Oleh : Muhammad Syarif Hidayatullah*
Pernahkah engkau lihat, sekuntum bunga yang memasak dan menghidangkan sesedap makanan dan sesejuk-segar minuman?
Ia memasak ketulusan dan kasih sayang untuk tiap kupu-kupu yang datang bertandang.
Ia suguhkan minuman gula sejuk, dan rasanya yang segar kepada tetamu yang datang.
Ia menghamparkan permadani, membuka jendela rumah dari kelopaknya, menghias rumah kuncupnya dengan ornamen berbagai macam warna menggoda nan mempesona.
Ia bercerita, siang menjelang sore tadi, ada ribuan tamu yang mengunjungi rumahku.
Tapi ada seorang anak kecil dan seorang ibu tua yang mengais tempat sampah tanpa sesuap nasi pun yang dapat ditemukan oleh tangan-tangan mulianya.
Seandainya gula-gulaku ini adalah mampu kuberikan seperti makanan manusia, sudah pasti aku akan tersenyum dan menariknya untuk masuk ke dalam kelopakku.
Akan aku ceritakan kepada anak kecil dan si ibu tentang kehidupan kupu-kupu warna-warni, parfum-parfum misik yang kami buat sendiri, dan kicauan burung-burung yang bernyanyi, merayakan situasi hidup apa saja yang dialami.
Seekor burung melepas kicauan, ia terbang mendekati sekuntum bunga.
“Betul, apa yang kau ucapkan bunga. Di bangsa kami, di keluarga hewan; sebetulnya kami tahu kapan pokok-pokok kayu mati, air sungai tak mampu diminum lagi, atau udara-udara hitam sudah bakal menusuk paru kami, menggerogoti.
Kami migrasi, kami juga bersabar, tapi kami tak mampu lebih beruntung seperti manusia.
Sebab manusia seperti kami bisa terbang, dapat menyelam, pun bisa berlari di jalan-jalan yang diciptakan.
Tapi, kami punya nurani. Kalian menyebutnya insting hewani. Padahal pun kami tiada pernah membunuh anak-anak kami sendiri.
Barangkali ada yang terlihat tapi tidak seperti yang kalian lihat.
Jika kami hanya mampu bertahan hidup dengan memakan yang lain, manusia bahkan bisa memakan apa saja tanpa harus punya alasan benar dan mendesak untuk membunuh yang lain.
Tapi kami setiap hari berpesta, kami meminum madu dan cawan-cawan gula. Kami mandi di air pegunungan yang tiada tersentuh apapun kecuali kawan kami tumbuhan dan batu yang menampung jernih. Menampung bening, suci bersih embun-embun dari langit.
Kami beranak pinak, menikmati senja saat perut kami terisi setelah pulang dari pencaharian makanan di pagi.
Pagi kami bernyanyi keluar sarang dalam keadaan perut kosong, sore pulang perut menjadi terisi kembali.
Aku punya sahabat seorang manusia. Hatinya selalu bersih. Matanya memancar tulus, tangannya penuh kebaikan. Mulutnya selalu memilih kata-kata yang baik.
Ia merantau menuju kota, meninggalkan keluarganya di seberang.
Walaupun aku tahu, hatinya adalah kampungnya sendiri. Ia walaupun jauh, namun Di hatinya ada kampungnya sendiri.
Kami juga sahabatnya berada di alam dan cakrawala dunia di hatinya sendiri.
Ia menulis, dan menulis. Tak lupa bekerja, terus bekerja. Hanya untuk hidup seribu tahun lagi. Entah apa yang ia inginkan untuk hidup lama seperti tanpa waktu.
Pernah suatu hari, aku bertanya untuk apakah hidup seribu tahun lagi, padahal dunia ini fana walaupun silau terlihat berarti?
Ia mendekatiku, mengubungkan hatinya dengan sanubariku.
Ia kemudian berbisik “Kita harus bertani di dunia ini, walaupun dengan rintangan juga kesulitan. Sebab, jalan-jalan langit akan terbuka, malaikat-malaikat akan menaburkan parfum maha wangi tiada tanding, dan membakar dupa demi dupa dalam hening. Iringan kedatangan mereka penuh suka cita. Mereka kan menjemput kita, suatu hari.”
Sebelum itu tiba, persiapkan yang ada. Mintalah seluruh bunga di dunia membuat minuman-minuman gula, buat rumah-rumah terbuka. Agar semua orang bergembira, saling bekerja sama dengan hati tulus mulia. Karena tak ada yang tahu kapan diri kita meninggalkan dunia. Biarkan hidup kita keras, tapi ada yang dinikmati. Daripada berleha-leha tapi tak ada yang bisa dipetik-nikmati. Namun hidup tiada pernah suka selalu, tak pernah duka selalu. Seperti hujan ada redanya, pagi kan datang berganti menjadi malam nyala.”
Seperti perempuan tidak menyukai sebetulnya pria kaya, pria tampan, atau bahkan seorang penyair, dia mengingimkan pria yang memahami matanya saat sedang bersedih, dan menunjuk ke dada seraya berkata: “di sini rumahmu.” sebut Nizar Qabbani yang dikutip olehnya. Maka ketika seorang manusia mampu memahami silauan taman-taman bunga atau guncangan badai di mata orang lain, maka ia akan mampu melihat makna penciptaan di balik realitas sekeliling yang ia hidup di dalamnya.
Pohon songga yang dikenal di pegunungan Bima, NTB mengirim sinyal kepadaku tempo hari: “Aku mencintai kepahitan, yang kebanyakan tidak disukai manusia. Padahal dalam pahit dan derita ada obat, juga sungai-sungai makna. Bunga, aku dikenal di sini penuh manfaat oleh manusia Bima. Tubuhku pahit terasa, kulitku, batang, akar, daun dan semuanya.
“Aku songga, lebih menyukai pahit. Karena diriku adalah pahit itu sendiri. Telah banyak aku jumpai manusia itu memahitkan hidup saudaranya yang lain. Tapi, aku juga lebih banyak melihat mereka yang menyembuhkan saudaranya dengan sesuatu yang manis, bahkan sebetulnya menyembuhkan dengan yang pedih.”
Itu yang ia ceritakan kepadaku. Sahabat manusiaku itu sungguh mulia. Olehnya, aku mendoakannya dan mencintainya. Walaupun aku seekor burung, bersaman kawanku sekuntum bunga, dan seluruh sahabat kami dari tumbuhan dan hewan lainnya. Namun, kami mencintai manusia berhati. Dan punya wujud nurani.
*) Penulis adalah Penulis, Educator, sekaligus Direktur Eksekutif Salaja Pustaka Institute