Oleh : Furqan Jurdi*
Semenjak Islam memasuki tanah Melayu melalui pesisir pantai dengan jalur perdagangan, pada permulaan abad ke-7, memberikan optimisme akan bangkitnya Islam di bumi Nusantara. Perkembangan dan kemajuan dakwah Islam semakin signifikan, beberapa daerah-daerah berubah menjadi kota-kota yang bercorak Islam. Seperti Samudera Pasai, Pidie di Aceh, Palembang, Malaka, Jambi, Demak, Gresik, Tuban, Cirebon, Banten, Ternate, Tidore, Gowa, Makassar, Banjarmasin, dan sebagainya. Dengan begitu corak peradaban di Indonesia semakin maju dengan pengaruh Islamisasi tersebut. Kemajuan dibidang perdagangan dan pengetahuan didalam masyarakat Islam, mempercepat pembangungan sosial masyarakat yang berkemajuan.
Semangat Islam
Agama Islam yang dipeluk sebagian besar rakyat Indonesia, telah memberikan konstribusi besar dalam mendorong semangat serta sikap mental yang kuat bagi kehidupan bangsa Indonesia dikemudian hari. Semangat Islam itu adalah semangat yang berdasarkan pada nilai-nilai transendental yang menjanjikan alam keterbukaan, kemerdekaan dan perdamaian abadi.
Semangat Islam, memiliki ruh tersendiri dan spirit yang unik. Diantaranya adalah semangat jihad fi sabilillah. Kartono Kartodirdjo dalam Pemikiran dan Perkembangan Histografi Indonesia: Suatu Alternatif(1982), menjelaskan bahwa semangat jihad dalam pandangan Islam adalah suatu ikrar untuk melawan kedzoliman, yang akan mendapatkan imbalan surga apabila wafat, dan itulah yang dikatakan sebagai syahid. Dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa, telahdiizinkan bagi orang-orang yang diperangi untuk berperang, karena mereka dijajah atau ditindas dan Allah bersama dengan mereka (Qs. Al-Hajj ayat 39). Semangat Jihad fi sabilillah inilah yang mendorong, daerah Terpencil di Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat pada tahun 1908, akibat Kebijakan Belanda yang menarik pajak tanah dan pajak kepala kepada seluruh rakyat Kabupaten Bima.Rakyat desa, khususnya desa Ngali, tidak menerima sikap kolonialisme itu dengan menyerukan jihad melawan ‘dou kafi’ (orang kafir) Belanda, sehingga menimbulkan kerugian dan kekalahan yang begitu banyak bagi pihak Belanda. Perang itu dikatakan sebagai perang “Sabil” Jihad fi sabilillah. (Lihat, Syarifuddin Jurdi, dalam Islam: Masyarakat Madani dan Demokrasi di Bima, 2010)
Merupakan spirit Islam adalah kalimat takbir – Allahu Akbar. Kalimat ini selalu menggema di bumi Indonesia sebagai suatu seruan yang mampu memberikan energi yang berlimpah bagi umat Islam. Ketika perang Surabaya pada tanggal 10 November 1945, ulama, kiyai dan tokoh-tokoh Islam telah menggelorakan semangat perlawanan para santri dan rakyat dengan pekikan Allahu Akbar.Sutomo (Bung Tomo) telah membangkitkan semangat pemuda dengan kalimat yang sama.
Juga suatu semangat yang lahir dari rahim Islam adalah semangat cinta tanah air. Dalam bahas Arab dikenal dengan “Khulubul Wathan minal iman”. Suatu keimanan apabila mengorbangkan hidup untuk membebaskan tanah air dari penjajahan dan eksploitasi. Douwwes Dekker mengakui dalam sebuah pernyataannya, mengatakan bahwa “apabila tidak ada semangat Islam di Indonesia, sudah lama kebangsaan yang sebenarnya lenyap dari Indonesia. (Abubakar Atjeh: 1957, hlm 729). Semangat Cinta Tanah Air inilah yang mendorong Sjafruddin Prawiranegara, Tengku Muhammad Hasan, Jenderal Sudirman berjuang untuk mempertahankan Republik yang hampir saja tamat riwayatnya akibat Agresi Militer Belanda Kedua pada tanggal 19 Desember 1948. Tatkala itu Ibu Kota Yogyakarta jatuh di tangan Belanda, dan para pimpinan-pimpinan Negara, seperti Soekarno, Hatta, Syahrir, Haji Agus Salim, ditangkap oleh Belanda. Saat itu pula Belanda mengumumkan Negara Republik Indonesia sudah bubar.Mengetahui kondisi yang mencekam di Ibukota, tanpa mengetahui ada mandat yang diputuskan dalam Rapat Marathon Kabinet, karena alat komunikasi dilumpuhkan oleh Belanda, Sjafruddin mengambil ikhtiar membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Halaban Sumatera Barat tanggal 22 Desember 1948 bersama dengan T.M Hasan dan tokoh-tokoh lainnya. Di Jawa Jenderal Sudirman memimpin perang gerilya melawan Belanda dibawah komando PDRI. Masa PDRI itu berlangsung dari 19 Desember 1948 sampai dengan 13 Juli 1949, dan secara de facto dan de jure Sjafruddin Prawiranegara adalah Presiden Republik Indonesia yang sah dan Konstitusional, Ungkap Prof. Jimly Asshidiqie dalam Buku Peringatan satu Abad Sjafruddin Prawiranegara. Pertanyaanya apakah Sjafruddin menuntut untuk dikatakan sebagai Presiden? Jawabannya tidak! Karena cinta tanah air sudah mengakar dalam hatinya.
Perjuangan Umat Islam
Kedatangan orang-orang Eropa yang pertama di Asia Tenggara pada awal abad ke XVI, yang dimulai dengan ekspedisi oleh Alfonso d’Albuquerque, merupakan tonggak awal kolonialisme di Tanah Melayu. Orang-orang Spanyol-Portugis itu berhasil mengalahkan kerajaan Malaka yang pada saat itu tengah mengendalikan perdagangan dunia lewat selat Malaka.
Kejatuhan Kerajaan Malaka ditangan koloni Eropa, merupakan babak permulaan perjuangan orang-orang Melayu untuk membebaskan diri dari penjajahan bangsa Eropa. Setelah Malaka jatuh, maka segera masyarakat Indonesia menyembut kebangkitan Islam di Tanah Jawa yang dipelopori oleh para Wali. Sembilan Wali (Wali Songo) berhasil melakukan proses Islamisasi dan membangun tatanan masyarakat Islam yang anggun dan bermoral.Keberhasilan dakwah para wali tersebut telah menjadikan Islam sebagai agama terbesar di Nusantara.
Ketika penjajah portugismuaimenjajahwilayah Timur pulau Nusantara, maka kerajaan-kerajaan Islam-lahyang tampil melawan kolonialisme itu. Seperti Perang Maluku dan Ternate, dimana Portugis berhasil dihalau sampai ke Timor-Timur, kemudian Makassar melawan serangan Belanda (VOC). Kerajaan Islam Mataram, melawan pusat kekuasaan Belanda (VOC) di Batavia (1628-1629). Sultan Ageng Tirtayasa yang didukung oleh Syeik Yusuf al-Makassari (1680-an) berperang melawan VOC Belanda. meskipun perjuangan kerajaan-kerajaan Islam itu sungguh sangat gigih, namun perlawanan-perlawanan tersebut mampu dipatahkan oleh Belanda. pada masa itu belum terbentuk kesadaran dan solidaritas nasional, sehingga Belanda mampu mengalahkan kerajaan-kerajaan tersebut dengan taktik adu domba dan berbagai intrik kolonialnya.
Kekalahan kerajaan-kerajaan Islam tersebut, tidak menghentikan semangat perlawanan rakyat khususnya umat Islam.Segera muncul gerakan-gerakan yang dipimpin oleh ulama, seperti yang dilakukan oleh Pangeran Diponegoro atau yang disebut Perang Diponegoro (1825-1830), Perang Paderi yang dipimpin oleh Tengku Imam Bonjol (1821-1837), dan perlawanan rakyat Aceh (1872-1904) yang dipimpin oleh Tengku Cik Di Tiro, Tengku Umar, Cut Nyak Dien dan masih banyak lagi perlawanan yang dilakukan oleh umat Islam Indonesia terhadap penjajahanan Belanda. Tetapi perjuangan itu pun kalah, Belanda berhasil menang dengan taktik adu-dombanya.Kesadaran nasionalisme belum juga kunjung terbangun.
Namun disisi lain perang dan kekalahan itu merupakan rangkaian yang memberikan pelajaran bagi Umat Islam dan rakyat Indonesia untuk menempuh perjuangan yang bercorak universalitas terpadu. Maka dibalik itu tulis Taufik Abdullah – dalam, Nasionalisme dan Islam dalam Dinamika Sejarah Bangsa, Makalah yang disampaikan pada Dialog Publik, Fraksi PPP-MPR, 2 Juni 2010 – kesadaran-pun muncul. Rakyat Indonesia merasa tertinggal dengan bangsa lain yang semakin maju, khusunya bangsa-bangsa di Asia yang sudah mulai bangun dari penjajahan-penjajahan negara Eropa. Berkaca pada kondisi bangsa-bangsa Asia, muncullah spirit untuk merdeka dari kolonialisme yang telah lama menguras energi bangsa tersebut. Lalu bagaimana bisa melepaskan diri dari penjajahan sementara daerah-daerah masih terbengkalai? (Bersambung ke Bagian 2)
*)Penulis adalah Aktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah









































