Beranda Mimbar Ide Rektor Unhas Bukan Tergugat yang Tepat

Rektor Unhas Bukan Tergugat yang Tepat

0

(Klarifikasi Hukum atas Gugatan terhadap Universitas Hasanuddin)

Oleh : Sucipto Almuhaimin, S.H

(Pengamat Hukum)

Beberapa hari terakhir, publik diramaikan oleh pemberitaan terkait gugatan perdata senilai Rp8 miliar terhadap Universitas Hasanuddin (Unhas) yang diajukan oleh salah satu perusahaan penyedia barang, CV Solusi Klik. Dalam sejumlah tulisan di media, termasuk Kompasiana, muncul narasi yang menyebut bahwa Rektor Unhas harus ikut bertanggung jawab secara hukum atas dugaan pelanggaran dalam proses pengadaan barang/jasa di lingkungan kampus.

Klaim tersebut tampak sensasional, tetapi dari kacamata hukum administrasi negara dan hukum perdata, tuduhan itu tidak berdasar dan bahkan keliru memahami struktur pertanggungjawaban hukum lembaga negara.

Saya merasa perlu meluruskan sejumlah hal mendasar agar publik tidak terjebak dalam mispersepsi yang mencampuradukkan antara tanggung jawab moral pimpinan dan tanggung jawab hukum yang konkret.

1. Universitas adalah Badan Hukum, Bukan Perorangan

Argumen pertama yang harus dipahami adalah bahwa Universitas Hasanuddin adalah badan hukum yang berdiri sendiri, bukan sekadar perpanjangan tangan individu rektor atau pejabat strukturalnya.

Dasar hukumnya jelas, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2013 tentang Statuta Universitas Hasanuddin, Unhas adalah Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN-BH). Artinya, Unhas memiliki kepribadian hukum (rechtpersoon) sendiri yang terpisah dari individu-individu yang menjabat di dalamnya.

Sebagai badan hukum, Unhas berhak dan wajib melakukan perbuatan hukum atas nama lembaga. Ketika Unhas menandatangani kontrak, melakukan pengadaan, atau menerima gugatan, subjek hukum yang sah adalah Universitas Hasanuddin sebagai entitas, bukan Rektornya sebagai pribadi.

Rektor memang menjadi representasi hukum universitas, tetapi dalam konteks perikatan hukum (baik kontraktual maupun administratif), Rektor bertindak atas nama jabatan, bukan atas nama pribadi. Ini adalah prinsip mendasar dalam hukum tata usaha negara maupun hukum perdata modern.

Dengan demikian, menyeret-nyeret nama Rektor secara pribadi dalam gugatan perdata—apalagi dengan narasi emosional seolah-olah beliau “turut bertanggung jawab secara pribadi”—merupakan bentuk kekeliruan mendasar dalam memahami konsep subjek hukum.

2. Tanggung Jawab Pengadaan Ada pada Pejabat Pembuat Komitmen (PPK)

Kedua, mekanisme pengadaan barang/jasa pemerintah sudah diatur sangat jelas dalam Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah beserta perubahannya dalam Perpres Nomor 12 Tahun 2021.

Dalam regulasi tersebut, disebutkan bahwa pelaksanaan setiap kegiatan pengadaan berada di bawah tanggung jawab Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), bukan pimpinan tertinggi lembaga.

PPK adalah pejabat yang ditunjuk oleh Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) untuk melaksanakan seluruh proses pengadaan, mulai dari perencanaan, pemilihan penyedia, hingga penandatanganan kontrak dan pembayaran. Semua kewenangan dan tanggung jawab tersebut melekat secara hukum kepada PPK, sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (1) Perpres 16/2018.

Rektor sebagai pimpinan universitas memiliki fungsi strategis dalam pembinaan dan pengawasan umum, tetapi tidak ikut serta langsung dalam setiap proses teknis pengadaan. Justru, sistem pengadaan pemerintah dirancang untuk mencegah intervensi pimpinan agar prosesnya independen, profesional, dan sesuai prinsip persaingan sehat.

