Oleh : Arief Wicaksono*
(Pengamat kebijakan publik dan alumni UNHAS)
Pemilihan Rektor Universitas Hasanuddin (UNHAS) periode 2026–2030 memasuki babak penting setelah hasil penyaringan Senat Akademik diumumkan. Dari 94 anggota Senat yang memiliki hak suara, Prof. Jamaluddin Jompa (Prof. JJ) meraih dukungan mutlak dengan 74 suara, sementara Prof. Budu hanya memperoleh 18 suara.
Kemenangan ini menegaskan jurang lebar antara popularitas semu di ruang publik dan penilaian substantif komunitas akademik di lingkungan kampus. Sebelumnya, beberapa lembaga survei menempatkan Prof. Budu sebagai kandidat paling populer. Namun, hasil Senat justru membalik persepsi tersebut secara telak.
Dari perspektif komunikasi politik, perbedaan hasil ini menunjukkan bahwa logika popularitas tidak selalu sejalan dengan rasionalitas akademik. Survei publik yang mengunggulkan Prof. Budu tampaknya lebih berperan sebagai alat pembentuk persepsi, bukan cerminan dukungan riil di lingkungan universitas. Sementara itu, hasil pemilihan Senat menegaskan bahwa legitimasi kepemimpinan akademik hanya dapat berdiri di atas gagasan, integritas, dan rekam jejak nyata.
Dalam forum pemaparan visi sebelumnya, Prof. JJ dinilai mampu menyampaikan arah kebijakan yang terukur, realistis, dan berbasis capaian. Gaya komunikasinya lugas dan bernas, memadukan rasionalitas akademik dengan pengalaman empiris selama memimpin UNHAS. Di bawah kepemimpinannya, universitas ini berhasil menembus peringkat 951–1000 dunia versi Times Higher Education (THE WUR) dan posisi 201 di Asia — pencapaian terbaik sepanjang sejarah UNHAS.
Sebaliknya, visi “Kampus Berdampak” yang diusung Prof. Budu, meski membawa semangat positif, dianggap terlalu umum dan belum menonjolkan distingsi UNHAS sebagai universitas riset unggulan di kawasan timur Indonesia. Dalam konteks komunikasi kelembagaan, gagasan yang tidak berakar pada karakter institusi sering kehilangan resonansinya di hadapan audiens akademik yang berpikir rasional.
Kemenangan Prof. JJ juga merefleksikan kearifan Senat Akademik dalam menilai dari kedalaman visi, bukan sekadar gema nama. Anggota Senat menaruh kepercayaan pada figur yang telah membuktikan komitmen pada tata kelola, integritas, dan reputasi global universitas.
Hasil ini sekaligus menjadi koreksi terhadap euforia survei publik yang sempat menggiring opini ke arah berbeda. Bagi banyak pihak, kemenangan Prof. JJ bukan hanya soal angka, melainkan pernyataan tegas bahwa UNHAS memilih pemimpin dengan rasionalitas dan kerja nyata.
Menjelang tahapan akhir pemilihan di Majelis Wali Amanat (MWA), posisi Prof. Jamaluddin Jompa semakin menguat. Di mata komunitas akademik, kemenangan di Senat adalah simbol kemenangan substansi atas citra, serta bukti bahwa UNHAS tetap memegang prinsip: pemimpin sejati adalah mereka yang memahami ilmu, mengelola gagasan, dan membangun kepercayaan melalui karya.







































