Oleh : Wildan Wahid Hasim*
Media sosial digemparkan dengan adanya konten sensitif yang diunggah oleh kanal youtube seorang influencer ternama. Kanal ini memang sering mengundang bintang tamu berkelas, mulai dari pejabat hingga kalangan artis yang memiliki permasalahan sehingga memicu polemik. Influencer ini ialah Dedy Corbuzier, ia mengundang pasangan gay asal Indonesia yang kini sudah menetap bersama pasangan sesama jenisnya di Jerman. Pasangan ini ialah Ragil Mahardika dan Frederik Vollert. Judul yang dipasang oleh Dedy di kanal youtube miliknya ialah “Tutorial Jadi Gay”. Tidak berselang lama setelah video itu diunggah, banyak kalangan yang menentang dan menyayangkan bahwa konten LGBT mendapatkan tempat atau diorbitkan di negara yang notabene merupakan negara penentang gerakan tersebut. Berbagai narasi yang dihadirkan oleh masyarakat terkait adanya konten ini ialah bahwa gerakan LGBT sengaja diberikan ruang agar terjadi kesalahpahaman dan perpecahan ditengah-tengah masyarakat.
Tidak sampai disitu, terdapat beberapa berita yang mengaitkan kejadian ini dengan narasi yang destruktif, yakni Dedy dengan sadar dan penuh keyakinan ia adalah pendukung gerakan LGBT. Lantas hal tersebut sempat membuat gaduh masyarakat terutama di jagad maya. Dedy yang dikenal sebagai seserang yang cukup intelektual atau biasa masyarakat mengenalnya sebagai smart people tak seharusnya menyajikan konten berbau sensitif dan memicu adanya ruang konflik horizontal dan vertikal. Tentunya dengan adanya fenomena ini, banyak kalangan yang berlomba-lomba menyuarakan aspirasinya di media sosial. Platform seperti instagram, twitter, dan lain sebagainya menjadi ajang “perang” argumentasi masyarakat. dalam hal ini, sosiologi sebagai keilmuan yang membedah gejala atau masalah sosial dalam masyarakat tidak tinggal diam dalam mengeja fenomena ini. Lalu bagaimana konsep sosiologis menjelaskan adanya fenomena ini? apakah sosiologi memiliki cara pandang tersendiri dalam menghadirkan wacana seks didalam kajiannya?
Wacana seks dalam konsep Michele Foucault
Kajian sosiologis terkait wacana seks dalam konsep Barat muncul ketika Foucault menciptakan karyanya yang berjudul The History of Sexuality (1980). Dalam karyanya inilah Foucault mencurahkan isi hati dan pikirannya terkait dengan seks. Sebagian besar hidup Foucault nampaknya telah menghadirkan obsesi itu, dan ini tercermin dalam perilaku seksnya. Ia sendiri merupakan penggemar atau penyuka sesama jenis. Hal ini sudah berlangsung bahkan sejak awal dewasa atau masa remaja. Orientasi menyimpang Foucault sebenarnya sudah mengalami proses pengobatan yakni dengan menghadirkan psikiater sebagai lembaga formal yang diperuntukkan untuk mengatasi permasalahan terhadap jiwa. Namun, dalam pengobatan itu terjadi geliat pengetahuan liar yang dikembangkan oleh Foucault untuk mematahkan argumentasi psikiater. Ia mengatakan bahwa psikiater sebagai kekuasaan yang merubah pengetahuan. Menurutnya, seks tidak bisa dijadikan tolok ukur kebenaran dan wacana. Kekuasaan tidak bisa memberikan pembatas untuk seseorang yang memiliki orientasi seks berbeda. Argumentasi Foucault ini kemudian dikuatkan dengan pernyataannya terkait pendiri pemikiran filsafat di zaman Yunani kuno yakni Socrates dan Aristoteles yang juga merupakan homoseksual. Sehingga Foucault menganggap diagnosa psikiater sebagai penyelewengan kekuasaan yang terjadi dan harus segera dihentikan.
Selama perjalanan karir akademiknya yang berpindah dari Eropa ke San Fransisco Amerika Serikat ia juga sering menyempatkan diri datang berkunjung ke perkumpulan homoseksual. Minat dan partisipasinya dalam gerakan dan pengaturan ini merupakan salah satu bagian terpenting dalam perjalanan hidupnya. Bisa dikatakan bahwa Foucault merupakan sososk yang menyukai pemikiran dan wacana ambang batas (ketika seseorang termasuk dirinya secara sengaja menekan pemikirannya hingga mencapai batas hilang). Seks menurut Foucault juga disamakan dengan kematian. Hal ini disebabkan oleh adanya hubungan yang sangat erat antara pengetahuan berbasis intelektual dan penyingkapan diri. Webber juga memiliki sumbangsih dalam karir akademik dan memengaruhi pemikiran Foucault. Webber yang banyak bergerak dalam penelitian berbasis individu menekankan kepada konsep rasionalitas yang beranjak pada tindakan seseorang dalam menyikapi suatu peristiwa. Namun, ketika diadaptasi oleh Foucault, gagasan Weberian yakni rasionalitas individu tidak tercengkram dalam kerangka besi. Artinya tindakan individu tidak bisa berubah menjadi normalisasi dan menciptakan legitimasi dan inilah yang disebut sebagai perlawanan.
Merujuk dalam teori seks yang dihadirkan oleh sosiolog sekaligus filsuf asal Perancis yakni Michel Foucault, negara Indonesia merupakan negara yang memfokuskan diri pada konsep heteroseksual sebagai wacana pengetahuan khususnya yang berasal dari narasi dan konsep religi. Dari bentuk pengetahuan ini kemudian munculah narasi kekuasaan yang kemudian menghalalkan dan menghadirkan kontrol diri melalui jaringan lembaga formal yakni kedokteran, perkawinan, pendidikan, industri alat kontrasepsi, konseling seks dan lain sebagainya. Perwujudan legitimasi kekuasaan inilah yang kemudian menghadirkan pengesahan dan penerapan undang-undang perkawinan, akta lahir, kartu identitas, hukum waris, dan peran secara seksual.
Disisi lain dengan kemunculan kelompok LGBT seperti yang diunggah oleh Dedy Corbuzier melalui kanal youtubenya menurut Foucault merupakan kegagalan perlawanan kaum homoseksual melawan kaum heteroseksual secara tersembunyi. Selain itu, pasangan gay ini secara terus menerus mengkampanyekan gerakan LGBT di negara-negara yang melegalkan wacana pernikahan sesama jenis. Perlawanan dalam konsep Foucauldian ini merupakan bentuk perlawanan yang samar-samar. Hal ini berkaitan dengan gerakannya yang tidak mengatasnamakan kekerasan atau gerakan radikalis yang dilakukan secara terang-terangan. Dalam sebuah perlawanan tanpa adanya kekerasan inilah pasangan homoseksual atau lesbian biasanya mengenakan identitas heteroseksual secara sementara ketika berada di dalam ruang publik. Sementara itu, kaum heteroseksual yang banyak tinggal di negara-negara dengan pengetahuan agama kuat seperti Indonesia selalu memberikan wacana dan transfer pengetahuan melalui medis, psikologi dan norma agama.
Tujuan dari adanya perluasan dan transfer pengetahuan ini ialah agar terjadi pertumbuhan rasionalitas dan rezim kebenaran untuk mengajak kelompok homoseksual menyadari bahwa tindakannya sudah melebihi batas. Gerakan LGBT ini sering disebut sebagai penyakit yang merebak di kalangan individu atau keloompok. Inilah tugas dari kaum heteroseksual yang berusaha untuk menangani penyakit atau gejala sosial didalam lingkupnya kemasyarakatan baik secara harmonis atau menggunakan cara radikal. Wacana dan kekuasaan heteroseksual dalam hal ini bekerja melalui penanaman kesadaran, jadi tidak hanya dalam instrumen penumbuhan rasionalitas saja. Penanaman kesadaran meliputi pandangan secara biologis bahwa kesehatan secara seksual hanya bisa dilakukan oleh dua insan yang berbeda gender yakni laki-laki dan perempuan. Tidak mudah memang jikalau wacana pengetahuan tentang gerakan penyimpangan LGBT dikembangkan dan dibenturkan dengan pemahaman yang mendukung gerakan LGBT.
