Beranda Mimbar Ide Bukan Bela Mahasiswa, Tapi Jual Luka

Bukan Bela Mahasiswa, Tapi Jual Luka

0

Oleh : Mohammad Rifki Hulalata

(Kader Muhammadiyah dan konten kreator)

Ada kalanya, yang paling keras berteriak tentang moral, justru paling jauh dari moralitas. Yang paling sering bicara tentang empati justru menjadikan luka orang lain sebagai bahan tontonan. Dan yang paling lantang menuduh “zolim”… terkadang lupa bahwa menuduh tanpa tahu duduk perkaranya, juga bentuk kezoliman.

Kisah ini sederhana.

Seorang mahasiswa, tengah dilanda beban pribadi bukan karena kampus, bukan karena dosen, bukan karena tekanan internal, tapi karena masalah hidup yang hanya Tuhan dan dirinya yang tahu beratnya.

Kampus berupaya.

Menenangkan, mengklarifikasi, dan menjaga agar citra mahasiswa itu tetap aman di mata publik. Bahkan pihak rektorat segera memberi penjelasan terbuka agar tidak timbul prasangka, agar netizen tidak salah tafsir. Namun dari kejernihan itu, muncullah seseorang yang melihat peluang… bukan untuk menenangkan, tapi memviralkan.

Mak Angus.

Seorang dosen yang seharusnya jadi teladan, tapi malah menjadikan tragedi pribadi mahasiswanya sebagai konten. Mengundang mahasiswa yang sedang rapuh ke podcast pribadinya, membahas hal yang seharusnya diselesaikan di ruang pembinaan, bukan di depan kamera.

Padahal, seorang pendidik sejati tahu:

Aib mahasiswa bukan bahan diskusi publik. Keresahan mahasiswa bukan konten sensasi. Dan empati bukan ditampilkan tapi dijalankan secara pribadi, dengan hati yang hadir dan telinga yang mendengar.

Seharusnya Mak Angus datang dan bertanya langsung:

“Ada apa sebenarnya, Nak? Apa yang bisa saya bantu?”

Bukan malah berkata di depan mic dan kamera, “Lihatlah, kampus kita zolim.” Karena ketika seorang dosen memilih popularitas daripada kehormatan mahasiswanya, maka saat itu juga ia telah menukar jubah pendidik dengan selimut pencitraan.

Dan ironinya, setelah semua itu viral, bukan kampus yang terlihat buruk—tapi justru dirinya sendiri. Karena tanpa sadar, ia telah memberitahu dunia bahwa ia, bagian dari kampus itu, tidak mampu menyelesaikan masalah secara internal. Bahwa ia lebih percaya pada likes dan views daripada dialog yang jujur.

Lebih menyedihkan lagi, ketika narasi itu kemudian digiring seolah rektor zalim, kampus tidak peduli, dan mahasiswa dibiarkan. Padahal, teguran yang diterimanya bukan karena ia “membela mahasiswa”, tetapi karena ia melanggar etika, membuka aib, dan merusak kepercayaan yang seharusnya dijaga.

Dan perlu diingat, ia baru diberi surat peringatan setelah video podcast itu tayang, bukan sebelumnya.

Jadi, siapa sebenarnya yang menciptakan badai?

Tuhan memang tak butuh waktu lama untuk menegakkan keadilan. Yang menggoreng kebaikan, akhirnya terbakar oleh minyaknya sendiri. Yang menuduh dengan amarah, akhirnya ditelanjangi oleh kebenaran. Dan yang berteriak paling keras soal moral, kini harus belajar lagi tentang arti adab.

Mungkin ini bukan akhir karier, tapi awal dari pelajaran hidup yang sesungguhnya bahwa menjadi dosen bukan tentang banyak bicara di ruang publik, melainkan tentang tahu kapan harus diam, dan kapan harus bijak.

Sebab dalam dunia pendidikan, yang sejati bukanlah mereka yang viral karena drama, tetapi mereka yang tenang dalam integritas. Yang tak butuh sorotan, karena hatinya sudah terang.

Dan mungkin, inilah saatnya Mak Angus memahami satu hal penting:

Bahwa kehormatan tidak dibangun dari jumlah penonton, tetapi dari kemampuan menjaga yang seharusnya tidak ditonton.

*) Tulisan ini ambil dari status media sosial instagram penulis https://www.instagram.com/p/DQEsrUpk8Fo/?igsh=MWEybTRudnRianJxdw==

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT