
Oleh : Nur Khasanah Latief
(Analis Kebijakan Ahli Pertama – Pusat Pembelajaran dan Strategi Kebijakan Manajemen Pemerintahan LAN RI)
Tanggal 1 Juni setiap tahun menjadi momen penting bagi bangsa Indonesia untuk merenungkan kembali nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara. Di tengah derasnya arus informasi digital, peringatan Hari Lahir Pancasila tahun ini terasa semakin relevan—karena kita dihadapkan pada ancaman baru terhadap persatuan bangsa: kebebasan media online yang tak terverifikasi, disinformasi masif, dan kecerdasan buatan (AI) yang semakin tak terkendali.
Di era media sosial dan platform daring, siapa pun bisa menjadi “jurnalis”, dan setiap akun bisa menjadi “media”. Sayangnya, tidak semua informasi yang tersebar lewat media online telah melalui proses verifikasi yang ketat sebagaimana dilakukan oleh media mainstream seperti televisi. Alhasil, hoaks, disinformasi, dan ujaran kebencian kerap mengisi ruang publik digital, memicu perpecahan, polarisasi, bahkan konflik sosial.
Kebebasan yang Belum Bertanggung Jawab
Kebebasan berekspresi adalah hak konstitusional, tetapi harus dibarengi dengan tanggung jawab sosial. Banyak konten di media daring yang memanipulasi opini publik tanpa dasar fakta yang kuat. Sering kali, narasi-narasi sektarian atau provokatif disebarkan demi kepentingan politik jangka pendek, mengorbankan rasa kebangsaan dan persaudaraan antarwarga.
Media konvensional seperti televisi masih tunduk pada regulasi, kode etik jurnalistik, dan pengawasan dari lembaga seperti Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Namun, media sosial dan kanal berita daring “independen” justru berkembang di luar radar, mengandalkan algoritma viral alih-alih integritas informasi.
Dari Hoaks Remaja-Dewasa Hingga Anak Balita
Hoaks hari ini bukan lagi isu sempit yang hanya menyasar kalangan remaja, dewasa atau pemilih politik. Ia telah menyusup ke segala lapisan usia, bahkan anak-anak. Salah satu fenomena yang belakangan mencemaskan adalah maraknya konten “Brainrot AI”—video berisi kombinasi animasi absurd, efek suara merangsang dopamin, dan narasi tanpa logika yang membanjiri platform seperti TikTok dan YouTube Shorts. Konten ini sekilas tampak tidak berbahaya, tetapi efek jangka panjangnya bisa mengganggu perkembangan kognitif anak balita, merusak pola pikir, bahkan menumpulkan empati.
Sementara itu, AI generatif yang semula menjanjikan efisiensi kini juga menjadi mesin pencipta hoaks super-realistis: dari deepfake wajah tokoh publik, narasi berita palsu dengan visual seolah nyata, hingga chatbot anonim yang memprovokasi perdebatan politik. Ironisnya, di era ketika informasi bisa dibuat siapa saja dengan bantuan mesin, masyarakat justru makin sulit membedakan mana yang nyata, mana yang manipulatif.
Pancasila Sebagai Kompas Moral dan Filter Digital
Refleksi Hari Lahir Pancasila seharusnya mendorong kita untuk kembali meneguhkan nilai-nilai dasar yang menyatukan bangsa. Pancasila bukan sekadar simbol, melainkan pedoman etika berbangsa—termasuk dalam bermedia. Kita perlu kembali menempatkan Pancasila sebagai kompas moral dalam menghadapi badai digital. Pancasila bukan hanya nilai dasar kehidupan berbangsa, tapi juga fondasi etika dalam produksi dan konsumsi informasi. Di tengah dunia maya yang bebas, kita harus bertanya ulang: apakah informasi yang kita sebar memperkuat persatuan, atau justru memperuncing perpecahan?
