Beranda Mimbar Ide Puasa = Pengendalian Hasrat Kuasa

Puasa = Pengendalian Hasrat Kuasa

0

Oleh : Panji Hartono*

Puasa merupakan inti dari ibadah di bulan Ramadhan. Puasa atau “shoum” berakar kata dari “shiyam” yang bermakna menahan diri. Jika meminjam pendapat Sayyed Hossen Nasr bahwa agama itu berisi doktrin (inti ajaran) dan syariah (metodologi), maka doktrin dari puasa (yang merupakan bagian dari agama) adalah perintah untuk menahan atau mengontrol diri (self controling) dan syariahnya adalah tidak makan, dan minum serta berhubungan intim dalam waktu tertentu.

Jika mengacu pada penuturan kitab Suci Al-Qur’an, perintah puasa merupakan kewajiban yang telah ditetapkan Tuhan tidak hanya untuk umat Muhammad tapi juga untuk umat-umat terdahulu (Al-Baqarah (2) : 183). Bahkan menurut hemat penulis, perintah yang pertama kali diberikan oleh Tuhan kepada Adam (yang diyakini oleh kebanyakan orang sebagai manusia pertama) adalah perintah berpuasa. Berpuasa dalam maknanya “menahan diri” yang disimbolkan dalam Al-Qur’an menahan diri untuk tidak mendekati “pohon khuldi”. (Wa la taqroba hadzihi as-syajarata fa takuna min adz-adzolimin).

Namun sejarah berbicara, kelemahan manusia yang diawali oleh kelemahan Adam dan juga pasangannya (hawa), membuatnya harus tergelincir dari keadaaan “surgawi” karena tidak mampu menahan diri (berpuasa) untuk mendekati pohon tersebut. Dalam penuturan ayat lain (Tha-ha (20) : 120) dijelaskan bahwa ketergelinciran Adam dan hawa dari keadaan “surgawi” itu karena tidak mampu menahan godaan “setan” terhadap “pohon keabadian” dan “kerajaan/kekuasaan” yang tidak binasa. (Hal adulluka ala syajaratul khuldi wa mulkin la yablaa).

Menurut keterangan Muhammad Asad, pohon keabadian dan kerajaan yang tidak binasa merupakan simbol dari tipu daya setan kepada Adam dan hawa berupa keinginan untuk hidup selamanya dan berkuasa tanpa ada batasnya (periodenya). Godaan itulah yang tidak mampu dibendung oleh Adam beserta hawa. Godaan itu kemudian terwarisi oleh keturunannya sehingga muncullah manusia-manusia yang mengira kehidupan dunia ini kekal sehingga disibukkan mengumpulkan pundi-pundi “materi” (Qarun), serta penguasa-penguasa tiranik yang zalim, yang mengira bahwa kekuasaannya kekal dan abadi (Fir’aun).

Perintah Tuhan kepada manusia untuk mampu mengendalikan diri dari hasrat “hidup selamanya” serta “berkuasa tanpa ada batasnya” berorientasi bagi kemaslahatan manusia itu sendiri. Sebab dua hasrat tersebut menyalahi fitrah sekaligus otentisitas manusia. Secara fitrawi manusia adalah makhluk yang suci sekaligus lemah (terbatas). Keterbatasan itulah yang menjadikan manusia mustahil dapat hidup selamanya dan berkuasa seterusnya. Hal itu juga menegaskan bahwa yang Maha-hidup dan yang Maha-kuasa adalah Tuhan bukan manusia.

Fazlur Rahman memberi keterangan dalam bukunya “tema-tema pokok Al-Qur’an”, segala tindakan yang menempatkan manusia di luar dari fitrah dan keaslian dirinya disebut “dzulm”, dari akar kata itulah kita mengenal istilah zalim. Jadi segala tindakan yang melawan fitrah dan keaslian manusia merupakan perbuatan zalim, lebih tepatnya zalim terhadap diri sendiri. Itulah yang tercermin dalam doa Adam dan hawa saat menyadari kesalahannya ” rabbana dzalamna anfusana, wa in lam tagfirlana, la na kunanna min al khasirin”.

