Beranda Literasi Opini: Islam dan Hal-hal yang Belum Selesai

Opini: Islam dan Hal-hal yang Belum Selesai

0

Opini: Islam dan Hal-hal yang Belum Selesai

Oleh: Taufiqurrahman
(Aktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah)

Post modernisme mengajukan sebuah ramalan tentang peran agama yang akan menguat dan mendapatkan tempat yang sental dalam diskursus publik setelah pada periode sebelumnya yaitu pada masa modernisme proses sekularisasi dikampanyekan begitu ramai di mana-di mana sebagai sebuah keniscayaan yang dilahirkan oleh rahim modernitas, bahkan menjadi pola pembangunan yang mapan, dalam pengertian di mana cita-cita moral transendental dibelakangi bahkan cenderung dimusnahkan sebagai sebuah prinsip dasar pembangunan yang berorientasi keadilan, seluruh persoalan dipaksakan untuk diselesaikan hanya mengandalkan kerja otak semata dengan instrumen ilmu pengetahuan, padahal ilmu pengetahuan hanya dapat menjawab pertanyaan apa dan bagaimana sementara persoalan apa yang seharusnya bukan menjadi domain ilmu pengetahuan, maka demi untuk menjawab pertanyaan terakhir ini baik etika, moral maupun agama menawarkan diri untuk memberikan jawabannya masing-masing.

Ketika ramalan post modernisme itu betul terjadi, maka apa yang bisa dilakukan oleh agama khususnya Islam untuk memperbaiki sisi-sisi tergelap dari ruang kemanusiaan, apakah Islam masih akan tetap survive dalam lingkungan masyarakat industri yang bahkan telah melampaui tahapan teologis seperti asumsi Comte? Atau malah Islam yang akan diindustrialisasi, diteknologisasi dan diekonomisisi bahkan dipolitisasi oleh keganasan kemajuan yang radiusnya bahkan telah menjelajah hingga ke dusun dan pedalaman.

Agama dan Sekularisasi

Tugas pertama yang harus diselesaikan oleh seluruh kelompok agama adalah memusnahkan sekularisasi dengan pengertian yang telah disebutkan sebelumnya, sekularisasi kita sepakati sebagai sebab utama munculnya krisis moralitas yang implikasinya meluas pada lahirnya budaya hipokrit, monopoli, korupsi, otoriter, patrimonial-feodal dan seluruh akumulasi patologi sosio-kultural. Maka peran agama tidak boleh sejengkalpun disingkirkan dari pentas publik, seluruh cita-cita pembangunan harus dijiwai oleh nilai-nilai moral keadilan, kesetaraan, pelayanan juga kekeluargaan sehingga visi pembangunan kita tidak terjebak dalam lumpur kepentingan monolitik yang sempit atau kepentingan pasar oligopolistis yang serakah. Setidaknya ada dua peran ganda yang bisa dimotori oleh agama, dalam bahasa Buya Syafi’i Ma’arif agama bisa menjadi gas sekaligus menjadi rem, gas yang akan mendorong laju pembangunan yang bertalian dengan cita-cita penguatan harkat dan martabat manusia dengan tidak memaksakan kehendak yang menabrak konstitusi, juga rem yang mengendalikan arah pembangunan yang menyimpang dari cita-cita keadilan sosial dan kesejahteraan umum bangsa Indonesia.

Sejarah agama pra kemerdekaan adalah sejarah desekularisasi, ketika Sneevliet dan Adolf Baars serta konco-konconya sampai di tanah Jawa pada 1913 dengan misi mempropagandakan paham Marxisme dan Komunisme kepada massa yang terjajah dari masyarakat pribumi hingga pada akhirnya berhasil membentuk perhimpunan ISDV (Indische Sociaal-Democratische Vereeniging) pada 1914 yang ujungnya adalah pendirian Partai Komunis Indonesia pada 1924, tampilnya paham Komunisme cukup menggoda kelompok politik berhaluan Liberal, maka didirikanlah Nederlandsch Indische Vrijzinnige Bond (NIVB) pada akhir tahun 1916. Sebagai bentuk perlawanan terhadap operasi partai-partai sekuler tersebut maka berdirilah Christelijke Ethische Partij (CEP) pada 1917 sebuah partai etis Kristen, sebelum pendirian partai Kristen telah muncul organisasi Muhammadiyah dengan gerakan purifikasinya demi memperkokoh pondasi beragama di kalangan umat Islam yang tengah dirongrong oleh gerakan sekulerisme dan ateisme, telah muncul juga Sarekat Islam pada 1911 yang memulai narasi Islam ideologis, Islam sebagai senjata perjuangan kolektif melawan penjajah yang menyemaikan paham sekulerisme di tanah Indonesia tempat agama tumbuh dan berkembang dengan subur.

Agama dan Kesejahteraan

Menarik untuk kita simak tesis yang diajukan Lenski dalam tulisannya Power and Privilage: A Theory of Social Stratification, bahwa sebagai konsekuensi dari munculnya masyarakat industri adalah adanya kecenderungan ke arah kesamaan sosial dan menguatnya spirit egalitarian dalam masyarakat, hal ini dipahami karena masyarakat industri yang mendiami kawasan perkotaan begitu sangat akrab dengan diskursus demokrasi dan hak asasi manusia sebagai anak kembar yang lahir dari proses dekolonisasi, ditambah lagi laju arus informasi yang begitu cepat dan aktual, melanjutkan tesis Lenski di atas, Kuntowijoyo dalam teksnya Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia menjabarkan tentang kealpaan kita dalam memperbaiki kesejahteraan masyarakat sebagai prasyarat utama bagi peningkatan moralitas publik, secara eksplisit Kontowijoyo mengamini tesis Lenski di mana secara alamiah masyarakat yang memiliki basis kesejahteraan yang cukup akan cenderung menjadi masyarakat yang menjunjung tinggi moralitas.

Agama tidak pernah boleh diprivatisasi sebab publik membutuhkan rujukan moral dan acuan nilai-nilai etis yang akan membimbing masyarakat pada sebuah cita-cita kesejahteraan yang diangkat sebagai bagian terpenting dari misi ketuhanan, selain daripada itu agama harus menjadi sebuah sistem yang terbuka yang tidak sedikitpun bersikap apriori dan menutup diri dari berbagai akselerasi kemajuan dari barat atau budaya lain yang mengintroduksi pembaharuan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, di samping menjadi sebuah sistem yang terbuka agama juga harus mengukuhkan identitas dan kepribadiannya masing-masing agar tidak terlihat mengekor dan fotokopi gagasan dari budaya serta entitas lain.

Apa yang saat ini terjadi dengan rumah ibadah kita khususnya masjid patut disadari dan ditelaah kembali, telah terjadi reduksionisme dan pergeseran fungsi masjid, kini masjid hanya menjadi rumah ibadah 10 menitan, setelah itu tak jarang masjid ditinggalkan dalam keadaan terkunci rapat dan hanya akan kembali dibuka pada waktu-waktu salat. Masjid begitu terisolasi dari dunia luar, dari jeritan kemiskinan, kepedihan para pemulung dan peminta-minta yang setiap hari mondar-mandir di depan masjid menahan rasa lapar, anak-anak kecil penjual tisu dan koran di kampus dan jalanan yang dintimidasi oleh keadaan. Inilah yang disebut sekularisasi objektif ketika agama tidak lagi dapat menjawab pengalaman-pengalaman kemanusiaan yang berkembang. Panggilan Tuhan begitu menggema dan memekikkan telinga di setiap waktu, apa dari tempat suci itu kita ingin menutup mata dan telinga serta bersikap abai sementara Tuhan yang kita datangi siang dan malam Maha melihat dan mendengar helaan nafas yang begitu berat, wajah yang gelisah, dan mata yang memendam kepedihan itu. lalu kita menghardik mereka karena tidak ikut berjamaah atau mengusir mereka untuk menjaga kebersihan tempat sujud kita?

Terkutuklah kita!

Pada kondisi di mana kekuatan-kekuatan politik Islam diabaikan dan kurang diminati lagi, maka kita perlu membudidayakan model gerakan Islam non politik atau gerakan Islam kultural yang membenamkan diri dalam samudera pengabdian di mana masjid menjadi pusat gerakan. Sudah saatnya masjid kembali menjelma episentrum peradaban yang mencerahkan, tempat dirangkumnya seruan Tuhan “Mengapa engkau tidak mau berperang di jalan Allah dan membela orang-orang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak”. Umat Islam sudah harus merdeka dari kungkungan dogmatis yang tidak mengamini pembaharuan pikiran, suatu keadaan yang telah lama dikutuk oleh sejarah sejak kekalahan umat Islam atas bala tentara Mongol, umat Islam hingga hari ini belum banyak bertransformasi dan mencitrakan dirinya sebagai kekuatan baru, masih terus berkutat pada masalah yang hampir sama, para ahli fikih yang masih terus berdebat hingga tenggorokannya kering, kaum elit yang gila pujian dan anti kritikan serta ingin kenyang sendiri, atau kaum spiritualis yang berat meninggalkan mihrab dan sajadahnya serta memilih menyendiri bersama Tuhan tanpa perlu menjadi bagian dari sebuah sistem kehidupan.

Dan tugas terakhir Umat Islam adalah mengakrabkan visi kekuasaan dengan cita-cita moral, tidak boleh lagi moralitas dijadikan tumbal demi menyelamatkan kepentingan segelintir elit atau kelompok tertentu. Islam sudah harus sampai pada tahapan proliferasi, Islam harus berani berbicara tentang pembagian kelas, perjuangan kelas dan keadilan kelas. Islam harus menjadi agama kemanusiaan yang berarti agama untuk seluruh manusia karenanya yang harus ditampilkan adalah prinsip-prinsip objektif-universal dari ajaran Islam, maka kedepan kita akan melihat sebuah sistem tata dunia yang Islami, yang menganjurkan demokrasi, keadilan, kesetaraan, persaudaraan, kejujuran dan peradaban. Dan tugas terakhir Umat Islam adalah mengakrabkan visi kekuasaan dengan cita-cita moral, tidak boleh lagi moralitas dijadikan tumbal demi menyelamatkan kepentingan segelintir elit atau kelompok tertentu. Ini adalah bagian terpenting dari usaha empirisasi Islam atau membudayakan Islam sebagai sebuah nilai dan norma objektif yang digali dari lautan kasih Tuhan untuk menjadi rahmat bagi semesta raya, bagi Negara Indonesia.

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT