Beranda Kampus Pak Polisi: Orasi Mahasiswa Bukan Pertunjukan Badut

Pak Polisi: Orasi Mahasiswa Bukan Pertunjukan Badut

0

Oleh : Agus Umar Dani*

Sejarah Mahasiswa Indonesia adalah sejarah intelektual, sejarah pergerakan dan sejarah perlawanan. Sejarah pergerakan ditandai dengan sumbangsi besarnya dalam merawat eksistensinya. Tak bisa dimungkiri, moment diturunknnya Presiden pertama pada tahun 1966, didalamnya ada keterlibatan mahasiswa. Reformasi tahun 1998 juga tak lepas dari sejarah pergerakan mahasiswa Indonesia. Salah satu aktivitas dalam membersamai laju demokrasi adalah merawat Indpendensi gerakannya. Hal ini bisa kita jumpai hampir dalam setiap periodisasi waktu berjalan. Lalu apa permasalahan yang sedang melanda?.

 “Selamat datang di Kota Makassar, Kotanya para Demonstran”, kalimat pembuka dalam buku Yunasri Ridha (Kebebasan Berpendapat dan Berorganisasi), suatu perwujudan konsep dalam gerakan Mahasiswa di Kota makassar. Selain mengajak semua elemen mahasiswa merefleksi gerak dinamisnya, juga meronrong mental para aktivis di kota Makassar untuk senantiasa mengevaluasi sikap kritis dan independensinya.

Sejarah menceritakan kisah apik mahasiswa Makassar dalam geraknya melawan segala bentuk penindasan. Kisah yang paling dekat dan masih terngiang-ngiang di kepala adalah peristiwa September Berdarah, yang terjadi pada tanggal 19 September 2019. Penolakan para aktivis kota Makassar terhadap RUU Cipta Kerja pada saat itu, telah menjadi monumen sejarah yang patut kita apresiasi bersama, bahwa nalar kritis dan independensi gerakan mahasiswa masih terawat dengan baik, meskipun fenomena berdarah tak bisa dihindarkan, bentrokan antara aparat dan para demonstran tak terelakkan.

Para mantan aktivis yang saat ini, yang telah menjadi “Alumni” banyak yang seolah menjungkirbalikkan cita ideal. Unjuk rasa di jalanan dianggapnya sebagai parade konvensional yang sudah usang dan tak relevan. Alternatif receh selalu digaung-gaungkan, seolah solutif padahal membangun narasi untuk melemahkan gerakan. Kultur Audiensi dan berdialog digembar-gemborkan setiap saat, yang pada faktanya, tawaran alternatif itu sama sekali tidak pernah menjumpai mufakat yang diimpikan bersama

Meskipun demikian, kultur Unjuk rasa, bakar ban dan blokade jalan di kota makassar, relevansinya akan terus membersamai laju zaman. Sebab mental sebahagian besar para pemangku kekuasaan tidaklah selembek mental para penguasa di beberapa negara yang gampang tersindir atau punya empati besar, kasarnya, pemangku jabatan di sekeliling kita mesti diteriaki pas di telinga untuk disadarkan, bahkan diteriaki sekalipun kadang-kadang mereka tak menggubris.

Pelecehan Gerakan Mahasiswa

Pada masa Soeharto menjabat sebagai presiden, Militer difungsikan sebagai “Tukang Pukul” negara, ruang-ruang demokrasi begitu sempitnya, tak ada kebebasan yang dirasakan oleh masyarakat. Pemisahan institusi kepolisian dari ABRI adalah upaya para reformis 98. Disertai dengan Tagline “Melayani dan Mengayomi Masyarakat”, hal ini ditujukan agar ada institusi yang betul-betul memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat, yang senantiasa membersamai dan menjadi penyerap aduan oleh masyarakat untuk mendapatkan keadilan.

Menelisik perjalanan sejarah aktivisme 10 tahun terakhir, pengawalan yang layak dari pihak kepolisian hampir tak pernah lagi dirasakan pada saat mereka bertugas untuk mendampingi para demonstran berunjuk rasa di jalanan. Padahal unjuk rasa adalah alarm pengingat, bahwa ada yang sedang gawat dan perlu diinformasikan kepada seluruh masyarakat luas, mestinya pihak kepolisian menjadi pagar betis dan menjadi benteng yang kokoh dalam menjaga barisan para pengunjuk rasa, mencipta rasa aman dan betul-betul mengayomi.

Yang disalahpahami oleh sebahagian besar aparat pengamanan masa kini adalah tidak dijalankannya fungsi dan amanat negara, bahwa menjaga keamanan pengunjuk rasa saat menyampaikan aspirasi adalah prioritas. Saya tidak berkeinginan menclah-mencleh ngutip teori ini dan itu, faktanya, pengalaman empiris memberikan pengalaman yang pahit, aparat selalu saja konfrontasi dan menantang adu fisik, apalagi jika jumlah pengunjuk rasa tidak banyak, potensi  tindakan represif sangat besar.

Dalam beberapa pekan terakhir, menjelang aksi Nasional tanggal 11 april 2022, Aliansi Rakyat Miskin Kota telah lebih dahulu menghelat aksi pada tanggal 7 April 2022 di simpang tiga Jl. Alauddin – Pettarani. Tak menunggu waktu lama, nampak begitu nyata, bagaimana aparat kepolisian membubarkan paksa barisan para massa secara brutal, diserta dengan tindakan represif terhadap salah seorang massa aksi yang berakibat lebam pada bagian wajah dan kepala, ditambah dengan pengrusakan fasilitas aksi, megaphone yang ditendang hingga penyok. Peristiwa demikian menjadi bukti gagalnya pihak kepolisian dalam mencipta rasa aman bagi para pengunjuk rasa.

Sementara itu Listyo Sigit Prabowo selaku Kapolri Jenderal Polisi RI dalam pidatonya tentang komitmen mengawal unjuk rasa nasional pada tanggal 11 April 2022, menyampaikan kalimat-kalimat negasi. Tentang koimtmen pihak kepolisian untuk mengawal para pengunjuk rasa dengan pendekatan yang humanis, dan aktif mengontrol para pengunjuk rasa agar tidak gampang tersusupi. Tentunya harapan tersebut disampaikan kepada seluruh personalia  aparat kepolisian agar menjaminkan keamanan yang utuh untuk masyarakat. Agar isu yang dibawakan oleh para pengunjuk rasa dapat terdsitribusi kepada seluruh masyarakat yang melintas di jalanan, dan dapat didengar oleh pemerintah yang dikritisi.

Pentas kritik

Berkaca pada romantika masa lalu, para pendahulu pra kemerdekaan begitu kreatif dalam melakukan perlawanan. Tan Malaka dkk dan muralnya, Iwan Fals dan Musiknya,  Wiji Tukul dan puisinya, serta beberap tokoh yang secara keseluruhan tak bisa disebutkan. Namun yang harus dipahami adalah menghindarkan pikiran dari keterjebakan romantisme masa lalu, sebab realitas adalah tempat mentasnya para anak muda.

Pelemahan terhadap bentuk kritikan di beberapa tahun terakhir ini betul-betul kita rasakan, tentang bagaimana dinamika industrialisasi musik kritis, industrialisasi kaos oblong dan kuotesnya, dan yang paling “memilukan” adalah terlibatnya intitusi kepolisian dalam upaya menjadikan kritikan sebagai badut sirkus tontonan untuk dicemoh. Kita melihat bagaimana mural yang awal-awal membuat ketar-ketir para penguasa, saat ini dinilai banyak orang hanya sebatas coretan kreativitas para muralis, mural tak lagi sakral sebab dijadikan Event oleh pihak kepolisian. Keterlibatan para muralis dalam event itu menjadi penanda bahwa bentuk perlawanan mural kini tak lagi punya kekuatan besar dalam menginterupsi pemerintah yang tak disiplin.

Hemat saya, keseluruhan dari bentuk kritikan sedang direduksi satu persatu. Ada sekelompok orang yang sedang berusaha menghilangkan nilai moralitas setiap bentuk kritikan. Setelah mural, kini orasi Ilmiah pun dijadikan sebagai event lomba oleh pihak kepolisian. Tak ada satupun alasan yang bisa membenarkan kegiatan itu, pasalnya, setiap bentuk kritik yang dijadikan event tentu saja akan menggerus nilai-nilai yang terkandung didalamnya.

Memperhatikan tema yang diusung oleh kepolisian dalam penyelenggaraan eventnya, nampak seolah sangat pancasilais dan paling paripurna dalam bernegara. “Mempertahankan pancasila sebagai ideologi negara” bagi seorang seniman seklaliber “Presiden Jancukers” adalah kebohongan yang paling nyata. Kritiknya terhadap tema-tema angan seperti ini bukan tanpa alasan, hampir tak ada efek positifnya bagi masyarakat. Demikian kritiknya tentu saja berdasarkan pengalaman empiris yang ia alami  dalam kehidupan kesehariannya.

Pun  jika tema “Mempertahankan pancasila sebagai ideologi negara” terlalu dipaksakan, sasaran yang paling tepat adalah anggota kepolisian sendiri, dengan memberikan penilaian terhadap kinerja anggotanya di lapangan pada saat melakukan pengawalan terhadap massa pengunjuk rasa. Menimbang tupoksi ideal aparat kepolisian dalam mengawal pengunjuk rasa, nampaknya tak banyak dirasakan oleh pengunjuk rasa, bukankah demikian?.

Pernyataan Sikap

1. Pimpinan Cabang IMM Kota Makassar secara tegas menolak berpartisipasi dan tidak akan memenuhi undangan POLRESTABES Makassar dalam Event Lomba Orasi Ilmiah, sebab Unjuk rasa bukan pentas badut sirkus.
2. Mengajak kepada seluruh elemen OKP se-Kota Makassar agar teliti mengkaji setiap event yang dilaksanakan oleh institusi-institusi tertentu, agar tidak terjebak dalam kultur gerakan pragmatis.

*) Penulis adalah Kabid Hikmah Politik dan Kebijakan Publik PC IMM Kota Makassar

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT