MataKita.co, Makassar — Direktur Profetik Institute, Asratillah, menilai maraknya pemberitaan dan narasi yang menyerang Rektor Universitas Hasanuddin (Unhas), Prof. Dr. Ir. Jamaluddin Jompa, M.Sc., sebagai bentuk penggiringan opini yang tidak sehat dan berpotensi merusak fondasi tradisi akademik di kampus merah tersebut.
Menurut Asratillah, upaya mengaitkan berbagai isu yang tidak saling berhubungan—mulai dari proses Pemilihan Rektor, pemeriksaan administratif, hingga kasus hukum yang berada di domain penegak hukum—ke dalam satu rangkaian narasi besar yang seolah menyudutkan satu figur, merupakan praktik framing yang berbahaya bagi dunia akademik.
“Jika cara-cara seperti ini dibiarkan, kampus akan diseret masuk ke dalam logika politik praktis yang dangkal. Ini bukan hanya soal reputasi satu orang, tetapi soal masa depan etika akademik Unhas,” ujar Asratillah dalam keterangannya kepasa matakita.co, Senin (22/12/2025)
Ia menegaskan, konsekuensi politik dari framing semacam ini sangat serius. Kampus, kata dia, berisiko kehilangan ruang deliberasi rasional yang selama ini menjadi ciri khas dunia akademik.
“Tradisi akademik dibangun di atas argumen berbasis data, bukan insinuasi. Ketika hoaks, survei abal-abal, dan tuduhan tanpa korelasi dipakai sebagai alat politik, maka kampus sedang didorong menjadi arena konflik, bukan pusat ilmu pengetahuan,” tegasnya.
Selain konsekuensi politik, Asratillah juga mengingatkan adanya konsekuensi hukum yang tidak bisa diabaikan. Menyebarkan tuduhan, insinuasi, atau kesimpulan yang belum pernah diputuskan oleh lembaga berwenang, berpotensi masuk ke wilayah pencemaran nama baik dan penyebaran informasi menyesatkan.
“Dalam negara hukum, kita wajib membedakan antara proses pemeriksaan administratif, proses hukum pidana, dan opini politik. Mencampuradukkan semuanya lalu menyimpulkan seolah-olah sudah ada kesalahan yang terbukti, itu berbahaya secara hukum,” jelasnya.
Lebih jauh, Asratillah mengurai kesalahan berpikir mendasar dalam framing yang berkembang. Ia menyebut setidaknya ada kekeliruan logika berupa false conjunction, yakni menggabungkan berbagai peristiwa yang berdiri sendiri seolah-olah memiliki hubungan sebab-akibat. Ada pula guilt by association, di mana seseorang dianggap bersalah hanya karena namanya dikaitkan dengan isu tertentu, tanpa bukti kausal yang sahih.
“Ini bukan kerja jurnalistik yang sehat, melainkan narasi sugestif. Pembaca digiring untuk percaya bahwa ‘banyak isu berarti banyak kesalahan’, padahal itu sesat pikir,” ujarnya.
Asratillah menekankan bahwa hasil dukungan mayoritas Senat Akademik kepada Prof. JJ harus dibaca sebagai ekspresi rasional kolektif dari para akademisi, bukan sebagai anomali yang dicurigai tanpa dasar. Menurutnya, capaian reputasi Unhas di tingkat nasional dan global selama kepemimpinan Prof. JJ justru menjadi konteks penting yang sengaja diabaikan dalam framing negatif tersebut.
“Unhas tidak boleh diseret ke logika pilkada. Kampus bukan panggung propaganda kelabu. Jika ini terus dipelihara, yang rusak bukan hanya nama seseorang, tetapi marwah institusi,” pungkasnya.









