Karena hasrat hidup abadi serta hasrat kuasa tiada henti sejatinya bertentangan dengan nilai kemanusiaan, maka salah satu hikmah dari dianjurkannya berpuasa dalam agama adalah menahan diri dari hasrat tersebut. Kemudian alasan diutusnya seorang rasul oleh Tuhan di dunia adalah untuk menegasikan apa yang disebut “tagut”.

Tagut dapat dimaknai sebagai suatu sistem kekuasaan yang menempatkan manusia sebagai penguasa yang dapat menentukan “kebenaran” secara mutlak menurut kehendaknya. Dalam istilah kontemporer, tagut berarti otoritarian, tiranik, despotik dan sejenisnya. Hasrat tiranik dan hasrat otoritarian itulah yang telah menggelincirkan Adam dari keadaan “surgawinya”.

Kekuasaan memang merupakan suatu candu bagi masyarakat, bahkan istri dari Pemimpin besar Republik Rakyat Tiongkok, Mao Zedong pernah berkata bahwa “kekuasaan lebih nikmat daripada seks”. Hal demikian diutarakan karena dalam aktivitas seks, dominasi pikiran dan tubuh manusia hanya berlaku pada satu orang saja dan juga biasanya berlaku di ruang privat, sedangkan kekuasaan mampu mendominasi ribuan bahkan jutaan pikiran dan tubuh manusia, tidak hanya di ruang privat, bahkan sampai ke ruang publik.

Nurcholish Madjid (Cak Nur) dalam buku : Atas Nama Pengalaman, memberikan himbauan untuk berhati-hati dengan penyakit kekuasaan. Dalam buku tersebut Cak Nur menjelaskan bahwa ada 3 jenis penyakit kekuasaan, yaitu : Pre-power Syndrom (penyakit sebelum berkuasa), Post-power Syndrom (penyakit setelah berkuasa) dan inpower Syndrom (penyakit setelah berkuasa).

Pre-power Syndrom biasanya ditandai dengan gejala keaktifan mengkritik penguasa dengan motif ingin merebut dan merasakan kursi kekuasaan. Post-power Syndrom biasanya ditandai dengan gejala yang sama dengan Pre-Power Syndrom yaitu keaktifan mengkritik penguasa, namun motifnya yang berbeda, biasanya motif dari kritik yang dilakukan oleh pengidap penyakit post-power Syndrom adalah untuk cuci tangan dari kesalahan yang dilakukan saat berkuasa.

Sementara penyakit inpower Syndrom sendiri dapat dilihat gejalanya berupa perbedaan sikap antara sebelum dan setelah berkuasa. Dulu sebelum berkuasa perilaku dan ucapannya seperti orang benar, termasuk sangat merakyat. Tetapi setelah berkuasa ia mulai lupa diri, dikritik marah, bahkan mati-matian membela diri dan juga mempertahankan kekuasaannya termasuk dalam hal ini berupaya memperpanjang bahkan melanggengkan kekuasaannya.

Dalam konteks Indonesia sendiri, sebagai negara yang menganut sistem Demokrasi, dijelaskan oleh Cak Nur, yang pemikirannya didokumentasikan oleh Wahyuni Nafis dalam buku : Cak Nur, Sang Guru Bangsa, bahwa alam pemikiran para pendiri bangsa (founding parents) Indonesia, -yang merupakan para “penggila buku” dengan wawasan yang mengglobal-, sangat mengantisipasi terjadinya sistem kekuasaan yang tiranik, despotik dan otoritarian berlaku di Indonesia.

