Oleh : Andi Hendra Dimansa
(Peneliti Profetik Institute)
Di tengah hiruk-pikuk politik daerah, kerap kita lupa bahwa landasan mendasar dari kemajuan suatu wilayah. Tidak semata terletak kepada program pembangunan fisik atau pencitraan dari pejabat publik. Tetapi, melihat kualitas sumber daya manusia yang dibentuk melalui pendidikan. Dan di balik pendidikan yang sering juga direduksi hanya sebagai urusan kurikulum atau fasilitas ada sosok yang perannya sulit ditandingi, tidak lain adalah guru. Andai Gubernur Sulawesi Selatan benar-benar memahami kedalaman peran guru, barangkali arah kebijakan pendidikan daerah akan mengambil langkah lebih bijak. Sekaligus lebih manusiawi dan lebih berorientasi pada pembentukan karakter serta nalar warganya.
Ajaran filsafat pendidikan seperti yang diajarkan oleh Sokrates dapat memberikan pelajaran yang amat relevan. Bahwa esensi pendidikan bukanlah sekadar proses transfer pengetahuan semata. Tetapi juga, sebuah seni mendidik yang penuh strategi, kesabaran. Terutama, dalam pengakuan terhadap martabat peserta didik dan kapasitas nalar manusia, sekaligus pendidik (guru). Jika prinsip-prinsip ini, kita tarik ke konteks Sulawesi Selatan hari ini, kita akan melihat begitu pentingnya posisi guru bukan sekadar sebagai pegawai daerah, yang bisa asal dipecat. Tetapi, sebagai pilar moral dan intelektual masyarakat.
Pendidikan itu sebagai dialog, bukan komando
Metode ala Sokrates bukanlah menyuruh atau memaksa, melainkan mengajak berpikir. Sering kali melalui pendekatan yang tidak langsung, yang membuat murid dapat menemukan kebenaran dari dirinya sendiri. Dalam mengajar Sokrates tidak serta merta menggurui, melainkan membimbing menggunakan metode dialog, sebagai proses tanya jawab yang menyingkap kontradiksi berpikir dan menuntun kepada pemahaman yang jauh lebih matang.
Seandainya Gubernur menyadari hal ini, mungkin akan lebih memahami bahwa tugas guru bukan semata menyampaikan materi sesuai kurikulum. Tetapi, membangun daya kritis dan karakter murid. Guru bukan seperti robot pengajar dengan semata mengikuti modul, melainkan menjadi fasilitator dialog yang membangun intelektual. Maka, kebijakan yang menekan guru melalui beban administrasi yang berat, evaluasi berbasis angka atau intervensi politik terhadap sekolah sejatinya sedang merusak esensi pendidikan itu sendiri.
Ketika Sokrates memilih metode tidak langsung agar murid menemukan kebenarannya sendiri. Kita di Sulawesi Selatan justru masih terjebak pada pendekatan instruksional yang top-down. Guru diperlakukan seolah bawahan birokrasi semata, bukan pengajar/pemikir yang berdiri paling dekat dengan denyut intelektual generasi muda.
Guru dan indirect pedagogy dalam memberikan pelajaran untuk para pemimpin
Pendidikan tidak langsung atau indirect pedagogy yang dilakukan Sokrates. Dalam berbagai kesempatan, Sokrates kerap mengajar murid-murid, baik secara tidak langsung dengan cara memperlihatkan dialognya dengan murid yang belum bisa menangkap dengan jelas. Agar yang lain bisa menangkap hikmahnya tanpa harus diberi penjelasan eksplisit. Hal tersebut, menunjukkan bahwa guru memiliki kemampuan membaca kondisi murid. Guru juga memiliki kreativitas untuk menyesuaikan pendekatan dan guru bekerja berdasarkan moral intelektual. Bukan sekadar prosedur administratif.
Andai Gubernur Sulawesi Selatan memahami kompleksitas ini, akan berhenti melihat guru sebagai “pelaksana kebijakan semata” dan mulai melihat mereka sebagai profesional yang membutuhkan ruang kebebasan pedagogis. Pendidikan tidak akan maju hanya dengan slogan atau peraturan. Melainkan ketika guru diperlakukan sebagai subjek, bukan objek. Apalagi diperlakukan dengan pemecatan.
Pendidikan bukan sekadar urusan duniawi
Sokrates sering mengaitkan pendidikan dengan pencarian makna hidup dan bahkan relasi manusia dengan hal-hal yang lebih tinggi melebihi urusan dunia materi. Misalnya konsep “mengetahui” tempatnya dalam tatanan wujud atau pengakuan akan keterbatasan manusia terhadap sesuatu yang melampaui materi (adikodratik).
Hal ini, relevan bagi Sulawesi Selatan yang masyarakatnya masih religius. Guru tidak hanya mengajar matematika atau bahasa, melainkan juga menjadi penjaga nilai integritas, rasa hormat, ketekunan dan kejujuran. Ketika seorang Gubernur hanya melihat pendidikan dari sisi output ekonomi atau politik. Maka itu, gagal paham dan belum memahami dimensi spiritual sekaligus moral pekerjaan seorang guru.
Seorang guru yang baik bukan sekedar menghasilkan murid cerdas. Tetapi, manusia tahu nilai dan tahu kedudukannya sebagai makhluk ciptaan. Hal itu,sejalan dengan pesan pendidikan Sokrates di masa lalu.
Di sinilah, letak ironi bagi banyak pejabat daerah apalagi se-kelas Gubernur Sulawesi Selatan. Kalau menganggap pendidikan sebagai instrumen politik, baik untuk citra maupun untuk mengendalikan birokrasi. Padahal pendidikan harus mendidik manusia untuk tidak tunduk kepada politik. Melainkan kepada kebenaran dan akal sehat serta falsafah adat.
Antara keteladanan dan keberanian moral
Dalam banyak hal, Sokrates dikenang sebagai guru yang tidak sekadar mengajarkan teori. Tetapi, menunjukkan keberanian moral bahkan ketika harus berhadapan dengan risiko besar bagi dirinya sendiri. Guru-guru di Sulawesi Selatan pun setiap hari memikul beban moral itu. Mereka mendidik di tengah tekanan sosial, ekonomi, hingga budaya. Mereka berjuang tanpa selalu mendapatkan apresiasi yang layak.
Andai Gubernur benar-benar paham nilai moral pekerjaan seorang guru maka akan memperjuangkan kesejahteraan guru secara serius, akan melindungi guru dari tekanan politik lokal dan akan memastikan sekolah menjadi ruang aman untuk berpikir dan bertumbuh. Tapi semua itu tidak akan terjadi bila pemimpin daerah masih melihat guru hanya sebagai alat mobilisasi administratif sekaligus politis.
Harapan untuk Masa Depan
Kita harus sadar bahwa pendidikan yang sejati itu pendidikan yang manusiawi, dialogis dan memuliakan akal budi. Sedangkan guru menjadi inti dari proses itu. Seandainya Gubernur Sulawesi Selatan memahami hal-hal ini, bukan hanya sebagai wacana. Melainkan menjadi prinsip kebijakan dan peraturan daerah, maka dunia pendidikan di provinsi ini akan bergerak menuju transformasi yang bermakna.
Guru bukan mesin kurikulum, guru bukan alat politik. Akan tetapi, guru menjadi penjaga nalar masyarakat, penuntun karakter dan landasan untuk mencapai peradaban. Andai Gubernur benar-benar tahu peran itu, mungkin Sulawesi Selatan akan melahirkan generasi baru, yang tidak hanya terampil,namun juga arif. Agar pendidikan akan kembali ke tempat semestinya, bukan di ruang kekuasaan, melainkan di ruang keteladanan.









































