Beranda Mimbar Ide Kejujuran Tara Basro, Kenaifan Menkominfo

Kejujuran Tara Basro, Kenaifan Menkominfo

0

Oleh : Wahyudi Akmaliah*

Tara Basro adalah anti-tesis terhadap wajah blasteran yang kebanyakan mendominasi dunia hiburan Indonesia. Dengan kulit yang tidak putih, wajah kebanyakan orang Indonesia, dan tinggi yang rata-rata perempuan Indonesia, Basro adalah pesona yang selalu jadi panggung belakang dunia peran dan hiburan Indonesia. Berkali-kali ia mengikuti casting untuk mengambil peran dalam sebuah film, berkali-kali juga ia ditolak, karena dianggap memiliki wajah dan performa tubuh yang selama ini dianggap tidak representatif untuk sebuah film layaknya kebanyakan.

Namun, saat bertemu dengan sutradara film mumpuni seperti Joko Anwar, Tara Basro justru dianggap sebagai representasi kebanyakan perempuan Indonesia, lebih tepatnya Jawa. Karena itu, semua peran-peran yang dimainkan oleh Basro dalam film-film Joko Anwar tidak pernah memainkan narasi kecantikan dirinya. Sebaliknya justru diperlihatkan melalui adegan sekaligus peranan yang dimainkan. Di sini, justru letak daya pesona seorang Basro yang membuat kebanyakan orang-orang menjadi bagian seperti dirinya.

Di luar film, Basro belajar untuk menjadi perempuan yang jujur terhadap dirinya tanpa perlu mematutkan diri harus terlihat cantik, langsing, dan perut rata hasil dari tempaan diet dan , sebagaimana juga tuntutan artis untuk terlihat menarik di publik. Namun, kejujuran Basro untuk menerima tubuhnya tanpa adanya intervensi dari pandangan orang lain, ditanggapi secara berbeda oleh aparatus Menkominfo, yang menganggap bahwasanya foto yang memiliki makna mendalam itu dianggap memiliki unsur pornografi, memungkinkan ia akan terkena undang-undang itu

Sebaliknya, Menkominfo itu tidak melihat pesan dibalik itu melainkan secara tekstual foto itu digambarkan sebagai bentuk dan memiliki unsur-unsur pornografi, yang memungkinkan dirinya akan terkena UU ITE. Tidak salah sih memiliki intepretasi tersebut. Namun, melihat foto itu dilepaskan dari konteks yang dibicarakan oleh Basro ini merupakan tindakan gegabah di tengah intervensi apa yang disebut cantik, baik oleh stereotip laki-laki maupun tuntutan kapitalis internasional industri.

Sebagai laki-laki yang memiliki bias maskulinitas dan patriarki, saya melihat bahwasanya foto Basro itu merupakan bentuk perlawanan terhadap pendefinisian tubuh mengenai perempuan yang selama ini mutlak direpresentasikan oleh faktor-faktor di luar dirinya. Kejujuran yang ditekankan oleh Basro terkait dengan bentuk tubuhnya dengan lipatan lemak merupakan transparansi bagaimana ia menerima dirinya di luar definisi moralitas hukum, agama, dan atas nama industri hiburan. Tentu saja, ia melakukan ini tidak semata-mata untuk dirinya, melainkan juga proses pembelajaran publik yang dibiarkan postingannya terbuka secara umum.

Sebagaimana diungkapkan dalam akun instagramnya, “Dari dulu yang gue dengar dari orang adalah hal jelek tentang tubuh mereka. Akhirnya, gue bisa melakukan hal yang sama… Mengkritik dan menjelek-jelekkan. Andaikan kita bisa melihat hal yang baik dan positif. Bersyukur tentang apa yang kita miliki dan make the best out of it daripada fokus terhadap apa yang tidak kita miliki. Setelah perjalanan yang panjang, gue bisa bilang kalau gue cinta tubuh gue. Dan gue bangga akan itu. Let your self bloom”.

Sebaliknya, jika semata-mata foto itu dianggap bisa melanggar UU ITE karena ada unsur pornografinya, lalu buat otak laki-laki dibikin oleh Tuhan, kalau melihat hal seperti itu dianggap selalu mengundang syahwat? Jangkar moralitas yang digunakan dengan oleh pejabat publik atas nama kepatutan publik dan agama sebenarnya menegaskan pandangan bahwasanya ruang publik itu tidak sepenuhnya netral. Ada intervensi aparatus negara dengan logika timpang dalam melihat perempuan, yang membuat tubuhnya dianggap sebagai bencana. Sebaliknya, maskulinitas dan heroisme laki-laki tidak pernah dicurigai sebagai tindakan yang mengancam melalui interpretasi regulasi yang diterapkan.

*) Penulis adalah peneliti LIPI

Facebook Comments Box
ADVERTISEMENT