Dengan berbekal wawasan yang luas serta penghayatan yang mendalam terkait kebutuhan bangsa Indonesia, maka para pelopor kenegaraan Indonesia melihat pada sebuah contoh kontemporer yang kondisi sosiologisnya sangat mirip dengan Indonesia, yaitu Amerika Serikat, terutama pada kondisi pluralitas masyarakatnya dan konsep kebangsaannya sedikit banyak diciptakan secara baru, hampir dari titik nol. Karena memandang Amerika sebagai model, maka konsep Indonesia didirikan dengan negara berbentuk republik, berpemerintahan presidensil periodik (yang pertama saat itu setelah Amerika Serikat sendiri), bukan sistem kerajaan ataupun kesultanan (yang berpotensi melahirkan sistem pemerintahan yang otoriter).

Namun, sepertinya sebuah ide ataupun gagasan yang genial tidaklah mudah untuk dipraktikkan semudah menghembuskan kepulan asap rokok. Dalam sejarah perjalanan bangsa ini, kita pernah melawati dua orde kekuasaan yang berujung miris (Orde lama dan Orde baru).

Soekarno yang menjadi representasi era orde baru, di awal-awal kekuasaannya sempat menampakkan citra dirinya sebagai pemimpin negara modern yang Egaliter dengan panggilan “bung Karno”, akan tetapi ketika dia sudah ingin dipanggil bapak dan pemimpin besar, maka yang demikian adalah berwatak feodal, dan benar saja, sikap politik Soekarno yang terkesan otoriter tersebutlah membuat situasi politik kebangsaan kita menjadi tidak stabil dan berujung malapetaka 1965.

Apa yang tergambar pada kepemimpinan bung Karno, itulah yang dianggap miris dan disayangkan oleh Cak Nur karena Soekarno suka dan menikmati disebut “bung” itu hanya artifisial atau hanya sekedar terpengaruh dari apa yang dia baca, menjadi ironi menurut Cak Nur karena Soekarno sering mengkritik orang termasuk sahabatnya sendiri Moh Hatta sebagai “Text book thinker”, sedangkan kenyataannya, justru soekarnolah “Text book thinker” yang paling besar karena tidak mampu menghayati apa yang dia baca. Berbeda dengan Hatta yang mengerti dan menghayati betul arti dari Demokrasi dan itu tercermin dari karyanya “Demokrasi Kita” dan beberapa sikap dan keputusan politiknya.

Sedangkan Soeharto sendiri, diketahui cukup lama berkuasa, selama 32 tahun, dikenal sebagai “bapak pembangunan”. Sayangnya dalam konsep negara bangsa modern atau “Modern Nation State”, Soeharto terbuai dengan godaan “developmentalism”, sehingga sibuk membangun SDM (Sumber Daya Material) atau pembangunan Fisik semata, dan abai untuk membangun SDM (Sumber Daya Manusia) sesuai prinsip negara demokrasi, yaitu adanya kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat (sebagai kebebasan asasi manusia), sehingga segala bentuk kritik yang dilontarkan kepada rezim Soeharto akan dibungkam dan dituduh subversif.

Kegagalan Soeharto dalam menghayati warisan konsep kenegaraan dan kebangsaan yang dicita-citakan oleh pendiri bangsa ini (utamanya tentang kebebasan asasi), berujung malapetaka 1998. Situasi sosial-politik dan sosial-ekonomi yang tidak stabil serta merajalelanya KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme).

Cak Nur dalam tulisannya : Renungan awal tahun tentang reformasi, tahun 2001, menjelaskan bahwa tiadanya kebebasan asasi berarti tiadanya keadilan, sebab dari semua nilai luhur kemanusiaan, keadilan adalah yang paling memerlukan pengawasan umum yang ketat dalam pemaknaan dan pengawasannya.

Bagi Cak Nur, Pemerintahan orde baru telah menjuruskan Indonesia menjadi bangsa yang melawan prinsipnya sendiri, sedangkan sebuah adagium kebangsaan berbunyi : A nation againts its own principles Will never stand (suatu bangsa yang melawan prinsip sendiri, tidak akan dapat berdiri tegak), dan itu terbukti dengan keruntuhan rezim orde baru pada tahun 1998.

