Beranda Mimbar Ide Mempertanyakan Profesionalitas KPK

Mempertanyakan Profesionalitas KPK

0

Penulis : Furqan Jurdi *

Skandal dugaan jual beli perkara dan suap di Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI) beberapa waktu lalu cukup menggemparkan. Beberapa pegawai, hakim Agung dan Panitera di tangkap setelah peristiwa Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK pada Kamis 22 September 2022.

Dalam rangkaian OTT itu KPK menetapkan 10 (sepuluh) orang dengan latar belakang yang berbeda sebagai tersangka. Mereka  yang ditetapkan tersangka itu  adalah pengacara, pihak swasta, pegawai MA dan Hakim Agung.

OTT suap “jual beli perkara” dalam kasus suap pengurusan kasasi Koperasi Simpan Pinjam Intidana itu menjadi babak pertama KPK mulai memasuki Gedung MA. Tidak berhenti di 10 orang itu, KPK masih menetapkan beberapa orang yaitu Hakim Yustisia MA, Sekretasi Mahkamah Agung dan pihak swasta. Sehingga keseluruhan tersangka dari rangkaian kasus itu mencapai 17 orang.

Dalam pengembangan kasus tersebut KPK memperlebar “jual beli perkara” atau dalam istilah hukum disebut “yaitu hakim yang secara Bersama-sama memberi dan atau menerima hadiah atau janji terkait penanganan perkara di Mahkamah Agung RI”. Yang disidik pada dasarnya adalah kasus suap Kasasi KSP Intidana, namun merambat ke Kasus Suap pengurusan Perkara Yayasan Rumah Sakit Sandi Karsa Makassar.

Pengembangan dari kasus suap KSP Intidana ke Yayasan RS Sandi Karsa menurut hemat saya adalah dua objek yang berbeda. dan kualitas keterangan dari tersangka kasus suap KSP Intidana untuk menjerat orang dalam kasus yang lain, secara prosedur tentu salah. Sebuah kasus yang disidik harus ada dua alat bukti, alat bukti itu harus berkaitan dengan kasus tersebut.

Dalam kasus suap hakim MA, pada awalnya adalah operasi tangkap tangan terkait suap pengurusan perkara kasasi KSP Intidana. Seorang pegawai Mahkamah Agung yang ditetapkan tersangka kemudian memberikan kesaksian didepan penyidik. kesaksian yang bersangkutan sebagai tersangka untuk dirinya sendiri. apalagi kesaksian tersebut hanya berdiri sendiri tidak berkaitan dengan yang lain.

Sebagaimana pemberitan media yang beredar luas dapat dijadikan contoh konkrit. Salah satu contoh konkrit yaitu kasus suap Yayasan Rumah Sakit Sandi Karsa, KPK hanya mendengarkan keterangan Albasri (seorang pegawai MA) tersangka kasus korupsi pengurusan perkara KSP intidana untuk menjerat panitera yang juga Hakim Yustisia di MA, Edy Wibowo menerima uang hadiah atau janji dalam pengurusan perkara Kasasi Yayasan Rumah Sakit Sandi Karsa Makassar. Tetapi Edy ditetapkan tersangka oleh KPK tanpa ada alat bukti pendukung lainnya, selain dari penyataan Albasri yang berdiri sendiri itu.

Dalam hukum pidana, kesaksian yang berdiri sendiri seperti itu tidak dapat dijadikan sebagai barang/alat bukti untuk menjerat orang lain, apalagi penyataan tersebut dikeluarkan oleh seorang terdakwa yang kualifikasinya masih diragukan. Barang bukti maupun alat bukti dalam kasus ini tidak ditemukan sebagai alat bukti yang kualifikasinya sah menurut hukum acara pidana.

Padahal seorang ditetapkan tersangka menurut putusan Mahkamah Konstitusi minimal dua alat bukti (kalau tidak dikatakan wajib) harus terpenuhi disertai dengan pemanggilan calon tersangka untuk diperiksa oleh penyidik (kecuali tersangka OTT). Hal ini tidak terjadi dalam perkara yang menjerat hakim dan pegawai Mahkamah Agung itu, sehingga kasus ini terkesan dipaksakan untuk menjadi “skandal jual beli perakara” di MA.

Contoh konkrit lainnya, yaitu kasus yang menjerat pihak swasta, yaitu Dadan Tri Yudianto, seorang pengusaha karena diduga memberikan uang kepada tersangka dikaitkan dalam kasus “skandal jual beli perkara tersebut”.

Bahkan lebih jauh lagi, KPK menyita barang milik tersangka yang Sebagian besar tidak memiliki hubungan dengan kasus yang dituduhkan kepadanya. Terkesan cara KPK memberantas korupsi telah melampaui hukum dan hak-hak asasi manusia.

Penulis mengambil contoh terhadap kasus terbaru sebagai pengingat kita, bahwa cara KPK menegakkan hukum belum sepenuhnya berubah setelah perubahan UU KPK. Mereka menggunakan cara lama untuk menjerat dan membuat kasus seakan-akan nyata.

Setiap Orang Harus Dianggap Bersalah

Dalam hukum acara pidana Indonesia, kita mengenal asal presumption of innoncent (asas praduga tidak bersalah) dan asas presumption of guilt (asas praduga bersalah). Keduanya memiliki arti yang berbeda meskipun tidak saling menegasikan.

Dalam perkara korupsi seperti yang terjadi di MA, bisa digunakan asas praduga tidak bersalah, bisa juga menggunakan asas praduga bersalah. Dalam konteks ini muncul dua cloter kasus yang menjerat hakim, pegawai MA dan pihak swasta dan juga pengaca itu.

Pertama, bagi mereka yang tertangkap tangan, atau di OTT oleh KPK mereka boleh disematkan asas praduga bersalah, karena sifat perbuatanya faktual. Keduabagi mereka yang disebut Namanya oleh tersangka yang di OTT KPK itu bisa diklasifikasikan dalam asas praduga tidak bersalah. secara legal formal asas praduga tidak bersalah mewajibkan kepada penuntut umum untuk membuktikan orang itu bersalah.

Tetapi proses hukum di KPK selalu dimulai dari asas presumption of guilt, karena semua orang yang diduga (bukan diduga keras karena OTT) melakukan tindak pidana korupsi harus dianggap telah melakukan korupsi. Untuk merusak nama dan citra orang tersebut, KPK mulai membangun opini melalui media massa dengan massif, sehingga orang yang ditetapkan tersangka dihancurkan moralnya dan tidak berdaya lagi dihadapan “penghakiman opini” dari KPK.

Lebih buruknya, bagi KPK, siapapun yang disebutkan Namanya oleh tersangka kasus korupsi maka dia juga ikut serta melakukan Tindakan korupsi, tanpa melakukan klarifikasi dan pemanggilan terlebih dahulu sebagai calon tersangka. Cara kerja seperti ini mirip LSM yang mencari-cari kasus.

Prosedur KPK Melenceng dari Hukum Acara

KPK itu seperti kerajaan tersendiri di negara ini dalam memberantas korupsi. Ada Standar Operational Prossedur (SOP) yang dimilikinya secara terbatas dan tidak terpublikasi untuk umum. SOP sebagai “Kitab Sendiri” bagi KPK, sehingga dia menyembunyikannya dari khayalak ramai.

Padahal kerja KPK itu menyangkut hukum publik dan berkaitan dengan nasib orang, tetapi standar kerjanya dibuat sendiri dan tertutup. Kelembagaan yang seperti ini hanya ada di negara otoriter, tidak di negara demokrasi.

Kenapa KPK tidak mempublikasikan SOPnya sebagai bahan bacaan dan kajian publik? Semenjak KPK berdiri, SOP ini tidak pernah diberikan kepada siapapun dan dijadikan sebagai standar sendiri untuk menjerat siapa saja.

SOP itu penting menjadi konsumsi publik, karena menyangkut nasib warga negara dihadapan hukum. Sebab siapapun yang ditetapkan tersangka ia akan berhadapan dengan negaranya sendiri, dan negara dengan kekuasaannya bisa bertindak sewenang-wenang.

Bahkan dalam beberapa kasus, KPK melenceng dari Hukum Acara Pidana dalam melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi. Seperti misalnya menghadirkan “sekurang-kurangnya dua alat bukti” dan mendengarkan keterangan calon tersangka.

Karut Marut Kerja KPK

KPK dibentuk sebagai Lembaga yang berfungsi sebagai trigger mechanism dari Lembaga negara inti seperti kepolisian dan kerjaksaan. Maka dalam sistem ketatanegaraan KPK itu berkedudukan sebagai Lembaga negara bantu (auxiliary state organ). Sebagai Lembaga negara bantu tentu dia dilengkapi dengan wewenang, tugas, dan fungsi sebagai Lembaga negara. Maka oleh UU KPK, tugas KPK dalam memberantas korupsi dibatasi berwenangnya dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi.

Wewenang KPK hanya mengusut korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara; mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Karena itu KPK tidak hanya asalasalan melakukan penyelidikan terhadap kasus korupsi.

Pada akhirnya penulis berpendapat, dari semua karut-marut pemberantasan korupsi di KPK secara aktivisme hukum penulis menganggap bahwa prosedur KPK itu tidak menjunjung tinggi due process of law. Due process of law dalam sistem peradilan pidana harus menghormati prosedur dan substansi perlindungan terhadap individu.

Setiap prosedur dalam due process menguji dua hal, yaitu: (1) apakah penyidik dan penuntut umum menghilangkan kehidupan, kebebasan, dan hak milik tersangka tanpa prosedur; (2) jika menggunakan prosedur apakah prosedur yang ditempuh sudah sesuai dengan due process. Kerja KPK melenceng dari due process itu.

Tapi sayangnya, Pengadilan sebagai Lembaga yang diharapkan oleh para pencari keadilan selalu mengikuti irama KPK dalam memberikan keputusan akhir bagi mereka yang didakwa dihadapan persidangan.

Seharusnya pengadilan (hakim) harus menggali dan menemukan bukti yang sesuai dengan hukum dan keyakinan hakim itu sendiri. tetapi dalam perkara korupsi kayaknya keyakinan hakim selalu digiring untuk meyakini orang yang di bawa oleh KPK harus dinyatakan bersalah. Sekian.

*) Penulis adalah Ketua Pemuda Madani dan Aktivis Muda Muhammadiyah

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT