Beranda Mimbar Ide Pulau-Pulau Kecil ditengah Kepentingan Besar

Pulau-Pulau Kecil ditengah Kepentingan Besar

0

Oleh : Nur Khasanah Latief

(Analis Kebijakan Pusat Pembelajaran dan Strategi Kebijakan Manajemen Pemerintahan LAN RI)

Ketika empat pulau kecil di perairan barat Pulau Sumatera menjadi sorotan. Bukan lagi karena keindahan alamnya, tetapi karena tarik-menarik klaim administratif antara dua provinsi; Aceh dan Sumatera Utara, maka ini bukan sekadar soal garis batas. Ini adalah alarm bagi tata kelola wilayah dan penataan regulasi yang masih menyisakan ruang abu-abu di tengah lautan. Persoalan ini bermula dari Kepmendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode serta Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau, yang ditetapkan pada 25 April 2025. Dalam keputusan tersebut, empat pulau yaitu: Mangkir Besar, Mangkir Kecil, Lipan, dan Tokong Hiu yang sebelumnya diyakini berada di bawah Kabupaten Aceh Singkil, kini tercatat sebagai bagian dari Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara.

Hal tersebut menimbulkan reaksi keras dari Pemerintah Aceh. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Aceh menganggap ini sebagai bentuk pengabaian atas sejarah administrasi dan bukti lemahnya koordinasi antarlembaga pusat dan daerah. Di sisi lain, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menyebut bahwa perubahan ini masih bersifat administratif dan belum final, sambil mendorong klarifikasi bersama. Dalam kacamata kebijakan, kasus ini mencerminkan dua kelemahan mendasar yaitu:

  1. Tumpang tindih kewenangan antarinstansi pusat.

Kemendagri sebagai pembuat regulasi administratif sering tidak sejalan dengan data spasial dari Badan Informasi Geospasial (BIG) atau sektor strategis seperti Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dalam menetapkan zonasi laut dan pulau kecil.

  1. Minimnya partisipasi daerah dalam proses revisi.

Dalam banyak kasus, pemerintah daerah baru mengetahui perubahan batas wilayah setelah aturan terbit, tanpa dilibatkan sejak awal.

Kasus sengketa Pulau seperti ini bukanlah hal pertama di negara kepulauan kita. Kasus sengketa Pulau Berhala (tahun 2002-2011) antara Provinsi Jambi dan Kepulauan Riau adalah salah satu contoh paling menonjol dari konflik batas wilayah antarprovinsi di Indonesia yang sampai pada ranah hukum konstitusional. Sengketa Pulau Berhala diawali oleh pemekaran provinsi Kepulauan Riau tanpa penegasan batas wilayah laut, ditambah kurangnya harmonisasi data spasial antarinstansi, dan akhirnya diperparah dengan keputusan administratif (Permendagri) yang tidak melibatkan proses konsultasi publik atau pertimbangan historis lokal. Namun, sengketa tersebut terjadi 20 tahun lalu dimana digitalisasi dan kolaborasi lintas sektor/instansi pemerintah masih jarang dibahas. Haruskah terjadi kembali pada era saat ini?

Konflik Sengketa 4 Pulau Aceh dan Sumut tidak semata persoalan “kepemilikan administratif”. Lebih dari itu, nilai ekonomis dan strategis dari keempat pulau menjadi sumber tarik-menarik; antara lain menyangkut potensi sumber daya ekonomi, posisi strategis kelautan, hingga penentuan garis batas kewenangan zona laut yang bisa berdampak pada investasi, fiskal daerah, dan geopolitik lokal. Keempat pulau ini berada di perairan Selat Malaka yang merupakan salah satu jalur pelayaran internasional tersibuk di dunia.