Konsep barat dalam memandang LGBT
Jika tadi sudah membahas sedikit bagaimana alur teoritik gagasan Foucault dalam memandang seksual terutama orientasi LGBT, sekarang pembahasan akan dialihkan dalam wacana atau konstruksi berpikir budaya Barat dalam memandang gerakan penyuka sesama jenis. Hal fundamental yang harus dihentikan ialah depolitisasi praktik budaya klasik. Dalam pemahaman masyarakat Yunani kuno tidak mengenal adanya istilah homoseksual. Kata homoseksual kemudian diciptakan jauh dari eksistensi budaya Yunani yakni pada tahun 1869 oleh Karoly Benkert. Istilah yang menyebut homoseksual pada masa Yunani kuno ialah afrodisia. Istilah ini disebutkan sebagai istilah cinta namun tidak memandang jenis gendernya. Pada akhirnya, terjadilah perombakan atau transformasi kebudayaan yang disebabkan oleh masifnya pengaruh gerakan kebudayaan Athena sekitar abad ke 4 SM. Pada periode inilah istilah homoseksual kemudian muncul dan berkembang luas.
Banyak kalangan yang akrab dengan istilah “pedagogical pederasty” yang memiliki makna bahwa pria lebih tua menjalin hubungan seksual dengan pria yang lebih muda sebagai sebuah proses pendampingan, baik secara psikologis maupun secara politik. Penekanan dari pemahaman ini ialah adanya labeling bahwa anak laki-laki harus paham dan tumbuh dengan konsep pedagogical pederasty ini. Dalam proses terbentuknya pemahaman ini, terdapat faktor yang tidak kalah penting yakni masyarakat pada masa Yunani Kuno memiliki pemujaan terhadap keindahan. Seorang pria cantik sangat dikejar pada masa itu, terlihat bagaimana Plato dalam dialognya bersama Socrates melirik seorang pemuda tampan
Setelah membahas bagaimana konsep masyarakat Yunani dalam lanskap orientasi seksual dan sejarah singkatnya, kini beralih pada penilikan secara khusus terkait pandangan tokoh Sigmund Freud ahli psikoanalisa yang berasal dari Austria. Dalam karyanya yang berjudul “Three Essays on the Theory of Sexuality” Freud menjelaskan analisanya terkait dengan kecenderungan biologis terhadap perilaku homoseksual. Di dalam karya ini ia juga menyebutkan pengaruh gagasan teori Fliess tentang biseksual konsitusional. Teori ini dipahami sebagai biseksual organik yakni sebagai pengungkapan manusia terhadap perasaan emosionalnya yakni cinta terhadap laki-laki dan perempuan. Konsep biseksual sendiri merupakan salah satu dari tiga klarifikasi utama orientasi seksual, yakni heteroseksual, homoseksual, dan biseksual. Dalam identifikasi seksual, biseksual hadir diantara heteroseksual dan homoseksual. Hal ini merujuk kepada tidak adanya kepastian diri secara terbuka bahwa penganut biseksual menyukai gender tertentu secara mutlak.
Dalam gagasan psikoanalisa, Freud percaya bahwa orientasi seksual individu terjadi ketika seseorang menginjak masa anak-anak. Pada masa ini anak-anak sangat samar dalam menyadari adanya perbedaan tidak hanya pada jenis gender akan tetapi pada objek seksualnya. Sehingga pada masa perkembangan anak, harus terjadi peningkatan pengetahuan yang didorong oleh orang dewasa terkait dengan perbedaan ini. Tujuannya ialah agar tidak adanya benih patologi dalam proses perkembangan anak. Freud juga menjelaskan bahwa terdapat beberapa kriteria atau tahapan perkembangan psikoseksual; (1) Proses narsis yakni proses yang berkaitan dengan diri sendiri. (2) Sama jenis yakni dimana orientasi pada usia anak masih tergolong menyukai dirinya sendiri. (3) Heteroseksual ini merupakan fase terakhir yang beranjak pada masa dewasa. Pemahaman Freud tentang homoseksual bisa terjadi akibat adanya fiksasi pada tahap perkembangan primitif. Penyebab homoseksual dan lesbian ini ialah fiksasi yang berkepanjangan. Hal ini berakibat pada seorang individu dengan gender tertentu mencari objek cinta yang mewakili dirinya sendiri, yang seperti dirinya, dan berkelamin sama dengan dirinya. Pada akhirnya individu ini terhubung dengan romansa seksualitas dengan alat kelaminnya sendiri dalam bentuk individu dengan gender yang sama.