Otoritarianisme atau kekuasaan absolut yang dilakukan oleh rezim orde baru yang menghasilkan banyak ekses (dampak negatif) adalah bukti dari sebuah Adagium dari Lord Acton, seorang Guru besar sejarah modern di Universitas Cambriadge, Inggris yang hidup abad-19, Adagium tersebut cukup terkenal yaitu : Power tends to corrupt, and Absolute Power corrupt absolutly (Kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut, cenderung korup secara absolut).

Dua pengalaman berharga yang telah dilalui oleh bangsa ini yaitu era orde lama, dan orde baru dengan kekuasaan absolut serta dampak negatifnya, semestinya menjadi pelajaran penting bagi semua stakeholder negeri ini. Kearifan Prancis mengatakan bahwa sejarah mengulangi dirinya sendiri (I’ Histoire se-repete), dan kearifan selanjutnya mengatakan bahwa sejarah yang buruk akan tercegah dari kemungkinan berulang jika orang mau mengambil pelajaran dari deretan pengalaman masa lampau itu, khususnya pengalaman masyarakat dan bangsanya sendiri.

Bangsa Indonesia setalah memasuki era transisi dari otoritarianisme orde baru memasuki tahap reformasi, semestinya terus melakukan pembenahan dan penyempurnaan menuju sistem demokrasi yang sejati, dan salah satu caranya adalah melalukan investasi demokrasi.

Salah satu investasi demokrasi yang sudah berlaku di Indonesia adalah ditetapkannya batasan periode kepemimpinan seorang presiden dalam konstitusi yaitu 2 kali. Pola yang sama dengan Amerika, setelah mantan presiden Amerika George Washington yang telah terpilih dua kali menjadi presiden menolak untuk dicalonkan kembali (meskipun berpeluang besar) sebagai bentuk dari investasi demokrasi untuk referensi generasi di Amerika yang akan datang.

Olehnya, terlepas dari bisanya konstitusi untuk diamandemen, saya kira wacana dan niatan dari beberapa elit penguasa negeri ini untuk mengamandemen kontitusi agar presiden bisa mencalonkan kembali 3 periode , sama saja dengan tidak menghargai investasi demokrasi yang telah berlaku pada sistem pemerintahan saat ini yang sedang diupakayan menuju sistem demokrasi yang sejati.

Entah motif apa yang melatarbelakangi niatan dan wacana tersebut, yang pasti penambahan periode kekuasaan presiden, hanya akan mengantarkan bangsa ini sedikit demi sedikit kembali pada iklim pemerintahan yang absolut dan otoritarian, berarti kita memang senang untuk mengulangi kesalahan yang sama.

percaya saja, gumpalan persoalan yang dihadapi bangsa ini khususnya soal keadilan sosial dan keadilan ekonomi, tidak akan menemui jalan keluar dan hanya akan menemui labirin gelap bilamana diberlakukan perpanjangan periode jabatan penguasa Negeri ini, sebab “kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan absolut cenderung pada korupsi yang absolut).

Kalaupun motif dari perpanjangan periode jabatan presiden itu didorong oleh nafsu/syahwat kekuasaan yang sulit terkontrol oleh beberapa elit penguasa hari ini, barangkali itu yang menjadi alasan dari teman-teman mahasiswa untuk mengingatkan para elit tersebut tentang hikmah puasa melalui ceramah-ceramah Ramadhan mereka yang akan disampaikan hari ini (11 April 2022) di ruas-ruas jalan.

Ingatkanlan dalam ceramah Ramadhan teman-teman Mahasiswa di jalan, bahwa puasa itu tidak hanya sekedar menahan lapar, minum dan berhubungan seks saja, tetapi juga mesti menahan diri dari nafsu berkuasa, sebab kenikmatan makan, minum, dan seks tidaklah lebih sulit untuk dikendalikan daripada kenikmatan untuk berkuasa!

Entahlah, hanya Tuhan sebaik-baik pemberi Petunjuk

11 April 2022

*) Penulis adalah Demisioner ketua umum HMI komisariat Dakwah dan Komunikasi Cabang Gowa Raya

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT