Beranda Fajlurrahman Jurdi Koloni dan Kolonialisme

Koloni dan Kolonialisme

1
Fajlurrahman Jurdi

Oleh : Fajlurrahman Jurdi*

Mendengar nama Belanda disebut dan berbicara hukum Indonesia, saya hampir saja mau muntah di toilet. Saya kumpul kembali semua bacaan usang, membuka Ania Loomba yang telah dengan sangat baik meletakkan basis argumentasi tentang postkolonialisme, Edward Said yang begitu tersohor menulis Orientalisme. Buku ini saya padukan kembali dengan Culture and Imperialism, dua buku yang ditulis oleh Said – meskipun judulnya berbeda – mengandung konten yang mirip, soal penjajahan, colonialism.

Selain Said dan Loomba, saya mengejar dan ulang Hamzah Alavi, buku kecil yang bernas, menguji basis argumentasi kolonialisme Prancis di Aljazair dan studi yang tersohor lain dari Gayatri Spivak dan tentu saja intelektual India yang paling banyak dikutip, Homi Bhaba. Bhaba menemukan nasionalisme India dan menolak kembalinya Inggris di tanah india merdeka.

Malam ini membuat jam istrahat saya agak panjang, karena satu-satunya yang membuat gelisah hidup saya yang agak panjang sejak zaman mahasiswa adalah mengenai cara pandang kolonial yang melekat, terpatri, tertanam dan menjadi gaya berpikir di negara-negara merdeka pasca si penjajah meninggalkan tanah jajahan nya.

Saya tidak terlalu heran dengan sikap Belanda yang congkak dalam lanskap politik indonesia, karena ia akan terus hadir, mengontrol dan mereproduksi cara berpikir kolonial, seolah-olah mereka adalah messiah, penyelamat dan pemberi berkah kebaikan bagi mereka.

Sebagian intelektual Indonesia mengajukan argumentasi prematur, bahwa hukum Indonesia adalah import dari Belanda dan celakanya sebagian besar hukum itu belum diganti. Jika mau diulur lagi ke belakang, Code Civil perancis lah yang di bawa ke Belanda, dan Belanda membawa serta hukum Prancis ini ketika datang menjajah Indonesia.

Apakah karena hukum indonesia adalah hukum kolonial, hukum yang dibawa oleh Belanda, lalu mereka seenaknya saja mau juga mengintervensi penegakkan hukum indonesia?. No.
Anda silakan menyingir dan berhentilah berkomentar tentang penegakkan hukum di indonesia. Penjajahan sudah berakhir, luka dan derita penjajahan itu masih membekas, Belandaisme mulai dihapus dalam ingatan-ingatan sebagian besar orang indonesia, dari generasi ke generasi.

Bila ingatan tidak bisa dihapus, orang-orang indonesia diharapkan mulai membangun kesadaran kritis, critical consiousness. Dengan kesadaran itu, kita menghapus cara berpikir yang melibatkan sang kolonial dalam pikiran dan sikap kita.
Watak kolonialisme Belanda yang mengatur, mengontrol dan terlibat secara dominatif di Indonesia, mestinya memberi kesadaran baru bagi kita untuk menolak “hadir”nya Belanda di dalam penegakkan hukum indonesia.

Sebagian ahli menyarankan, karena Belanda tidak bisa diasingkan dari pikiran kita, maka harus ada “writing back”, upaya memandang Barat, Belanda secara terbalik. Dengan cara itu, belanda tidak bisa “merasuk” dalam ruang-ruang batin kita. Kita tidak mestinya Bangga karena Belanda ikut berkomentar penegakkan hukum kita. Benar-salah, tidak ada ruang buat dia masuk dan berkomentar, karena seolah-olah, bila dia datang dan pergi seenak hatinya, seolah dia mengorek luka dan masih superior. Superioritas si penjajah, selalu dan tak pernah berhenti. Karena itu kita yang harus mengakhirinya.
Good by penjajah. Jangan kau campuri lagi urusan dalam negeri kami, seolah kau merasa terus masih berkuasa.

*)Penulis adalah pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here