Oleh : Dr. Safrin Salam, S.H., M.H.*
Permasalahan kasus pertanahan di Indonesia hampir semua terjadi di daerah Indonesia. Beberapa diantara berkaitan dengan sengketa kepemilikan tanah. Dalam konteks kepemilikan tanah, sengketa muncul didahului dengan adanya saling klaim pemilik tanah. Klaim kepemilikan tanah biasanya berasal dari perseturuan antara pemilik tanah yang memiliki bukti kepemilikan tanah berupa sertifikat dan pemilik tanah yang mengklaim tanah telah dikuasai secara turun temurun. Pihak yang berkasus tanah juga saling memperhadapkan antara masyarakat dan pemerintah juga swasta dalam konteks pengelolaan dan pemanfaatan tanah. Hal ini dibuktikan dengan adanya Laporan Konsorsium Pembaruan Agraria Tahun 2023 menunjukan bahwa terdapat 241 Letusan Konflik Agraria dengan total luas areal konflik sebesar 638.188 dan korban yang ter dampak sebesar 135.608 dan sebanyak 346 desa terdampak.
Luas konflik agraria pada tahun 2023 menunjukan bahwa adanya permasalahan kasus pertanahan yang tidak tertangani dengan baik dan benar dari akar permasalahan dari adanya kasus pertanahan. Sektor-sektor yang masih menjadi primadona menyumbangkan konflik agraria adalah pada sektor perkebunan, properti, pertambangan dan infrastruktur. Padahal jika ditelisik dalam penyelesaian kasus pertanahan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia telah menerbitkan aturan hukum terkait penyelesaian kasus pertanahan yakni Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2020 Tentang Penanganan dan Penyelesaian Kasus Pertanahan (selanjutnya disebut dengan Permen ATR/KBPN No. 21 Tahun 2020).
Secara substansi Permen ATR/KBPN No. 21 Tahun 2020 berisi tentang prosedur penanganan penyelesaian kasus pertanahan, Penyelesaian Kasus adalah keputusan yang diambil terhadap kasus sebagai tindak lanjut dari Penanganan yang dilakukan oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional, Kantor Pertanahan sesuai kewenangannya (Pasal 1 poin 12 Permen ATR/KBPN No. 21 Tahun 2020). Definisi ini menunjukan bahwa Permen ATR/KBPN No. 21 Tahun 2020 mengatur manajemen penyelesaian kasus pertanahan dalam bentuk pembatalan produk hukum yang dibuat oleh kementerian terkait. Solusi yang ditawarkan oleh Permen ATR/KBPN No. 21 Tahun 2020 menunjukkan bahwa tawaran penyelesaian kasus pertanahan dengan pembatalan produk hukum belum menyelesaikan akar masalah dari pertanahan. Solusi yang ditawarkan pada hal pembatalan produk hukum adalah jalan pintas yang secara hukum justru mengambilalih kewenangan dari peradilan tata usaha negara. Padahal solusi yang ditawarkan dalam Permen ATR/KBPN No. 21 Tahun 2020 secara teoriti tidak menyelesaikan akar masalah dari konflik pertanahan. Hal ini ditunjukkan makin besarnya konflik pertanahan sebagaiamana yang disebutkan pada data sebelumnya.
Belenggu Warisan Domeinverklaring
Domeinverklaring adalah pernyataan domein yang mengatur bahwa “Barang siapa yang tidak memiliki tanah atas hak eigendom, maka tanah tersebut akan menjadi milik negara”. Pernyataan Domeinverklaring ini mengandung makna bahwa tanah yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya secara tertulis akan menjadi milik negara. Pernyataan Domeinverklaring ini masih menjadi jiwa hukum dari pembentukan peraturan perundang-undangan dan praktek administrasi pengelolaan pertanahan. Dalam praktek Domeinverklaring, warga negara yang tidak dapat membuktikan kepemilikan atas tanahnya maka secara hukum akan menjadi milik negara. Padahal dalam konteks budaya hukum, pengelolaan tanah di Indonesia memiliki beberapa jenis yakni hak atas tanah dan hak ulayat. 2 jenis hak ini diatur secara jelas didalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang peraturan-peraturan dasar pokok agraria (selanjutnya disebut UUPA).
Keberadaan hak ulayat sebagai hak mengelola tanah ulayat masyarakat hukum adat merupakan sebuah realitas hukum yang secara turun temurun keberadaan diakui dan dilindungi oleh pemerintah Indonesia. Dengan demikian, keberadaan Domeinverklaring sebagai akar masalah dari munculnya konflik dan berdampak pada kronik dan rumitnya penyelesaian konflik tanah yang hanya dilihat pada aspek represif saja sehingga berakibat makin tinggi konflik pertanahan di Indonesia. Tinggi konflik pertanahan ini membuat Reforma Agraria sebagai amanah Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 menjadi terhambat.
Permen ATR/KBPN No. 21 Tahun 2020 yang diharapkan dapat menyelesaikan setidaknya mengurangi angka konflik agraria justru belum efektif. Hal ini didasari atas dasar pendekatan penyelesaian konflik pertanahan yang cenderung tidak menggunakan pendekatan hukum yang pre-preventif dan preventif. Permen ATR/KBPN No. 21 Tahun 2020 perlu direvisi terutama model dan bentuk penyelesaian kasus pertanahan yang tidak menggunakan pendekatan administratif namun perlu menggunakan pendekatan hukum progresif yang berbasis pada prinsip musyawarah mufakat.
Solusi Konflik Pertanahan
Meninjau karakter dari konflik pertanahan yang memiliki dimensi yang beragam maka diperlukan solusi penyelesaian dengan pendekatan hukum progresif. Pendekatan hukum progresif yang dimaksud adalah melibatkan semua pemangku kepentingan, masyarakat, pemerintah dan swasta. Konflik pertanahan di antar kepentingan perlu didudukkan bersama (musyawarah mufakat). Hasil musyawarah mufakat sebagai lembaga tertinggi untuk memutuskan solusi dari permasalahan konflik agraria. Pendekatan hukum progresif yang membawa prinsip “Hukum Memanusiakan Manusia” adalah memposisikan semua pemangku kepentingan diatur dan diberikan haknya masing-masing. Maka tujuan dari keberadaan hukum adalah mewujudkan harmonisasi hukum hak antar semua pemangku kepentingan (masyarakat, pemerintah dan swasta).
*) Penulis adalah Dosen Tetap Program Studi Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Buton