Beranda Mimbar Ide Cita-cita, Value dan Privilege Orang-Orang Hebat

Cita-cita, Value dan Privilege Orang-Orang Hebat

0

(Sebuah Catatan Perjalanan)

Oleh: Muhammad Nur*

Setelah menginap beberapa hari di rumah teman, saya pun harus memutuskan untuk kembali pulang. Saya sungguh menikmati hari-hari yang amat singkat tersebut, seperti laki-laki paruh baya yang menikmati masa tuanya. Saya diajak berkeliling, di sebuah kota yang sama sekali tak pernah dikunjungi sebelumnya.

Saya seperti orang buta yang kebingungan dengan lingkungan baru yang dikunjungi. Untung saja, seorang teman dapat diandalkan sebagai penunjuk jalan. Gedung-gedung tinggi berdiri kokoh menjulang menengadah langit, jalanan terangkat menjauhi tanah, lalu-lalang kendaraan yang tak ada habisnya, bahkan polusi udara melayang seperti embun di pagi. Takjub dan heran adalah ekspresi saya pertama kali.

Pengalaman yang menakjubkan, bisa melihat sebuah kota yang dulunya hanya bisa dilihat di televisi, kini bisa saya lihat sambil menikmati sarapan pagi.

Setelah berjalan-jalan di tengah megahnya kota, banyak peristiwa yang menyentuh hati. Kerasnya kehidupan di kota, memaksa banyak orang melakukan segala cara untuk bisa bertahan hidup di dalamnya. Barangkali tidak sekeras hidup di desa, atau semi-kota yang sedang ingin menjadi kota; tempat tinggal saya. Daerah ujung pulau Sumbawa, yaitu Kota Bima.

Sekali lagi perjalanan itu bagi saya bagai orang yang akan tenggelam, yang menarik apapun di sekitarnya untuk menyelamatkan dirinya. Seperti seorang yang belum melihat realitas pesat sebuah kota, sedangkan dirinya berasal dari peradaban hijau desa. Di kota ini, banyak dari masyarakat yang memutuskan masuk ke kota itu. Mereka rela menjadi manusia silver, badut, pengamen, bahkan duduk tak berdaya di pinggir jalan, sambil menunggu uluran tangan orang-orang yang merasa kasihan. Seperak atau dua perak koin. Individu-individu desa itu mencoba menjadi apa saja, agar masa depannya cerah dari sebelumnya, atau setidak-tidaknya perut dapat terisi setiap hari oleh tangan ramai sebuah kota. Sebab, malam pun siang tak ada bedanya, semua waktu mesti dihabiskan untuk mencari pencaharian hidup.

Sungguh pemandangan yang sangat jarang saya lihat sebelumnya. Benak bertanya-tanya pada diri saya sendiri. Mengapa mereka harus melakukan pekerjaan seperti itu? Bukankah ini kota yang megah, kota yang segala yang kita butuhkan ada di dalamnya? Sesibuk itukah para pemimpin mereka? Ataukah saya yang salah menilai, bahwa ini hanyalah hal biasa yang tak perlu aku pertanyakan? Atau tidakkah mereka berpikir dua kali jika mesti harus bermigrasi ke kota dibanding desa? Ada semacam jawaban yang saya dengar bahwa semuanya itu dilakukan sebab karena tuntutan hidup. Sekali lagi, kita hidup dipaksa oleh tuntutan. Ternyata manusia dituntut sepanjang hidupnya sendiri oleh realitas yang diciptakannya. Bukankah sebaliknya, mestinya kita yang menentukan standar-standar ekonomi dan sosial kita? Kitalah yang semestinya menakar dan menyaring keinginan-keinginan yang banyak itu, agar kita tidak menderita oleh keinginan-keinginan besar _(great expectations)_ yang kita amini selama ini.

Setelah beberapa detik terdiam, saya keluarkan sedikit uang yang saya punya dari kantong celana. Walau tak seberapa, setidaknya itu bisa menghilangkan kebingungan yang mengganggu pikiran. Sehingga saya bisa lebih dekat memperhatikan situasi kota seperti Semarang ini.

Banyak hal dan pengalaman baru yang didapat di sini. Bukan hanya menikmati megahnya Semarang, tapi juga merenungi perjuangan para orang tua yang tanpa kata lelah berjuang demi anaknya, serta merenungi kehidupan yang akan dijalani ke depannya oleh tiap anak-anak manusia yang telah dipilih untuk dilahirkan ke dunia. Beserta harapan-harapan, dan doa-doa yang dipanjatkan dan usaha-usaha yang diupayakan kepada anak-anak mereka.

Perjalanan saya ke tanah Jawa ini seakan-akan menyisakan dendam. Dendam bahwa ingin sekali saya berusaha membahagiakan sanak famili, bahkan bukan hanya sebatas keluarga, tapi juga demi mereka yang sangat membutuhkan uluran tangan dari kita. Mengkritik saja tak cukup untuk membantu mereka, tapi aksi yang nyata akan lebih bermanfaat. Menjadi pribadi yang lebih baik serta bermanfaat bagi orang banyak.

Tetapi saat ini pikiran saya juga selalu membawa imaji tentang Saudi Arabia, Mesir, begitu juga seperti kota-kota ilmu di Timur Tengah lain. Eropa dan Amerika, hingga Asia. Semuanya cita-cita medium belajar intelektual untuk dapat kuarungi. Seperti gambarannya di televisi dan internet atau media sosial. Negara-negara dan negeri-negeri di atas adalah negara intelektual yang sangat indah. Saya sangat berharap bisa melanjutkan studi saya ke negeri-negeri itu. Agar bisa lebih bermanfaat bagi orang lain dan selain tentu buat saya. Cita-cita yang barangkali akan saya perjuangkan, walaupun jalannya sulit dibanding mereka yang punya privilege.

Berbicara mengenai privilege (keunggulan, hak istimewa) pasti setiap orang tidak selalu memilikinya. Saat ini begitu banyak orang berkata “saya mulai dari nol, hingga sukses seperti sekarang”, nyatanya bapaknya adalah staf di kementerian, pejabat, bahkan kepala daerah, ulama, dan sebagainya.

Saya karena menyukai belajar bahasa Arab, untuk itu saya mesti mengeluarkan uang cukup untuk ikut les dan privat. Uang tidak sepenuhnya berasal dari saya sendiri, pasti dari keluarga juga tentunya. Adalah salah satu pembodohan mengatakan bisa sukses dari nol, namun mendapatkan pasokan, akses dan uang dari yang lain. Padahal jika kita mau jujur tentang hasil dari pencapaian-pencapaian itu, maka kita akan mampu menunjukkan realitas utuh dari tiap pencapaian tertentu yang kita anggap sukses tersebut. Maka jika masyarakat sudah tercerahkan dan mengetahui latar belakang sukses tiap orang, maka anak-anak muda seperti saya dan siapa saja tidak akan mudah apatis, ciut nyali, dan minder melihat kesuksesan orang lain. Sebab, selama ini di imaji kita seolah-olah sukses itu mudah dicapai oleh orang lain namun sulit sekali dicapai oleh diri kita sendiri. Padahal, kita hanya melihat satu sukses yang dicapai oleh orang lain, sedangkan dibalik satu kesuksesan itu terdapat ribuan kegagalan yang dirasakan pahit dan mampu diatasinya.

Dengan uang privat tadi, seperti contoh yang bisa saya berikan, saya niatkan untuk mempermudah dalam mempelajari, menghafalkan, mengamalkan, dan memahami isi Al-Qur’an. Saya bercita-cita mempelajari Qur’an, dan dengannya mampu menyampaikan kebaikan dan kemanfaatan darinya. Sebelumnya, dengan mempelajari bahasa Arab juga akan
memudahkan saya dalam memahami hadis-hadis Nabi Saw, menghafalkan, menjelaskan serta mengamalkannya pun niat itu berikrar. Pun akan lebih khusyuk dalam menjalani ibadah kepada Allah SWT sebab saya serasa berbicara dengan Pencipta dengan bahasa yang sudah saya sendiri tahu maknanya. Dengan ilmu yang saya dapatkan dengan privilege itu akan saya amalkan dan value-nya dapat dibagikan ke orang lain. Begitu pula dengan orang lain, mereka punya cita-cita yang berbeda, value dan perspektif lain tentang sukses. Ada yang menggunakan privilege untuk kesuksesan dengannya mau membuka privilege baru membantu orang lain. Ada pula yang menganggap kesuksesan cukup dinikmati sendiri, keluarga atau orang-orang tertentu saja. Bahkan banyak sudut pandang lain mengenai kesuksesan, privilege, dan kemanfaatan. Tak lupa, penggunaannya.

Kita seharusnya sadar sebetulnya, bahwa tidak ada yang betul-betul tanpa privilege ketika hidup di dunia ini. Karena selalu saja kita butuh orang lain, tidak selalu kebutuhan kita mampu diselesaikan sendiri oleh satu orang.

Tinggal kemudian, privilege itu digunakan sebaik dan seoptimal mungkin atau disia-siakan begitu saja; disia-siakan oleh pengabaian, kepolosan, kebodohan, atau oleh faktor-faktor tak terhitung lainnya. Kunci sukses akhirnya, ada di tangan kita.

Menurut saya, orang-orang hebat itu lebih menunjukkan _low profile_. Mereka yang lebih hebat lagi adalah mereka yang rata-rata keras kepala; silakan lihat sejarah Steve Jobs pendiri Apple, Bill Gates dengan Microsoft-nya, dan lain sebagainya. Mereka adalah orang-orang yang memiliki visi value sendiri dan berani memperjuangkannya, memanfaatkan privilege yang mereka miliki. Ada saatnya kehalusan budi mereka tumbuh, menjaga kemanusiaannya sendiri, yaitu mereka mampu memiliki “dunianya” sendiri, menciptakan peradaban baru bagi yang lain. Namun memang, untuk mewujudkan cita-cita tersebut tidak segampang itu. Di sisi lainnya pula, mewujudkannya tidak melulu mustahil seberat pikiran-pikiran insekur-mu itu.

*) Penulis adalah Aktivis, Putra asal Bima-NTB

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT