Oleh : Agus Pratama Saputra*
Musyawarah Mahasiswa Universitas Hasanuddin (Unhas) memasuki babak baru dengan munculnya pertanyaan kritis, “Milik Siapa?” yang merujuk pada kepemilikan identitas mahasiswa. Polemik ini menciptakan dinamika tersendiri di antara para mahasiswa, dengan beberapa pihak berpendapat bahwa identitas mahasiswa seharusnya dimiliki oleh mahasiswa sendiri untuk memperkuat otonomi dan eksistensi mereka. Di sisi lain, terdapat pandangan yang menegaskan bahwa universitas memiliki peran sentral dalam menetapkan dan mengelola identitas mahasiswa sebagai bagian integral dari lembaga pendidikan.
Perdebatan semakin kompleks dengan munculnya argumen-argumen yang beragam, seperti kontribusi mahasiswa terhadap identitas universitas dan sejauh mana otonomi mahasiswa dapat diterapkan dalam hal ini. Para pihak terlibat dalam musyawarah berusaha mencapai kesepakatan yang memuaskan untuk menyelesaikan ketidakpastian mengenai kepemilikan identitas mahasiswa, dengan tujuan akhir menciptakan lingkungan pendidikan yang seimbang dan mendukung perkembangan mahasiswa sebagai individu yang mandiri dan berdaya.
Musyawarah Mahasiswa Universitas Hasanuddin dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) menjadi dua entitas yang mendapat sorotan intens dalam pertanyaan tentang kepemilikan identitas mahasiswa. Perdebatan mencuat seiring dipertanyakannya urgensi BEM dan musyawarah mahasiswa, dengan beberapa pihak mempertanyakan sejauh mana peran keduanya dalam mewakili serta melindungi hak dan identitas mahasiswa. Adakah BEM dan musyawarah mahasiswa berfungsi sebagai wadah partisipasi mahasiswa yang efektif, ataukah mereka menjadi semacam kendaraan politik yang terkadang jauh dari kepentingan sebenarnya?
Pertanyaan mengenai urgensi BEM dan musyawarah mahasiswa menciptakan refleksi mendalam terkait peran keduanya dalam memberdayakan mahasiswa, memperjuangkan hak-hak mereka, dan menciptakan lingkungan kampus yang inklusif. Pihak-pihak yang terlibat dalam diskusi ini berusaha menemukan titik temu untuk merumuskan langkah-langkah yang konstruktif guna memastikan bahwa BEM dan musyawarah mahasiswa benar-benar berperan sebagai wakil yang efektif dan memenuhi tujuan utama mereka dalam mengadvokasi kepentingan mahasiswa.
Harapannya, melalui refleksi kritis terhadap peran BEM dan musyawarah mahasiswa, dapatlah muncul langkah-langkah konkret yang mengoptimalkan perannya dalam mendukung mahasiswa. Diinginkan agar BEM dan musyawarah mahasiswa bukan hanya menjadi wadah seremonial, tetapi juga menjadi motor perubahan yang mampu menggambarkan dan memperjuangkan aspirasi mahasiswa secara efektif. Dengan begitu, diharapkan mampu terciptanya suasana kampus yang inklusif, memberdayakan, dan merangsang pertumbuhan intelektual serta sosial mahasiswa.
*) Penulis adalah mahasiswa FISIP Unhas