Gerakan LGBT dalam entitas politik islam
LGBT bisa dikatakan menemukan jalannya dan berkembang akibat adanya legitimasi secara global. Legitimasi ini meliputi bagaimana pandangan atau institusi global memberikan ruang terbuka bagi penganut LGBT. Hal ini membuat perkembangan dan mutasi LGBT sangat masif, penyebabnya tidak lain yakni adanya gerakan politik transnasional yang kemudian diamini oleh institusi global. Yang lebih mengherankan ialah, kini banyak negara muslim yang memiliki penduduk dengan orientasi seksual menyimpang. Peristiwa ini bisa jadi akibat kurangnya kesadaran warga masyarakat terhadap patologi sosial yang menghampiri negaranya dan bisa jadi mereka kurang menyadari perlunya tatanan islam untuk menggantikan wacana demokrasi. Perlawanan yang bisa dijadikan rujukan dalam mengatasi permasalahan sosial ini ialah bagaimana pemerintah beserta birokrasinya menutup ruang gerak kelompok dan komunitas ini. Tidak sampai disitu, cara perlawanan yang dicontohkan oleh Nabi perlu dikembangkan dan diimplementasikan secara perlahan.
Lalu bagaimana sebenarnya proses terjadinya degradasi kualitas terhadap pengawasan kelompok LGBT di negara muslim, khususnya Indonesia? Dalam narasi ini, adanya polarisasi yang dikembangkan oleh budaya luar atau biasa disebut sebagai gerakan globalisasi menyumbangkan pengaruh besar. Dalam artian bahwa adanya narasi global dan budaya yang jauh dari nuansa islam mendorong terjadinya ruang yang bisa dimasuki oleh kalangan atau pegiat LGBT. Muaranya ialah gerakan nativisasi kemudian yang disatukan dengan wacana moderasi islam yang secara komperhensif lalu menciptakan geliat dan nuansa sekularisasi bumi nusantara. Nativisasi sendiri bisa dikatakan sebagai sebuah usaha untuk mempersempit ruang gerak suatu agama dalam hal ini ialah islam sebagai katup pengaman dalam pola perilaku sosial. Nativisasi dilakukan dengan metode membangkitkan kembali budaya pra islam atau kolonialisme, lalu pada saat yang sama islam dinobatkan sebagai “komoditas asing” bagi negara. Upaya dalam mengembalikan budaya pra islam kemudian dibenturkan dengan sakralitas dan norma agama islam yang menyebabkan gerakan nativisasi terjadi. Tidak heran bahwa saat ini banyak yang menentang adanya kaidah islam dalam norma kehidupan bermasyarakat. Inilah awal kemunculan dari alienasi agama. Selain gerakan nativisasi ada juga gerakan moderasi islam yang memiliki pandangan sedikit berbeda namun tujuannya sama. Moderasi beragama bisa disebut sebagai sebuah gerakan untuk meminggirkan islam. Nuansa keislaman dan narasi islam diterjemahkan secara personal dan dalam artian sempit.
Pergerakan LGBT di negara yang terdapat dominasi pengetahuan melalui sakralitas agama memang dilarang. Banyak fatwa yang mengatakan hal ini, dan kebanyakan masyarakat mendukung dengan tidak diberikannya ruang bagi penganut LGBT. Pembahasan sosiologis tidak berkutat kepada kebenaran dan kesalahan mutlak, akan tetapi lebih mementingkan adanya persepsi yang membangun untuk pengolahan pengetahuan lebih lanjut. Pembangunan sumber daya manusia yang berkutat pada gerakan politik humanis untuk mengajak masyarakat paham akan perbedaan budaya serta berbahayanya pemujaan berlebih terhadap suatu budaya yang tidak sesuai akan memengaruhi kestabilan sosial.
*) Penulis adalah mahasiswa jurusan Sosiologi Universitas Jember