Menyalahkan atau menyeret Rektor karena keputusan PPK sama artinya dengan menuduh Menteri atas setiap kesalahan bendahara atau pejabat pengadaan di kementeriannya—hal yang secara hukum tentu absurd.

3. Rektor Tidak Menandatangani Kontrak yang Digugat

Dalam perkara yang saat ini sedang berjalan, objek gugatan adalah kontrak pengadaan jaringan komputer kampus Tamalanrea yang ditandatangani antara Unhas dan pihak penyedia.

Namun, perlu ditegaskan bahwa kontrak tersebut tidak ditandatangani oleh Rektor. Yang menandatangani adalah PPK yang berwenang, sesuai penunjukan dan SK yang diterbitkan oleh lembaga.

Hukum kontrak (KUH Perdata Pasal 1320) menyatakan bahwa perjanjian hanya mengikat pihak-pihak yang menandatanganinya. Jika Rektor tidak ikut menandatangani, tidak ada dasar hukum yang sah untuk menuntut pertanggungjawaban pribadi atau jabatan beliau.

Dalam hukum perdata, ini dikenal sebagai prinsip “privity of contract”—yakni, perikatan hanya berlaku bagi para pihak yang membuatnya. Maka, menuntut Rektor Unhas atas perjanjian yang bukan ia buat adalah langkah hukum yang kehilangan objek (error in persona).

4. Gugatan terhadap Pimpinan Universitas Adalah Kekeliruan Subjektif (Error in Persona)

Dalam hukum acara perdata, gugatan dikatakan cacat subyektif atau error in persona jika pihak yang digugat bukanlah subjek hukum yang tepat atau tidak memiliki hubungan hukum langsung dengan perkara.

Karena Unhas merupakan badan hukum, maka pihak yang seharusnya digugat adalah Universitas Hasanuddin c.q. Rektor Universitas Hasanuddin, bukan Rektor secara pribadi.

Penggunaan frasa “Rektor Universitas Hasanuddin” dalam gugatan hanyalah sebagai representasi jabatan, bukan sebagai penanggung jawab pribadi. Jika dalam gugatan atau pemberitaan digunakan nama pribadi Rektor seolah-olah beliau menjadi pihak tergugat pribadi, maka itu merupakan kekeliruan hukum yang serius.

Yurisprudensi Mahkamah Agung sudah berulang kali menegaskan prinsip ini. Dalam Putusan MA Nomor 74 K/TUN/2005, misalnya, disebutkan bahwa “apabila pejabat bertindak untuk dan atas nama jabatan, maka yang bertanggung jawab adalah institusi, bukan pejabat secara pribadi.” Prinsip serupa juga dapat ditemukan dalam banyak putusan perdata dan TUN lainnya.

5. Prinsip Hukum: Tidak Ada Pertanggungjawaban Tanpa Kewenangan dan Kesalahan (Geen Aansprakelijkheid Zonder Schuld)

Dalam hukum administrasi modern, dikenal asas penting: tidak ada tanggung jawab tanpa kewenangan dan kesalahan.

Rektor Unhas tidak memiliki kewenangan teknis dalam pengadaan, tidak menandatangani kontrak, dan tidak ikut mengambil keputusan dalam proses seleksi penyedia. Maka, dari sisi hukum, tidak terdapat unsur kesalahan (culpa) maupun hubungan kausalitas langsung antara tindakan Rektor dan kerugian yang diklaim penggugat.

Karena itu, secara hukum tidak mungkin membebankan tanggung jawab pribadi kepada Rektor. Menyeret nama Rektor dalam perkara ini bukan hanya tidak tepat, tetapi juga dapat dianggap sebagai upaya menggiring opini publik dengan cara yang tidak proporsional.

6. Mekanisme Pengawasan Internal dan Prinsip Good University Governance

Unhas sebagai PTN-BH justru memiliki mekanisme pengawasan internal berlapis, mulai dari Satuan Pengawas Internal (SPI), Inspektorat Jenderal Kemdikbudristek, hingga Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Seluruh proses pengadaan di Unhas telah melalui prosedur standar sesuai Sistem Pengadaan Secara Elektronik (SPSE) dan ketentuan e-purchasing Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP).

