Oleh : Muh Sutri Mansyah*
Beberapa hari belakangan ini terjadi demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa di berbagai daerah, adapun yang menjadi tuntutannya ialah membatalkan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dalam KUHP tersebut salah satu pasal yang ditolak ialah pengaturan mengenai kohabitasi atau kumpul kebo, meskipun masih terdapat pro dan kontra mengenai pengaturan kumpul kebo. penting untuk menganalisis dan mengkaji urgensi pengaturan kumpul kebo tersebut, penulis akan menjelaskan pengertian dari kohabitasi atau kumpul kebo, sebagai berikut:
Kohabitasi merupakan suatu istilah yang digunakan untuk pasangan tinggal satu atap tanpa adanya ikatan perkawianan. Kohabitasi biasa disebut dengan istilah “kumpul kebo”, sedangkan ada pula yang memberikan pengertian tentang kumpul kebo, Frase Kumpul Kebo adalah frase yang berasal dari Bahasa Jawa yang terdiri dari dua kata yaitu kumpul dan kebo yang artinya adalah ‘hidup bersama sebagai suami istri di luar pernikahan’. sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI): ‘kumpul’ bersama-sama menjadi satu kesatuan atau kelompok (tidak terpisah-pisah); berhimpun; berkampung; berapat (bersidang); berkerumun. Lalu ‘kebo’ artinya: kerbau. Sudah tentu yang dimaksudkan adalah arti kiasan, bukan arti yang sebenarnya: kerbau berkumpul, tetapi pasangan laki-laki dan perempuan kumpul seperti kerbau.
Dari pengertian yang dikemukakan sebenarnya baik kohabitasi maupun kumpul kebo tidak ada perbedaan secara prinsip sehingga penulis dapat menarik kesimpulan dari pengertian diatas ialah kumpul kebo atau kohabitasi adalah pasangan yang tidak memiliki ikatan perkawinan yang hidup serumah. Menurut Harkristuti Harkrisnowo Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Beliau berpendangan mengenai penggunaan kata kohabitasi dengan kumpul kebo, beliau lebih sejutu menggunakan kohabitasi daripada kumpul kebo karena menyamakan manusia dengan binatang, sehingga hal tersebut sangat pejorative.
Pengaturan hidup bersama memiiki latar belakang, berawal dari KUHP lama peninggalan Belanda yang mengatur perbuatan zina sebagaimana diatur dalam Pasal 284 pada intinya pasal tersebut seorang dapat dikatakan melakukan perbuatan zina jika salah satu telah memiliki ikatan perkawinan dan mereka melakukan hubungan seksual.,
Akan tetapi terjadi perluasan makna zina dimana konsep zina tidal lagi dikonteks salah satu harus memiliki ikatan perkawan akan tetapi tidaklah harus ada ikatan perkawinan jadi lajang sama lajang tanpa salah salah satu memiliki ikatan perkawinan dapat dipidana selama hidup bersama seperti suami istri, sebagaimana diakomodasi salah satunya dalam Pasal 412 KUHP Baru
Dalam naskah akademik Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana berkaitan dengan Struktur pokok perumusan tindak pidana kesusilaan:
- Norma hukum pidana dalam KUHP yang direformulasi dan disesuaikan dengan nilai kesusilaan masyarakat hukum Indonesia (konsep hukum tentang zina dan kesusilaan).
- Norma hukum pidana yang dimuat dalam Undang-undang Nomor 44 Tahun2008 tentang Pornografi, Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang dirumuskan menjadi tindak pidana pornografi, pornografi melalui media elektronik, dan pornografi yang melibatkan anak, perkosaan dalam rumah tangga).
- Norma hukum pidana yang bersumber dari hukum adat atau hukum yang hidup dalam masyarakat (tindak pidana hidup bersama tanpa nikah).
Menarik pula apa yang telah dikemukakan Guru Besar Hukum Pidana, Oemar Senoadji sekitar kejahatan terhadap kesusilaan ini bahwa dalam mengisi dan mengarahkan delik-delik susila itu, seharusnyalah unsur-unsur agama memegang peranannya. Baik sekali diperhatikan keterangan-keterangan beliau sekitar adanya pandangan yang semata-mata melihat hubungan antara hukum dan moral, seakan-akan pengaruh unsur agama terhadap hukum tidak mendapat perhatian, khususnya dalam kejahatan-kejahatan terhadap kesusilaan.
Dari bahan-bahan yang dikemukannya cukup jelas bagi kita betapa konsenkuensi yang berbeda antara pandangan-pandangan sempit dan luas mengenai masalah ini. Perlu menggaris bawahi pendapat Oemar Senoadji mengingatkan bahwa masalah ini merupakan persoalan pokok bagi usaha pembaharuan hukum pidana kita, khususnya dalam menerncanakan ketentuan ketentuan mengani tindak pidana terhadap kesusilaan itu.
