Beranda Hukum Fenomena Galbay Utang Pinjol: Risiko Hukum dan Etika Penagihan

Fenomena Galbay Utang Pinjol: Risiko Hukum dan Etika Penagihan

0

Penulis: Ahmad Fachri Faqi, SH., LL.M (Dosen Fakultas Hukum Unhas).

Fenomena pinjaman online (pinjol) telah menjadi pisau bermata dua pada industri keuangan Indonesia. Di satu sisi inovasi ini mendorong inklusi, namun di sisi lain membuka celah praktik tak bertanggung jawab. Belakangan, media massa menyoroti tren gerakan di media sosial yang mengajak masyarakat untuk sengaja gagal bayar (galbay) terhadap utang pinjol.

Fenomena ini, yang seringkali merupakan respon atas maraknya pinjol ilegal, telah menciptakan kebingungan publik mengenai konsekuensi hukumnya. Hal ini memunculkan dua pertanyaan krusial: bolehkah utang pinjol tidak dibayar, dan bagaimana seharusnya penyelenggara resmi menagih utang secara beretika?

Risiko Hukum Gagal Bayar Pinjol Resmi

Gagal bayar pinjaman online (pinjol) legal yang terdaftar di OJK memiliki konsekuensi perdata, namun bukan merupakan tindak pidana. Sesuai Pasal 19 ayat (2) UU Hak Asasi Manusia, ketidakmampuan membayar utang tidak dapat dijatuhi hukuman penjara. Pelanggaran ini adalah murni wanprestasi (ingkar janji), sehingga penyelenggara berhak menempuh jalur hukum dengan mengajukan gugatan perdata ke pengadilan untuk menuntut sisa utang.

Meskipun begitu, OJK telah memasang pagar pengaman dengan membatasi total bunga dan denda maksimal 100% dari pokok pinjaman. Konsekuensi paling berat bagi nasabah adalah masuknya nama ke dalam daftar hitam Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) OJK dengan skor kredit macet. Catatan buruk ini akan menutup akses untuk mendapatkan kredit lain di masa depan, seperti KPR, kredit kendaraan, atau kartu kredit, sehingga merusak reputasi finansial secara permanen.

Selain gugatan perdata ke pengadilan, penyelenggara juga dapat menggunakan jasa debt collector pihak ketiga yang wajib tunduk pada kode etik ketat dari OJK dan asosiasi. Pada kondisi tertentu dimana nasabah memiliki banyak utang lebih dari satu kreditor, penyelenggara bahkan bisa mengajukan permohonan pailit terhadap nasabah, sebuah langkah yang dapat merusak rekam jejak keuangan dari nasabah.

Jebakan Pinjol Ilegal

Situasinya menjadi sangat berbeda ketika berhadapan dengan pinjol ilegal yang tidak terdaftar di OJK. Dari perspektif hukum perdata, perjanjian utang dengan pinjol ilegal dapat dianggap batal demi hukum. Hal ini karena perjanjian tersebut tidak memenuhi syarat objektif sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, terutama mengenai “suatu sebab yang halal”. Penyelenggara yang beroperasi tanpa izin tidak memiliki legalitas untuk melakukan kegiatan usahanya, sehingga produk hukum yang dihasilkannya pun cacat. Bahkan Menkominfo periode 2023-2024 Budi Arie Setiadi pernah menyuarakan bahwa masyarakat tidak wajib membayar utang kepada pinjol ilegal karena ketiadaan dasar hukumnya.

Meskipun secara yuridis utangnya tidak sah, nasabah tetap menghadapi risiko. Inilah jebakan utamanya. Konsekuensi gagal bayar pinjol ilegal bukanlah tuntutan di pengadilan, melainkan teror, intimidasi, dan pelecehan. Praktik penagihan mereka kerap melanggar hukum pidana, seperti melakukan pengancaman, pencemaran nama baik dengan menyebarkan data pribadi (KTP, foto) ke seluruh kontak di ponsel nasabah, dan pelecehan verbal. Mereka menyalahgunakan data pribadi yang mereka peroleh secara ilegal saat aplikasi terpasang di perangkat nasabah. Dengan demikian, sengaja tidak membayar pinjol ilegal mungkin dapat dibenarkan secara hukum perdata, namun akan membuka pintu bagi serangkaian tindakan kriminal dari pihak penagih yang dapat menghancurkan ketenangan hidup nasabah.

Etika Penagihan Sesuai POJK 22/2023

Untuk menciptakan ekosistem yang sehat, penyelenggara pinjol legal memegang peran penting. Peraturan OJK Nomor 22 Tahun 2023 tentang Perlindungan Konsumen dan Masyarakat di Sektor Jasa Keuangan (POJK 22/2023) harus dijadikan pedoman utama. Penyelenggara wajib memastikan seluruh proses bisnisnya, terutama penagihan, selaras dengan semangat perlindungan konsumen. Aturan ini secara mutlak melarang keras penagihan dengan menggunakan ancaman, kekerasan, atau tindakan yang mempermalukan nasabah. Jika menggunakan jasa penagih, penyelenggara juga wajib memastikan bahwa individu atau perusahaan penagih telah tersertifikasi dan patuh pada kode etik. Terkait perlindungan data, POJK ini secara tegas mengamanatkan kerahasiaan informasi pribadi konsumen, sehingga penagihan tidak boleh disertai penyebaran data dan komunikasi harus terbatas pada debitur.

Sebagai penguatan dari sisi industri, Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) pada tahun 2023 juga telah menerbitkan pedoman perilaku yang menekankan pentingnya itikad baik dalam proses penagihan. Pedoman ini mewajibkan seluruh penyelenggara untuk tunduk pada tata cara penagihan yang diatur dalam perundang-undangan. Salah satu poin krusialnya adalah aturan ketat mengenai penggunaan jasa penagihan pihak ketiga, di mana AFPI secara tegas melarang penyelenggara untuk menggunakan perusahaan atau individu debt collector yang namanya telah masuk dalam daftar hitam (blacklist) yang dikeluarkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) maupun AFPI sendiri.

Pada akhirnya, literasi keuangan di sisi konsumen dan kepatuhan regulasi di sisi penyelenggara adalah kunci dari ekosistem pinjol yang sehat. Masyarakat harus cerdas membedakan pinjol legal dan ilegal serta memahami setiap risiko sebelum meminjam. Sementara itu, penyelenggara pinjol legal harus membuktikan bahwa mereka adalah mitra finansial yang bertanggung jawab dengan menjalankan praktik penagihan yang manusiawi dan beretika, sesuai amanat POJK 22/2023 dan pedoman perilaku yang ditetapkan asosiasi.

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT