke 21 ini. Memang kedua negara tampaknya mempunyai rekam jejak sejarah yang kurang harmonis. Rusia sebagai negara adikuasa memiliki banyak sistem persenjataan yang lengkap dan tentunya hal tersebut merupakan keuntungan ketika berhadapan dengan situasi konflik. Dengan wilayah teritorial yang sangat luas membuat Rusia tidak berhenti untuk terus menginvasi negara tetangganya yakni Ukraina.
Jika ingin memahami situasi konflik yang ada, maka kita harus menilik kembali catatan sejarah dari kedua negara ini. Misalnya saja pada masa dinasti Kievan Trus. Sang raja memberikan perintah kepada ajudannya untuk mencarikan agama atau kepercayaan yang dapat dianut oleh rakyatnya. Kemudian selang beberapa saat ajudan tersebut mendatangkan seorang tokoh dari agama Budha, namun agama tersebut mendapat penolakan. Tidak lama setelah itu, ajudan kerajaan kembali memanggil seorang tokoh agama. Kini tokoh agama datang dari Islam. Kembali lagi agama Islam mendapatkan penolakan dari keluarga dan kerajaan Kievan Trus. Alasannya yakni agama islam mengharamkan babi dan alkohol padahal kedua minuman dan makanan tersebut sangat digemari oleh masyarakat kerajaan Kievan Trus.
Pada akhirnya ajudan mendatangkan tokoh selanjutnya yakni seorang pastur yang membawa agama kristen ortodoks. Pengetahuan yang dibangun oleh pastur tersebut berhasil memikat kerajaan dan rakyat Kiev Trus. Salah satu ajaran yang paling menonjol dari agama kristen ortodoks yang dibawa oleh pastur kepada raja Kiev Trus ialah pemahaman dan budaya liberalisasi khas Yunani. Tidak lama kemudian kerajaan dan rakyat Kiev Trus mengamalkan nilai-nilai agama kristen ortodoks dan hampir semua masyarakatnya mengimplementasikan budaya dan konsep pengetahuan bercorak Yunani.
Keganasan paham komunisme era Soviet
Selang beberapa tahun kemudian setelah masifnya pemahaman dan kepercayaan kristen ortodoks, kerajaan Kiev Trus mengalami invasi secara besar-besaran. Dalang utamanya ialah Bangsa Mongol. Invasi ini dilakukan oleh Bangsa Mongol dalam rangka untuk memisahkan pemahaman kerajaan Kiev Trus agar tidak terlalu condong ke arah barat. Invasi ini meninggalkan jejak sejarah yakni terpisahnya Eropa Timur dari dominasi dan pengaruh Eropa Barat termasuk pemahaman liberalisasinya.
Setelah pembahasan mengenai invasi bangsa mongol akhirnya kerajaan Kiev Trus berubah menjadi Uni Soviet dan kemudian mengembangkan pemahaman baru yang cukup berbeda dari banyaknya pandangan dan dominasi negara barat. Ketika itu pemahaman yang banyak diaplikasikan di Uni Soviet ialah pemahaman sosialisme-komunisme. Secara sederhana pemahaman ini berakar kepada pemikiran komunisme Marx dan berupaya untuk mengimplementasikan seluruh gagasan Marx dalam dunia nyata dan material. Pemahaman marxisme menemui praksisnya pada pemerintahan Illich Lenin yang berhasil menggelorakan revolusi Rusia pada tahun 1917. Banyak yang mengatakan bahwa revolusi ini disebut dengan “Revolusi Oktober” atau sering juga disebut sebagai “Revolusi Bolshevik”. Pemerintahan Lenin dan para aktor komunisme lainnya menaruh harapan besar bahwa dengan adanya revolusi ini akan menghantarkan mereka kepada akhir sejarah. Sama seperti yang dikatakan oleh Marx yakni masyarakat komunisme ialah masyarakat yang tidak mempunyai perbedaan di antara mereka semua. Perasaan yang sama dengan manusia lain otomatis akan mereduksi pertentangan di antara mereka. Dengan adanya revolusi ini membuktikan bahwa ramalan Marx menemui kebenarannya. Marx pernah mengatakan bahwa di masa depan kaum buruh akan menemui hidup yang sebenarnya melalui sebuah gerakan sosial yang sering dinamakan revolusi lalu hasilnya ialah jerembab kapitalisme bisa hilang dari realitas sosial mereka. Setelah gerakan revolusi yang dilakukan, manuver cepat dilakukan oleh Lenin. Ia kemudian membentuk pemerintahan diktator yang dikuasai oleh buruh. Pada saat itu ketegangan mulai muncul ketika kebijakan Lenin yang secara brutal mengeksekusi kaum borjuis di Rusia dalam jumlah banyak. Kebijakan ini dilandasi oleh adanya tujuan utama terbentuknya sistem diktator komunisme-sosialisme yakni ingin merebut alat-alat produksi yang dimiliki oleh kaum borjuis, lalu kemudian mendistribusikannya secara merata. Dalam konsep sosiologi politik, praktik banalitas yang dilakukan oleh pemerintahan diktator yang 1 Why Did Russia Invade Ukraine? Understanding the Roots of the War – Bloomberg dibentuk Lenin merepresentasikan teori yang dicetuskan oleh Thomas Hobbes. Ia mengatakan bahwa manusia sejatinya ialah serigala bagi manusia lain, dan mereka tidak bisa hidup dengan tenang tanpa adanya pertentangan atau peperangan.
Terlihat dari catatan historis ini kekuasaan yang terjadi era Uni Soviet merupakan kekuasaan yang diktator dan senantiasa melanggengkan kekerasan sebagai jalan utama dalam penyelesaian masalah. Hal ini terlihat ketika penerus dari Lenin berkuasa. Joseph Stalin merupakan penerus tongkat kekuasaan, Stalin yang masih mempertahankan sistem diktator dalam pemerintahannya. Sebenarnya konsep diktator dalam manifestasi komunismesosialisme sudah melenceng dari apa yang dikatakan oleh Marx. Karena konsep otoritarianisme seperti ini dilangsungkan hanya sementara tidak secara berkesinambungan. Menurut Marx sistem seperti ini tidak akan memberikan perwujudan kesejahteraan bagi semua rakyat.
Pada masa pemerintahan setelah Lenin hanya terjerembab dalam narasi kediktatoran tunggal dan mempunyai kegemaran untuk menghukum. Pada masa pemerintahan Joseph Stalin pertumpahan darah kembali terjadi. Secara kalkulasi hampir 50 juta nyawa rakyat Soviet melayang karena sistem kerja paksa dan krisis kelaparan yang berkepanjangan. Pernyataan yang cukup mencengangkan yang pernah dilontarkan oleh Stalin ialah “Satu orang mati merupakan sebuah tragedi, satu juta orang mati merupakan sebuah statistik.”
Kemudian setelah pendirian negara komunisme Soviet, gerakan revolusi di berbagai belahan Eropa sangat masif terjadi. Banyak negara di kawasan Eropa Timur berpedoman komunisme karena pada masa itu pasukan merah Uni Soviet membantu negara-negara tersebut lepas dari cengkraman Nazi pada perang dunia II. Inilah alasan utama mengapa bangsa Eropa Timur mengamini adanya ideologi atau konsep komunisme. Implementasi ideologi komunisme tidak terlepas dari narasi kekuasaan diktator dengan penguasa partai tunggal. Pemerintahan ini lebih bersifat secara inkuisitif. Keberadaan bangsa komunisme justru kemudian menjadi catatan kelam dimana banyak tragedi kemanusiaan terjadi.
Seperti misalnya statistik pembantaian yang terjadi di negara-negara komunisme. Peristiwa pembantaian di bawah kekuasaan Lenin hampir menewaskan 500.000 rakyat Rusia. Kemudian di bawah pemerintahan Stalin hampir sekitar 50 juta warga Soviet dibantai. Selanjutnya di Kamboja pada masa kekuasaan Mao Tse Tung 2,5 juta warga China meninggal karena dibantai. Inilah representasi kelam dalam sejarah panjang komunisme yang berakar dari ideologi Soviet yang sekarang bercampdiur ke negara Rusia dan Ukraina.
