Oleh : Muh. Rafliansyah S*
Perempuan dan anak adalah kelompok yang perlu mendapatkan perlindungan. Secara kelembagaan, upaya dalam menjamin perlindungan kepada perempuan dan anak dibuktikan dengan adanya Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) di seluruh wilayah Indonesia termasuk di Kota Makassar. Akan tetapi, kehadiran lembaga ini ternyata belum cukup untuk menjamin pemenuhan hak dan perlindungan kepada perempuan dan anak. Data kekerasan dari Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Kota Makassar, tahun 2015 sebanyak 1.025 kasus, 2016 sebanyak 1.172 kasus, 2017 sebanyak 1.406 kasus, 2018 sebanyak 1.300 kasus, 2019 sebanyak 1.351 kasus dan 1.301 kasus di tahun 2020. Dari data tersebut, memperlihatkan bahwa kasus kekerasan perempuan dan anak masih ditinggi di Kota Makassar
Kekerasan terhadap perempuan dan anak dapat mengakibatkan efek ganda (multiplier effect). Bukan hanya psikologis dan kesehatan individu saja, tetapi juga akan berdampak pada kualitas kesehatan masyarakat pada umumnya. Sutrisminah (2012) dalam Saenab (2021) dalam penelitiannya yang berjudul Dampak kekerasan Istri Dalam Rumah Tangga Terhadap Kesehatan reproduksi menemukan Bahwa kekerasan terhadap perempuan/ istri sebagai korban mempunyai dampak yang meluas antara lain fisik, mental, yaitu stres, trauma, rasa percaya diri dan harga diri yang menurun, mengalami depresi, juga keinginan untuk bunuh diri. Dampaknya bagi anak korban kekerasan adalah anak akan mengalami depresi, berpotensi untuk hidup dengan kekerasan, perilaku kejam pada anak-anak akan lebih tinggi.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah memberikan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten atau Kota. Dalam mencapai target kinerja sasaran strategis, Pemerintah Kota Makassar telah melaksanakan sejumlah program salah satunya Penyediaan dan Pengelolaan Shelter (Rumah Aman).
Program Shelter Warga menjadi program prioritas DP3A Kota Makassar. Shelter merupakan suatu program dalam memberikan pelayanan level bawah pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Berdasarkan informasi yang diperoleh, terdapat 56 Kelurahan yang telah memiliki Shalter Warga dari 153 kelurahan di Kota Makassar, hingga Agustus 2022. Akan tetapi, dari 56 shelter yang terbentuk hanya sedikit yang dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Hal ini sebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya anggaran oprasional yang kurang atau bahkan tidak didapatkan oleh pengelola shelter. Berdasarkan disertasi yang ditulis Saenab (2020) dengan judul “Implementasi Kebijakan Perlindungan Perempuan dan Anak di Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak di Kota Makassar” dimana salah satu informannya Ibu Indah selaku Ketua Shelter Kelurahan Manggala mengatakan bahwa biaya operasional dalam pengelolaan Shelter hanya 1.700.000 per tiga bulan, dimana biaya ini dinilai tidak cukup.
Dari banyaknya shelter yang belum berjalan maksimal, ada satu shelter yang dapat menjalankan fungsi shelter dengan baik, yaitu Shalter Kelurahan Patinggaloang yang diketuai oleh Ibu Eni. Shelter Patinggaloang selalu berupaya untuk memberikan pelayanan yang optimal kepada perempuan dan anak yang memiliki masalah. Agar tetap dapat memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat, Shelter Pattingaloang yang diketua oleh Ibu Eni selalu melakukan koordinasi dengan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi warga Patinggaloang.
Selain menjaga komunikasi dan koordinasi, Eni sebagai Ketua Shelter juga membangun wirausaha dengan membuat produk-produk makanan berbasis potensi lokal sebagai warga pesisir, seperti pengelolaan abon, nugget, bakso, dan sebagainya. Dalam menjalankan usahanya, dia melibatkan masyarakat setempat, khususnya para perempuan pesisir dalam mengelola usahanya. Sebab ia berprinsip untuk membantu orang memerlukan uang sementara anggaran dari pemerintah terbatas. Hasil penjualan wirausaha kemudian digunakan sebagai biaya oprasional pelaksanaan kegiatan di Shelter Patinggaloang. Hal inilah yang membedakan shelter yang dikelola oleh Eni dengan shelter lainnya di Kota Makassar.
Keberhasilan Eni dalam mengelola shelternya patut diberikan apresiasi oleh pemerintah khususnya DP3A. Selain itu, DP3A harus mampu mendorong shelter yang lain untuk dapat mengikuti jejek Shelter Patinggaloang. Jangan sampai, pembentukan shelter di setiap kelurahan hanya menjadi formalitas, membuang-buang anggaran, dan tidak memberikan manfaat khusunya dalam menjawab masalah perlindungan perempuan dan anak di Kota Makassar.
*)Penulis adalah kader Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Keilmuan dan Penalaran Ilmiah (KPI) dan Ketua Umum Humanis FISIP UNHAS