Memperhatikan lebih jauh segala sesuatunya yang telah dikemukakan diatas, maka tindak pidana terhadap kesusilaan itu masih harus dilengkapi dengan:
- suatu rumusan yang akan memberikan batasan serta isi mengani apakah yang dimaksud dengan melanggar kesusilaan itu;
- menegaskan perbuatan-perbuatan sebagai tindak pidana terhadap kesusilaan, baik dengan memperhatikan perundang undangan negara lain, maupun penentuan tindak pidana baru yang digali dari norma-norma agama yang berkaitan dengan kesusilaan; dan
- memperbaiki konstruksi-konstruksi sekitar tindak pidana yang sebelumnya ini telah ada dalam aturan perundang-undangan kita dengan menyesuaikannya kepada pemikiran bahwa hukum mendapat sandaran kuat pada moral agama.
Berikut pengaturan kohabotasi yang dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang tertulis :
Pasal 412
- Setiap Orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Kategori II.
- Terhadap Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan:
- Suami atau istri bagi orang yang terikat perkawinan;atau
- Orang Tua atau anaknya bagi orang yang tidak terikat perkawinan.
- Terhadap pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku ketentuan Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 30.
- Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di sidang pengadilan belum dimulai.
Adapun terdapat Problematika pengaturan kohabitasi, yaitu:
- Wisatwan asing yang travelling di indonesia tanpa ikatan perkawinan.
- Status hukum suami/istri dari nikah siri.
Problematika yang telah diungkap merupakan keresahan di masyatakat maupun lembaga swadaya masyarakat yang dikumpulkan oleh penulis:
Berkaitan dengan wisatawan asing tanpa ikatan perkawinan yang berlibur di indonesia, Menurut penulis, bahwa pasal tersebut sifatnya delik aduan, karena kekhawatiran yang berlebihan sehingga ada beberapa kedutaan melakukan seperti kedutaan belanda, uni eropa; kedutaan perancis; kedutaan inggris; kedutaan jerman kedutaan, padahal kekhawatiran mereka disebabkan karena adanya miss-kriminalisasi cohabitation/kumpul kebo , lgbt. crimes without victim, social victim.
Selanjutnya, mengenai masih adanya masyarakat yang belum memiliki dokumen yang disebabkan karena suami/istri dari nikah siri, sebenarnya hukum di indonesia telah mengakomodasi perkawinan menurut agama masing-masing namun pentingnya didaftar ke Kantor Urusan Agama ataupun melalui Pengadilan Agama/Pengadilan Negeri sebagai bentuk pengakuan sah secara administrasi yang akan berimplikasi pada bukti otentik yang kuat. hal ini ditambahkan didukung oleh pendapat Bambang Sugiri, Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Brawijaya bahwa meskipun perkawinan sah menurut agama masing-masing akan tetapi ada kelanjutnya yaitu adanya pencatatan menurut peraturan perundang-undangan. maka hal tersebut dapat dijadikan bukti sahnya suami/istri dalam RUU KUHP.
Sebelumnya pernah dimasukan dalam klausul, bahwa kepala desa dapat menjadi pengadu/pelapor akan terjadi kesewenang-wenangan, menurut penulis kepala desa tidak secara otomatis kedudukan hukum sama dengan suami, istri, orangtua, atau anak sebagai pelapor karena kepala desa dapat melaporkan selama tidak ada keberatan dari suami, istri, orangtua, atau anak yang sebenarnya jika disadari adanya control agar tidak sewenang-wenang dan kepala desa sebagai pimpinan didalam suatu wilayah serta bertanggungjawab atas ketertiban sosial kemasyarakatan, sehingga jika salah satu masyarakatnya menemukan adanya sepasang lalaki dan perempuan berada dalam rumah yang selama ini hidup seperti suami istri maka tetangga yang menganggap melanggarkan nilai-nilai kesusilaan dan kerugian sosial/ social damage sehingga dapat melaporkan kepada kepala desa untuk diproses secara hukum, upaya ini ini sebagai bentuk pencegahan meminimalisir terjadi adanya main hakim atau Eigenrechting. Namun klausul kepala desa sebagai salah satu pelapor telah dihapus dalam KUHP baru karena mendapatkan penolakan dari sejumlah pihak.
Maraknya perilaku “main hakim sendiri” (eigenrichting) yang selam ini dilakukan masyarakat terhadap pelaku hubungan seksual terlarang (baik dalam bentuk zina, perkosaan, maupun homoseksual) justru terjadi karena nilai agama dan living law masyarakat di indonesia tidak mendapat tempat yang proporsional dalam sistem hukum (pidana) indonesia sehingga jika telah terdekat modifikasi norma hukum (legal substance) mengenai hal ini maka diharapkan struktur (legal structure) dan budaya hukum (legal culture) masyarakat indonesia dalam menyikapi fenomena perbuatan-perbuatan a quo juga dapat berubah menjadi lebih baik.
*) Penulis adalah mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum, UM Buton