Adanya perbedaan persepsi antara penyedia dan panitia bukanlah indikasi pelanggaran hukum, melainkan bagian dari dinamika administratif yang disediakan ruang penyelesaiannya, baik melalui sanggah, mediasi LKPP, maupun proses hukum perdata yang fair.

Namun, menuduh pimpinan kampus sebagai pihak yang “lepas tanggung jawab hukum” tanpa dasar faktual atau regulatif jelas, adalah bentuk simplifikasi yang tidak sejalan dengan prinsip good governance itu sendiri.

Justru, salah satu ciri tata kelola universitas modern adalah adanya pemisahan fungsi pengawasan, pelaksanaan, dan kebijakan, agar tidak terjadi konflik kepentingan dan penyalahgunaan wewenang.

7. Proses Hukum yang Sedang Berjalan Harus Dihormati

Sebagai institusi akademik, Unhas menghormati proses hukum yang sedang berjalan di Pengadilan Negeri Makassar. Kami meyakini bahwa ruang pengadilan adalah tempat terbaik untuk menguji kebenaran klaim, bukan ruang media sosial atau opini publik yang sering kali bias.

Namun, penting diingat bahwa hingga saat ini belum ada putusan hukum yang menyatakan adanya pelanggaran, baik oleh Unhas sebagai lembaga maupun oleh pejabat-pejabatnya.

Dalam asas hukum pidana maupun perdata, dikenal prinsip presumption of innocence (asas praduga tidak bersalah). Maka, memvonis pimpinan kampus “bersalah” atau “harus bertanggung jawab” sebelum ada keputusan pengadilan adalah pelanggaran terhadap asas keadilan itu sendiri.

8. Menjaga Marwah Akademik dari Sensasionalisme Hukum

Kami memahami bahwa pemberitaan kasus hukum, apalagi yang melibatkan lembaga besar seperti Unhas, selalu menarik perhatian publik. Namun, dalam negara hukum, kita tidak boleh membiarkan opini menggantikan bukti, atau persepsi menggantikan norma.

Universitas adalah lembaga ilmu pengetahuan, bukan perusahaan dagang. Setiap keputusan diambil melalui struktur dan prosedur kelembagaan, bukan oleh satu figur tunggal.

Karena itu, kami mengimbau seluruh pihak untuk menahan diri dalam menarik kesimpulan atau menyebarkan narasi yang bisa mencederai reputasi institusi dan individu tanpa dasar hukum yang jelas.

9. Menjunjung Akuntabilitas Tanpa Menyederhanakan Hukum

Rektor Universitas Hasanuddin adalah pejabat publik yang bertugas memimpin lembaga pendidikan tinggi, bukan pejabat pengadaan barang/jasa. Tanggung jawab hukum dalam pengadaan berada di tangan pejabat teknis yang ditunjuk, dengan mekanisme dan kontrol yang sudah diatur secara ketat oleh undang-undang.

Dalam konteks ini, tidak ada dasar hukum yang memungkinkan Rektor dimintai pertanggungjawaban pribadi atas pelaksanaan pengadaan yang dilakukan pejabat di bawahnya, kecuali dapat dibuktikan bahwa beliau secara pribadi melakukan intervensi, penyalahgunaan wewenang, atau tindakan melawan hukum—dan sejauh ini tidak ada bukti seperti itu.

Unhas tetap berkomitmen menjalankan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan integritas dalam seluruh kegiatan akademik maupun administratifnya. Gugatan yang sedang berjalan akan dijalani dengan penuh hormat kepada hukum, tetapi lembaga juga berhak membela diri dari tuduhan yang tidak berdasar.

Pada akhirnya, marwah akademik dan integritas hukum hanya bisa ditegakkan jika semua pihak—baik lembaga, penyedia, maupun publik—berpijak pada prinsip yang sama, yakni hormati fakta, taati hukum, dan jaga rasionalitas publik dari bias dan prasangka.

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT