Oleh : La Ode Syafril Hanafi*
Gagasan hukum progresif sejatinya berawal dari keprihatinan Satjipto Rahardjo terhadap pengembanan hukum di Indonesia. Dalam pandangan D.H.M. Mauwissen, pengembanan hukum berkaitan dengan aspek teoretis dan praktis. Tentu, pengembanan hukum harus dilihat dari dua aspek tersebut (Sulaiman, 2015). Dalam pengembanan hukum, aspek teoretis dan praktis tentu tidak dapat dipisahkan. Akan tetapi, kebobrokan serta kekolotan pengembanan hukum di Indonesia sejatinya telah akut. Sekalipun gejolak reformasi telah ditegaskan di tahun 1998-an, namun gejolakreformasi tersebut hanya sekadar “memotong ranting” dan gagal melakukan “perubahan paradigmatik” terhadap “akar” yang masih menjalar (Hananto Widodo, 2021). Akar kebobrokan hukum tersebut adalah mentalitas koruptif serta ketidakprofesionalan para penegak hukum. Hukum kemudian ditempatkan hanya sebagai “alat” yang dapat dimainkan oleh siapa yang berkuasa.
Hukum progresif menurut Satjpto Rahardjo sejatinya memiliki kekuatan yang menolak keadaan status quo. Mempertahankan status quo berarti menerima normatifitas dan sistem yang ada tanpa ada usaha untuk melihat aneka kelemahan di dalamnya yang kemudian mendorong bertindak mengatasinya (Samekto, 2019). Hampir tidak ada usaha untuk melakukan perbaikan, yang ada hanya menjalankan hukum seperti apa adanya dan secara biasa-biasa saja. Mempertahankan status quo dalam kondisi tersebut akan makin bersifat jahat sekaligus bertahan dalam situasi korup dan dekaden dalam sistem yang nyata nyata memiliki kelemahan. Status quo juga bertahan salah satu alasannya karena doktrin otonomi hukum, padahal dalam diri hukum sesungguhnya juga benteng perlindungan bagi orang-orang mapan sehingga pendekatan tujuan keadilan hanya dapat dicapai dengan menggunakan pendekatan sistem peraturan dan prosedur obyektif.
Pandangan dan pendekatan yang dipraktekkan dalam sistem rule of law demikian tidak akan pernah mencapai keadilan sosial (Muabezi, 2017). Satjipto Rahardjo mengemukakan bahwa dengan kekuatan hukum progresifnya merupakan provokasi ilmiah atas kegagaluannya atas hegemoni posistivisme dan sentralisme hukum yang kemudian berdampak terhadap kekerasan struktural, marjinalisasi masyarakat dan hukumnya serta menjauhkan hukum dari kehidupan sosial masyarakat yang
multikultural (Dicky Eko Prasetio Adam Ilyas Felix Ferdin Bakker, 2021). Pernyataan Satjipto Rahardo telah menciptakan polemik dan debat konfrontatif dengan paradigma hukum yang hingga saat ini masih diterapkan di Indonesia.
Dalam perkembangannya, gagasan hukum progresif sejatinya merupakan “antpipati” terhadap beberapa gagasan yang bercorak analytical jurisprudence (Wildan Nafis, 2020). Dalam analytical jurisprudence yang dikembangkan oleh Hans Kalsen yang mengatakan bahwa norma hukum bukan semata diterapkan oleh organ atau dipatuhi oleh masyarakat, melainkan karena dibentuk oleh lembaga yang berwenang sehingga memiliki karakter “positif” dan “imperatif” (Olechowski, 2018). Karakter ini menegaskan bahwa hukum harus “dipisahkan” dari moral, tata susila, agama, maupun aspek-aspek non-hukum lainnya. Hukum sejatinya dapat diklasifikasikan dalam dua pengertian, yaitu hukum bermakna obyektif dan hukum bermakna subyektif (Rahardjo, 2012). Hukum obyektif ialah peraturan-peraturan yang mengatur hubungan antara sesama bermasyarakat, sedangkan hukum subyektif ialah kewenangan atau hak yang diperoleh seseorang berdasarkan hukum obyektif. Sedangkan progresif bermakna maju, berhasrat maju dan selalu maju. Dari dua term tersebut dapat dikatakan bahwa hukum progresif ialah peraturan-peraturan yang mengatur hubungan antara sesama masyarakat yang dibuat oleh seseorang atau kelompok yang mempunyai kewenangan membuat hukum dengan landasan keinginan untuk terus maju (Fauzia, Hamdani, & Octavia, 2021).
Satjipto Rahardjo memaknai hukum progresif dengan kalimat, pertama, hukum adalah untuk manusia dan bukan sebaliknya. Hukum tidak ada untuk dirinya melainkan untuk sesuatu yang luas, yaitu untuk harga diri manusia, kebahagiaan, kesejahteraan dan kemuliaan manusia. Kedua, hukum bukan merupakan institusi yang mutlak serta final. Ketiga, hukum selalu dalam proses menjadi, sehingga tidak ada hukum yang mutlak. Keempat, hukum selalu mengarahkan pada tujuan martabat kemanusiaan. Paradigma dalam hukum progresif adalah bahwa hukum adalah untuk manusia. Pegangan, optik atau keyakinan dasar ini tidak melihat hukum sebagai sesuatu yang sentral dalam berhukum, melainkan manusialah yang berada di titik pusat perputaran hukum. Hukum itu berputar di sekitar manusia sebagai pusatnya. Hukum bukanlah bagian dari negara melainkan dari hidup manusia; dan karena hidup manusia itu dinamis maka hukum juga dinamis.
Dalam perspektif ini, hukum progresif dari Satjipto Rahardjo disebut sebagai paham Hukum Kata Kerja, yang diperlawankan dengan paham Hukum Kata Benda dari legalisme atau positivisme hukum. Possitivisme hukum memandang hukum secara statis, yakni hukum adalah apa yang telah ditetapkan sebagai undang-undang. Selama undang- undang itu belum dicabut menurut prosedur hukum yang berlaku, maka walaupun isinya jahat ataupun isinya sudah bertentangan dengan kewajaran hidup manusia, tetap berlaku sebagai hukum, dan karena itu wajib ditaati. Cara berhukum seperti inilah yang mau ditanggapi oleh hukum progresif sebagai Hukum Kata Kerja, agar manusia tidak menjadi tawanan undang-undang.
Hukum progresif selain memandang hukum yang harus diselesaikan dengan “cara khusus dan tertentu” juga menekankan bahwa hukum harus menjaga martabat manusia. Martabat dalam khasanah masyarakat Indonesia tentu berkaitan dengan nilai. Hal ini menegaskan bahwa gagasan positivisme hukum yang memisahkan antara hukum dengan nilai adalah tidak relevan dengan konteks masyarakat Indonesia. Indonesia dengan dasar
Pancasila sejatinya menegaskan eksistensi negara hukum Indonesia yang berdasarkan atas nilai-nilai. Nlai-nilai ini lah yang kemudian secara praksis menjadi pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan. Martabat manusia dalam konteks hukum tidak dapat identik dengan adanya putusan pengadilan. Martabat manusia sejatinya adalah di dalam dan di luar institusi hukum. Hal ini berarti hukum dan keadilan dekat dengan nurani kemanusiaan rakyat.
Hukum dan keadilan tidak berada di tempat yang jauh, tinggi, serta hanya identik dengan bangunan gedung tertentu. Dalam konteks hukum pidana yang hanya mengandalkan peran negara beserta aparaturnya, hukum progresif sejatinya menemukan dilemma di satu sisi. Dilema karena jika hukum progresif berorientasi pada “keluar” dari pola penegakan hukum konvensional dan konservatif, maka hukum pidana Indonesia terbatas pada peran aparatur negara. Hal ini dalam hukum pidana bahkan secara peyoratif bermakna bahwa, “dalam pidana hanya ada hukum dan aparatur negara”. Hukum progresif dalam hukum pidana sejatinya dapat diimplementasikan melalui kebijakan restorative justice. Restorative justice salah satunya dipertegas dalam Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia No. 15 Tahun 2020. Adanya peraturan tersebut sejatinya merupakan langkah progresif karena sebagaimana dikatakan sebelumnya bahwa hukum pidana selalu menekankan peran negara beserta aparaturnya.
Dalam hal ini lah, maka meminimalkan peran negara dalam hukum pidana adalah tidak mungkin tetapi yang mungkin adalah dengan melakukan “progresivitas aparat penegak hukum”, khususnya dalam konteks hukum pidana. Progresivitas aparat penegak hukum khususnya dalam menerapkan kebijakan restorative justice sejatinya dapat optimal dengan mengacu pada keberlakuan sistem hukum (Prasetio, 2022). Kebrlakuan suatu sistem hukum dalam pandangan Lawrence M. Friedman bertumpu pada tiga aspek, yaitu: substansi hukum, struktur hukum, serta budaya hukum (Dicky Eko Prasetio, 2021). Dalam hal kebijakan restorative justice ini yang mencoba menyelesaikan perkara pidana tidak selalu melalui proses di peradilan tentu diperlukan pemahaman serta batasan yang jelas terkait penerapannya. Dalam hal ini, menurut hemat penulis, Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia No. 15 Tahun 2020 sudah cukup memberikan pemahaman serta batasan terkait penerapan restorative justice.
Aspek sistem hukum sebagaimana dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman dalam konteks restorative justice memerlukan tiga aspek yaitu substansi hukum, struktur hukum, serta budaya hukum. Dalam aspek substansi hukum, adanya Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia No. 15 Tahun 2020 sejatinya telah menjadi dasar bagi upaya penerapan restorative justice sebagai dimensi praksis atas hukum progresif. Aspek struktur hukum tentunya perlu adanya pelatihan serta pengembangan profesi bagi aparat penegak hukum. Dalam hal ini, hukum progresif layak menjadi bagian dari kurkulum dalam pelatihan serta pengembangan profesi bagi aparat penegak hukum (Fauzia & Hamdani, 2022). Selanjutnya yang perlu dibangun adalah budaya hukum di internal aparat penegak hukum. Hal ini lah sejatinya hal tersulit dalam pembangunan suatu sistem hukum. Tanpa budaya hukum yang baik, gagasan restorative justice dapat menjadi petaka yang menjauhkan nilai- nilai hukum progresif yang pro-rakyat.
Berdasarkan uraian di atas, eksistensi hukum progresif dalam restorative justice sejatinya secara substantif telah terwadahi dalam Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia No. 15 Tahun 2020. Akan tetapi, dalam aspek struktur dan budaya hukum, perlu mendapatkan perhatian tersendiri serta pelatihan khusus bagi aparat penegak hukum. Pelatihan tersebut hendaknya juga memasukkan hukum progresif sebagai bagian dari kurikulum untuk dapat membuat perbaikan pendekatan dalam hukum pidana.
*) Penulis adalah Mahasiswa Program Studi Magister Ilmu Hukum UM Buton







