Sosiologi merespon konflik global Rusia-Ukraina
Dari sinilah muncul pertanyaan yang sampai sekarang masih hangat menjadi bahan perbincangan, yakni mengenai akankah perang dunia ketiga terjadi di masa depan? Seperti halnya saat ini, telah terjadi invasi Rusia terjadi di Ukraina. Sosiologi menaruh analisa dalam konsep geopolitik dan narasi konflik. Secara sosiologis invasi terjadi karena pada suatu pemerintahan tidak terjadi kesepakatan antara kedua belah pihak. Kesepakatan yang dimaksud bisa saja dalam konteks kerjasama multi dimensi. Invasi atau peperangan dalam konteks konstruksi sosiologis hadir dalam keadaan salah satu pihak mengalami desakan baik secara internal maupun eksternal. Ini terjadi ketika Rusia menginginkan atau memerintahkan Ukraina agar tidak bergabung dengan Uni Eropa. Rusia takut jika Ukraina berhasil bergabung dengan Uni Eropa dan NATO maka dominasi kekuasaan Rusia akan hilang. Nantinya Ukraina akan menyerang Rusia dengan kekuatan kolektif dunia Barat.
Dalam narasi sosiologi konflik Paul Virilio invasi Rusia atas Ukraina yang meliputi pergerakan kekuatan militer antar kedua negara sebagai manifestasi kecepatan respon. Dalam segi kecepatan respon inilah mesin-mesin berteknologi mendapatkan tempatnya dan mentotalisasi budaya kehidupan. Dalam konstruksi pemikiran Virilio, persinggungan antara Rusia dan Ukraina merupakan upaya Rusia dalam mengalahkan Ukraina dengan power teknologi perangnya yang dapat mengatur ritme kecepatan teknologi tersebut, dan hasilnya inilah yang kemudian dianggap sebagai solusi efektif dan rasional akan tetapi tidak humanis.
Dalam konfrontasi ini, Ukraina juga tidak ingin kalah. Mereka memberikan upaya untuk mempertahankan dan memberikan perlawanan balik dengan penggunaan teknologi dengan kecepatan yang diatur ritmenya. Kemudian dalam narasi sosiologi media misalnya, masifnya pemberitaan yang meliput konflik Rusia dan Ukraina dari berbagai sudut pandang wacana yang silih berganti antara mendukung Rusia dan Ukraina. Disisi lain terjadinya konfrontasi ini tidak lepas dari apa yang disebut Samuel Huntington sebagai clash civilization, yakni pertarungan ideologi barat berpaham liberalisme dan Blok Timur yang berkonsep sosialisme.
Konflik seperti ini dalam retorika berpikir sosiologis menjadi hal yang lumrah. Misalnya dalam kacamata konflik Ralf Dahrendorf seorang sosiolog asal Jerman, konflik yang dilatarbelakangi sebuah kepentingan praksis sangat lazim terjadi. Hal ini tidak terlepas dari dominasi iklim sosial ekonomi yakni kapitalisme. Menurut Ralf Dahrendorf titik tembak konflik yang masih relevan pada masa ini ialah antara mereka yang memiliki kekuasaan dengan mereka yang tidak berkuasa.4 Terjadinya tarik-menarik kepentingan yang dilontarkan oleh masing-masing pihak dalam hubungan sosial perlu adanya insitusi untuk memberikan resolusi konkret.
Referensi
Why Did Russia Invade Ukraine? Understanding the Roots of the War – Bloomberg
Wahyu Budi Nugroho, Memahami Marx, Marxisme dan Perkembangannya, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2019), hal. 124
Paul Virilio, War and Cinema, (London:VERSO, 1989), hal. 68
Wahyu Budi Nugroho, Memahami Marx, Marxisme dan Perkembangannya, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2019), hal. 145