Nyatanya keempat pulau kecil tersebut menyimpan potensi besar; diantaranya kaya akan ikan (tuna, cakalang, tongkol, tenggiri) serta potensi budidaya rumput laut yang tentunya status kepemilikan pulau berimplikasi pada hak pengaturan izin tangkap, budidaya dan retribusi perikanan yang dapat memberi potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD). Selain itu, potensi pariwisata bahari dan ekowisata yang dimilikinya dengan pantai pasir putih dan biota laut dibawahnya yang mulai dikembangkan sebagai “Raja Ampat Aceh”. Terlepas dari potensi alam tersebut, ada hal besar yang tidak boleh luput dari perhitungan yaitu geopolitik lokal yang bisa memicu persepsi masyarakat lokal terhadap posisi Daerah Otonomi Khusus Aceh terkait wilayah yang diambil “paksa” secara administratif yang berpotensi memunculkan gesekan horizontal masyarakat

Lebih dari itu, sengketa batas wilayah seperti yang terjadi antara Aceh dan Sumatera Utara bukanlah semata urusan teknis peta, tetapi menyangkut kedaulatan, legitimasi pemerintahan daerah, dan potensi konflik horizontal. Oleh karena itu, pendekatan kebijakan harus bersifat komprehensif, terintegrasi lintas sektor, dan responsif terhadap aspek historis-sosiologis masyarakat lokal.

  1. Sinkronisasi Data Spasial dan Regulasi Antarinstansi

Saat ini, disharmoni data terjadi karena kementerian/lembaga menggunakan peta dan basis informasi yang berbeda. Kemendagri memakai kode wilayah administratif, BIG memakai data geospasial, sementara KKP memakai data kawasan strategis laut. Ini menciptakan celah kebijakan. Rekomendasi:

  • Membentuk Satuan Tugas (Satgas) Penataan Wilayah Perbatasan Darat dan Laut dengan anggota tetap dari Kemendagri, BIG, KKP, Bappenas, dan Pemda.
  • Mewajibkan one map policy secara konsisten dalam setiap penetapan ulang batas administratif, termasuk penandaan digitalisasi pulau kecil.
  1. Transparansi Publik dan Partisipasi Daerah dalam Proses Legislasi Wilayah

Sebagian besar perubahan regulasi seperti revisi Permendagri dilakukan tanpa konsultasi publik yang luas. Ini mengabaikan prinsip-prinsip good governance. Rekomendasi:

  • Menerapkan mekanisme consultation window yaitu adalah periode atau mekanisme khusus yang disediakan oleh pemerintah untuk menerima masukan, keberatan, dan klarifikasi dari pihak-pihak terkait sebelum kebijakan batas wilayah diberlakukan atau direvisi. Dalam hal ini, sebelum pengesahan revisi wilayah oleh Kemendagri, melakukan pelibatan Pemda terdampak dan tokoh masyarakat.
  • Penggunaan dashboard daring peta interaktif berbasis SIG (Sistem Informasi Geografis) yang bisa diakses publik, mirip dengan sistem Badan Pertanahan Nasional (BPN) dalam peta tanah.
  1. Penguatan Kerangka Hukum Penyelesaian Sengketa Wilayah

Saat ini belum ada aturan teknis yang jelas dan baku tentang mekanisme penyelesaian batas antarprovinsi, sehingga setiap konflik bersifat ad hoc. Rekomendasi:

  • Mempercepat penyusunan Peraturan Pemerintah turunan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang mengatur tata cara penyelesaian batas wilayah.
  • Mengembangkan opsi penyelesaian non-litigatif, seperti musyawarah antarprovinsi difasilitasi oleh Kementerian Koordinator, sebelum masuk ranah Mahkamah Konstitusi.
  1. Pendekatan Historis dan Sosial sebagai Alat Pembuktian

Seringkali masyarakat yang tinggal di wilayah sengketa memiliki identitas sosial-budaya yang kuat dengan provinsi tertentu, namun diabaikan karena pendekatan spasial semata. Rekomendasi:

  • Pelibatan tim ahli sejarah, antropologi, dan hukum tata negara dalam klarifikasi status wilayah, khususnya untuk pulau kecil yang tidak berpenghuni tetapi punya nilai simbolis.
  • Penggunaan peta kolonial, arsip Belanda, dan dokumen penetapan desa awal sebagai bagian dari alat pembuktian administratif.

Sengketa 4 pulau ini memberi pelajaran penting: administrasi wilayah bukan semata urusan teknis, melainkan menyangkut identitas, ekonomi, bahkan kedaulatan. Pulau kecil memang secara fisik mungil, namun kepentingan yang melekat di dalamnya—besar. Di tengah upaya reformasi tata kelola wilayah, pemerintah perlu lebih cermat, partisipatif, dan responsif. Jangan sampai konflik lokal ini menjadi bara yang membesar, hanya karena kita abai pada detail regulasi dan minim ruang dialog.

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT