Oleh: Z. Moh. Radhi Al-Hafiedz IT.a*
Baru baru ini saya mendengar seorang pekerja kreatif yang mengatakan “sebat (merokok) dulu aah, sekalian cari inspirasi”. Saat itu saya belum sadar karena fokus dengan pekerjaan sendiri. Selang beberapa menit saya tiba-tiba berpikir tentang ucapan orang tadi dan kemudian batin saya berucap “kurang kah inspirasi atau ide yang bisa diulik dari masifnya perkembangan teknologi saat ini?.” Harusnya sih lebih besar dan mudah didapat, apalagi Artificial Intelligence (kecerdasan buatan) sudah berkembang pesat (bagi yang membutuhkannya, dan kita sudah masuk di dalamnya).
Tidak berhenti di situ, hal yang kedua muncul dalam pikiran saya ialah “ataukah sekadar basa-basi agar supaya bisa istirahat?,” pertanyaanku berkelebat.
Dari hal tersebut saya bisa sedikit menarik kesimpulan, keinginan untuk menghisap beberapa rokok hanya karena dampak dari kandungan rokok tersebut. Apalagi yang memang jika seseorang itu sudah sejak dulu sebagai perokok, tentunya tidak mudah untuk berhenti (kata orang-orang perokok).
Ada juga sih yang pernah bilang “duh, stres banget nih, pusing juga karena blablabla”. Ada yang stres karena dibenturkan banyak masalah sampai mungkin jatuh sejatuh-jatuhnya (dalam versi sistem stresnya masing-masing secara psikologis dan fisiologis) dan pada akhirnya memutuskan untuk merokok. Yah, urusan itu saya tidak salahkan sih apalagi berhubungan dengan kondisi psikologi dan fisiologi seseorang.
Dari beberapa soal tadi, saya teringat teori Albert Bandura tentang kognitif sosial, dimana sikap atau karakter seseorang berdampak dari budaya sosial (modeling). Sedikit tentang latar belakang teori ini, jadi si Bandura nih menemukan teori modeling yang menjelaskan karakter atau sikap seseorang diakibatkan oleh interaksi sosial atau budaya lingkungan. Atau pembelajaran apa saja bisa diperoleh dari mencontoh suatu tindakan. Termasuk seperti kegiatan individu mencari inspirasi dari kegiatan sebat, atau seseorang merokok karena “ingin” menghilangkan stres.
Dari kedua hal tersebut, jika seseorang yang memiliki lingkungan atau budaya yang notabenenya perokok. Awalnya orang itu tidak pernah menghisap batang rokok sedikitpun, tapi karena ada sosok modeling (perokok) bisa jadi berdampak pada orang tadi perokok pasif sehingga menjadi perokok aktif. Atau yang tidak pernah sama sekali menghisap rokok, akhirnya menjadi atlet penghisap yang ulung.
In my point of view, saya tidak menyalahkan individu atau siapapun yang bermain dengan batang rokoknya, pun saya tidak mengatakan merokok adalah hal yang benar atau dijadikan solusi dari sebuah problem (disclaimer yah wkwk)
Mereka yang kelahiran 90-an dan para senior di atasnya, saya bisa mengatakan itu “hal wajar.” Ketika seseorang merokok dengan alasan sedang mencari inspirasi karena keterbatasan sumber daya (apalagi ditambah dengan teori modeling tadi), tapi untuk sekarang tentunya berbeda dong. Untuk kalian yang lahir sejak tahun 2000-an ingin merokok sambil mengatakan “cari inspirasi dulu”, mending kalian belajar teknologi dek, jangan manja, jangan jadikan pemuda tahun 90-an menjadi modeling-mu.
Untuk yang merokok demi mendapatkan ketenangan atau relaksasi, saya mencoba untuk tidak mengomentari hal tersebut apalagi sampai menyentuh tingkat stres seseorang. Saya hanya ingin menyarankan, cobalah belajar meditasi, perbanyak ibadah atau ikut majelis, paling tidak perbaikilah lingkungan yang tidak memberikan solusi atas masalahmu. Mungkin saja kamu belum pernah merasakan bagaimana sujud (yang diresapi) bisa lebih menenang-tentramkan jiwa dan hati. Cobalah untuk setidak-tidaknya, tidak merokok di dekat orang yang tidak merokok.
Kemudian cobalah untuk menahan diri untuk tidak merayu agar orang lain merokok lewat tindakan kita yang merokok.
Sebab jika sering berada di lingkungan para perokok toxic yang mengatakan “cobalah dulu isap rokok ini, sedikit membuatmu lebih tenang”, in the end sangat dikhawatirkan kamu bakalan merokok. Maka masuklah kita menjadi golongan para ahlul (bait) hisap.
Ada juga yang merokok karena mau dibilang keren, ngikut tren, bisa dibilang kegagalan berpikir sih. Hehe.
Kasus tertinggi sih memang seseorang mulai merokok di masa labil, cara berpikir memang belum matang. Tapi untuk yang sudah merasa dewasa terus mencoba merokok, plis lah. Jangan banyak gaya! Banyakin mandiri saja. Mandiri dalam berpikir sehat dan mandiri dalam mental. Sehingga anda akan bisa terus mandiri, bri, bca, dan bni.
Hal yang bisa kita ambil dari kasus ini adalah, sebagai orang dewasa, jangan jadi modeling yang toxic bagi siapapun apalagi generasi selanjutnya. Sebagai individu yang memang dibenturkan oleh problem, cobalah berbicara pada orang yang tepat, banyak-banyak melakukan kegiatan yang bisa merefresh jiwa pun batin. Berteman pun boleh dengan siapapun, tapi menjaga environment juga sangat penting. Dewasa dalam berpikir dan bertindak.
Sebab, lingkungan sosial dalam hidup itu tidak terhindarkan. Namun, kita bisa memilih dan saling mengerti lingkungan mesti setara dan nyaman untuk semua. Nyaman untuk kehidupan yang lebih luhur dan baik.
*) Penulis adalah Pengamat, Freelancer, Content Creator