Di tengah kekacauan informasi ini, Pancasila harus kembali menjadi filter utama dalam kehidupan digital. Lima sila bukan hanya slogan, tapi pedoman moral yang sangat relevan:
- Ketuhanan Yang Maha Esa mengajarkan kita untuk menjunjung kebenaran, bukan menyebarkan fitnah.
- Kemanusiaan yang adil dan beradab mengajak kita menjaga martabat sesama, termasuk anak-anak dari konten digital merusak.
- Persatuan Indonesia mengingatkan kita agar tidak mudah terpecah oleh narasi sektarian.
- Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan menuntut diskusi publik yang sehat, bukan debat kusir penuh kebencian.
- Keadilan sosial memastikan setiap warga mendapatkan informasi yang benar dan setara.
Tantangan Lembaga Negara dan Masyarakat
Instansi pemerintah seperti Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), serta Dewan Pers berada di garis depan dalam menghadapi tsunami informasi ini. Namun mereka menghadapi tantangan besar: kecepatan penyebaran konten melampaui kecepatan verifikasi dan penindakan. Dalam banyak kasus, konten provokatif sudah terlanjur membentuk opini publik sebelum sempat diluruskan. Selain itu, mekanisme pelaporan konten berbahaya masih bersifat reaktif dan relative lambat. Hal ini diperparah dengan kebijakan platform digital global tidak selalu tunduk pada hukum dan nilai-nilai luhur kita. Ketimpangan ini memperkuat dominasi algoritma asing atas wacana kebangsaan.
Di sisi lain, edukasi literasi digital belum merata. Banyak warga belum mampu memilah mana informasi yang benar, mana yang hanya sensasi. Di sinilah peran komunitas, akademisi, dan organisasi masyarakat sipil sangat dibutuhkan untuk memperkuat daya tahan masyarakat terhadap disinformasi.
Ke depan, pemerintah perlu mendorong kolaborasi lintas sektor—antara negara, swasta, media, dan masyarakat—untuk menciptakan ekosistem informasi yang sehat. Ini bisa dimulai dengan memperkuat regulasi platform digital, memperluas program literasi media, serta membangun kanal klarifikasi dan pelaporan konten yang cepat, transparan, dan kredibel.
Upaya Penguatan Persatuan; Refleksi Nilai Pancasila
Untuk mengatasi ancaman ini, kita membutuhkan pendekatan multi-level:
- Regulasi Progresif; Pemerintah perlu memperbarui dan memperkuat regulasi terkait kecerdasan buatan dan konten digital, termasuk mewajibkan watermark AI, batasan konten untuk usia dini, dan pelaporan otomatis untuk konten berbahaya.
- Kurasi Platform Lokal; Dorong lahirnya platform media lokal yang menjunjung verifikasi, etika jurnalistik, dan nilai kebangsaan—sebagai tandingan bagi algoritma platform global yang hanya mengejar klik.
- Literasi Digital Berbasis Pancasila; Pendidikan literasi digital harus dimulai sejak dini, termasuk untuk orang tua, guru, dan tokoh masyarakat. Materi literasi digital yang ada perlu dilengkapi dengan pendekatan berbasis nilai Pancasila, bukan sekadar teknis.
- Kolaborasi Publik-Swasta-Sipil; Pemerintah tidak bisa berjalan sendiri. Butuh kolaborasi aktif dengan dunia pendidikan, perusahaan teknologi, media, dan komunitas digital untuk membangun ekosistem informasi yang sehat dan etis.
Pancasila bukan hanya warisan masa lalu, tetapi jawaban untuk masa depan.
Hari Lahir Pancasila adalah panggilan bagi setiap warga negara—bukan untuk kembali ke masa lalu, tetapi untuk menjaga masa depan Indonesia dari ancaman perpecahan digital. Karena di era ketika algoritma bisa membentuk persepsi, kita butuh fondasi nilai yang kokoh agar tidak mudah terseret oleh arus informasi yang menyesatkan.